Accessibility Tools

Indonesia Membaca Sastra Yuk!

Indonesia adalah negeri yang kaya dengan khasanah kesusastraannya. Banyak hal yang dapat kita pelajari dengan membaca karya sastra. Sejarah kebangsaan bahkan sejarah dunia, makna dan kearifan kehidupan, idiologi, dan banyak lagi sisi-sisi kemanusiaan yang tak kita dapati di referensi lain. Namun, tak semua orang memiliki akses ke karya sastra tersebut. Sebabnya beraneka. Tak punya cukup waktu, tak tahan membaca buku tebal, atau, tak tersedia dalam format yang dapat dibaca secara mandiri dalam hal ini para tunanetra.

Itu sebabnya, beberapa penulis perempuan Ayu Utami, Indah Ariani dan Olin Monteiro – kemudian melahirkan Gerakan Indonesia Membaca Sastra – GIMS. Ide gerakan ini adalah mengumpulkan sukarelawan yang bersedia membaca karya-karya sastra yang dipilih, dan memilih kafe sebagai tempat membaca. Hasil membaca ini juga direkam dalam kualitas yang baik, sehingga output gerakan ini adalah buku-buku kesusastraan dalam bentuk audio. Kafe dipilih, karena kafe adalah tempat berkumpulnya kalangan kelas menengah, yang sebagian menggemari karya sastra, namun tak punya cukup waktu membaca buku karena kesibukan mereka. Buku sastra versi audio ini kemudian akan dijual, dan hasilnya akan disumbangkan kepada Yayasan Mitra Netra. Lembaga ini dipilih, karena Mitra Netra merupakan lembaga yang berkomitmen menyediakan buku-buku untuk tunanetra.

Kegiatan ini juga didukung oleh Dewan Kesenian Jakarta dan Komunitas Salihara. Kedua lembaga ini bertindak sebagai kurator buku sastra sekaligus penjamin agar penjualan buku audio dilakukan secara transparan.

Karya sastra yang dipilih adalah sastra modern-klasik; karya di era 1920an. Mengapa Modern-klasik? Karena sastra era ini mengandung banyak nilai-nilai kebangsaan.

Launching GIMS diselenggarakan pada 6 Agustus, bertempat di Kafe Kopi Tiam Oey KTO milik Bondan Winarno yang berada di jalan Sabang Jakarta. Buku pertama yang dibaca adalah Drama Di Boven Digoel karya Kwee Tek Hoay, yang menceritakan pemberontakan komunis di tahun 1926, jaman pemerintah kolonial Hindia Belanda. Buku ini berbahasa melayu gaya betawi. Banyak menampilkan kosa kata yang sudah lama tak kita gunakan lagi. Hadir sebagai relawan pembaca saat itu adalah Damian penulis, Bondan pemilik Kafe, Rosiana Silalahi newscaster, Indah Ariani penulis, Olga Lidya MC, Irma Hutabarat, dan lain-lain.

GIMS mentargetkan, dalam satu tahun ke depan menghasilkan 12 judul buku. Olehkarenanya, GIMS mengundang lebih banyak relawan untuk membaca sastra. *Aria Indrawati.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top