Ibu Nicolline Sulaiman.
Adalah salah seorang pendiri Yayasan Mitra Netra. Ibu Nina, begitu Beliau biasa disapa, adalah perempuan asli Belanda, guru besar di Fakultas Sastra Inggris Universitas Nasional. Cintanya pada tunanetra mewujud bak cinta antara ibu dan buah hatinya.
bagi para tunanetra klien Mitra Netra saat itu, Ibu Nina adalah Ibu kedua setelah Bunda di rumah. Beliau hadir Hampir di setiap kegiatan Mitra Netra, menyentuh tunanetra tidak hanya dengan tangannya, tapi juga dengan aura keibuan yang dimilikinya.
ibu yang ketika berbicara kental dengan aksen belanda ini ingin kami para tunanetra maju, mandiri dan dapat bersekolah setinggi mungkin.
Ibu Nina menghampiri dan menyemangati para tunanetra saat mereka belajar mengetik 10 jari, belajar komputer dan belajar bermasyarakat. Bahkan dalam kondisi sakit pun, — saat itu para tunanetra bahakn tidak menyadarinya, Ibu masih menyempatkan diri untuk sesekali bersama-sama dengan para tunanetra.
Yang diinginkannya adalah Mitra Netra dapat menjadi rumah bagi tumbuh kembang tunanetra Indonesia. Ibu Nina berpulang pada tahun 1993. Sebagai penghormatan pada Almarhumah, Irwan Dwi Kustanto, tunanetra yang dahulu adalah klien Mitra Netra dan saat ini menjabat sebagai Wakil Direktur, di tahun 1993 mempersembahkan puisi bertajuk “Langkah Seribu Bintangâ€. Puisi ini kemudian menjadi bagian dari antologi Angin Pun Berbisik.
Ibu Roswita Singgih.
Ibu Roswita Singgih adalah salah seorang pendiri Yayasan Mitra Netra. Beliau adalah sosok Ibu yang ramah, keibuan dan memiliki semangat yang menyala-nyala. Saat awal Mitranetra berkiprah, Ibu Ita, begitu Beliau biasa dipanggil, seringkali mendampingi para tunanetra untuk keluar dari kehidupan komonitas yang eksklusif, tempat di mana tunanetra biasa beraktivitas, asrama atau sekolah luar biasa.
Ibu Ita mengajak para tunanetra belajar memasuki dunia yang sesungguhnya. Dunia keseharian masyarakat. Hal itu dilakukannya dengan aktivitas sederhana. Misalnya, mengajak para tunanetra makan siang di sebuah restoran yang pelayanannya dilakukan secara mandiri (self service). hampir sekitar 30 tunanetra saat itu, mengambil nampan dan piringnya sendiri, serta berjalan memesan menu kesukaan masing-masing. Aktivitas ini kontan menarik perhatian orang-orang yang berada di restoran tersebut. Mereka memperhatikan para tunanetra yang ada di situ. Maklum, saat itu, masyarakat memang jarang melihat tunanetra. Mungkin mereka merasa aneh, atau mungkin juga terkesan.
Dari cerita seorang tunanetra yang kala itu mengikuti kegiatan jalan-jalan dan makan siang bersama tersebut, Ibu Ita tidak sedikit pun terganggu dengan situasi itu. Dengan ceria dan penuh antusias, Ibu Ita memberitahu para tunanetra bagaimana cara memesan makanan serta kebiasaan makan di restoran swa layan.
Pada acara yang lain, Ibu Ita juga mengajak para tunanetra menuangkan segala harapan dalam sebuah karangan yang ditulis dalam huruf braille. Ide ini lalu dikemasnya dalam sebuah lomba. Hadiah pun disediakan untuk mereka yang menuliskan karya dengan baik.
Apa yang telah Ibu Roswita Singgih lakukan di awal pendirian Mitra Netra adalah fondasi, menumbuhkan kesadaran betapa pentingnya menyatukan tunanetra di masyarakat, begitu pula sebaliknya, menyatukan masyarakat dan tunanetra, karena keduanya memang tak dapat dipisahkan.
Bapak Sulaiman M. Sumita Kusuma.
Bapak Sulaiman adalah salah seorang penasehat senior Yayasan Mitra Netra. Di tengah kesibukannya sebagai seorang pengusaha, Bapak Sulaiman masih dapat meluangkan waktu membantu Mitra Netra.
Kiprahnya dalam memperkenalkan Mitra Netra ke masyarakat telah membuat Yayasan ini secara bertahap dikenal di kalangan yang luas.
Sebagai penasehat, Bapak Sulaiman sangat bangga akan prestasi yang diraih Mitra Netra, baik di dalam maupun luar negeri.
Bapak Sulaiman wafat pada akhir tahun 2008. Meski Almarhum tak lagi ada di tengah kita, namun, semangat dan kebanggaannya pada Mitra Netra masih tetap terasa.
Bapak Lukman Nazir.
Bapak Lukman Nazir adalah seorang tunanetra, salah seorang pendiri Yayasan Mitra Netra. Beliau menjadi tunanetra di usia ke 40. Menjabat sebagai Ketua Yayasan sejak awal pendirian Mitra Netra di tahun 1991 hingga wafatnya di tahun 2010.
Pengalaman menjalani kehidupan sebagai tunanetra telah memberi energi yang luar biasa kepadanya dalam mengelola Mitra Netra selama 19 tahun.
Sepanjang kiprahnya di Mitra Netra, Beliau tidak hanya berperan sebagai Ketua Yayasan, namun juga sebagai ayah bagi seluruh tunanetra klien Mitra Netra, ayah bagi seluruh karyawan, dan kakek bagi anak-anak para karyawan dan anak-anak para tunanetra.
Kecintaannya pada tunanetra membuat semua merasa kehilangan saat Bapak Lukman berpulang menghadap sang khaliq. Namun, impian dan cita-citanya masih ada di hati setiap orang yang mencintai dan menjadi bagian dari Mitra Netra.
Untuk semua yang telah mendahului, Jasat dan ragamu memang telah pergi, Namun, semangat dan cita-citamu masih ada bersama kami.
Adalah menjadi tugas kami semua, Generasi penerusmu.
Menapaki langkah, Menyusuri jalan, Terbang tinggi mengangkasa, Menggapai cita-cita bersama.
Teriring doa, Semoga Tuhan senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih sayangNya. Kami percaya, Di sisiNyalah tempatmu berada.
Amin.