GPK singkatan dari “Guru Pembimbing Khusus”. Mereka adalah guru-guru yang memiliki latar belakang pendidikan luar biasa (PLB), ahli di bidang pendidikan anak berkebutuhan khusus (ABK), yang ditempatkan di sekolah-sekolah umum penyelenggara sistem pendidikan inklusif. Dalam konsep penyelenggaraan sistem pendidikan inklusif, peran GPK sangat penting. Mereka berfungsi membantu guru-guru di sekolah umum bagaimana berinteraksi dengan siswa berkebutuhan khusus. Misalnya, melakukan identifikasi kebutuhan khusus siswa, memproses pemenuhan kebutuhan khusus siswa, melakukan adaptasi kurikulum, melakukan adaptasi materi dan metode pembelajaran – semuanya disesuaikan dengan kebutuhan khusus siswa, dan sebagainya.
Dengan menerapkan sistem pendidikan inklusif, ABK memiliki kesempatan lebih luas untuk menempuh pendidikan berkualitas. Semula, ABK hanya dapat menempuh pendidikan di sekolah luar biasa atau SLB, sesuai dengan jenis disabilitas yang dialami; sistem ini disebut sistem “segregatif”, yang memisahkan ABK dari anak-anak lain yang tidak berkebutuhan khusus. Kemudian, muncul sistem “integrasi”, yang memberikan kesempatan pada ABK – yang dianggap mampu – untuk menempuh pendidikan di sekolah umum. Dalam sistem pendidikan integrasi, ABK-lah yang harus menyesuaikan dengan situasi dan sistem pembelajaran di sekolah umum. Untuk membantu ABK menyeesuaikan diri inilah, keberadaan dan fungsi GPK mulai diperkenalkan.
Memasuki tahun 1990an, dunia mulai menerapkan “sistem pendidikan inklusif”, sebuah sistem pendidikan yang menganggap setiap murid adalah individu yang unik, dan memberikan hak kepada setiap murid untuk menempuh pendidikan di sekolah yang terdekat dengan rumah tempat tinggal mereka. Sistem pendidikan inklusif adalah jalan ke luar yang paling efektif dan efisien, guna mewujudkan “pendidikan untuk semua” bagi anak-anak dengan disabilitas. Pendidikan inklusif dilahirkan untuk mengatasi “mahalnya” sistem pendidikan segregatif.
Dalam sistem inklusif, kurikulum pendidikan harus bersifat fleksibel, menyesuaikan dengan kebutuhan setiap peserta didik. Sistem pendidikan inklusif memungkinkan dilakukannya “diferensiasi pembelajaran”, baik dari aspek metode maupun materi.
Untuk merealisasikan itu semua, peran GPK sangat fital. GPK-lah yang bertugas membantu sekolah – dalam hal ini guru-guru mata pelajaran – melakukan differensiasi tersebut.
Bagaimana di Indonesia?
Sejak diperkenalkan pada tahun 1998 melalui kerja sama antara pemerintah Norwegia dan Pemerintah RI, fungsi GPK dalam rintisan penerapan pendidikan inklusif memang telah ada. Namun, fungsi GPK adalah merupakan tugas tambahan dari guru-guru sekolah luar biasa. Dalam menerapkan sistem pendidikan inklusif, telah terjadi perluasan fungsi SLB. Selain sebagai tempat belajar anak-anak dengan disabilitas yang kompleks dan fase persiapan sebelum ABK memasuki sekolah umum, SLB juga berfungsi sebagai “pusat sumber”, yang menyediakan fasilitas pendukung pendidikan bagi ABK yang menempuh pendidikan secara inklusif di sekolah umum.
Karena hanya sebagai tugas tambahan, tentu ada konsekuensinya. Meski ada guru-guru SLB yang melaksanakan tugas tambahan sebagai GPK dengan baik, namun ada juga yang melakukannya dengan tidak optimal. Akibatnya, ABK tidak dilayani dengan baik. Jika ABK berasal dari keluarga yang memiliki kesadaran baik akan pendidikan anak disabilitas mereka, orang tualah yang biasanya lebih berperan menjalankan sebagian fungsi GPK yang mampu mereka lakukan.
Dari sisi operasional, tak ada alokasi dana khusus untuk membiayai pelaksanaan fungsi GPK oleh guru-guru SLB. Dengan diterapkannya sistem otonomi daerah, saat ini guru SLB negeri merupakan pegawai daerah. Berarti, seharusnyalah pemerintah daerah mengalokasikan anggaran untuk biaya operasional GPK. Faktanya, hal ini belum dilakukan. Sehingga biaya operasional GPK biasanya hanya diambilkan dari pos-pos anggaran yang memungkinkan untuk “dititipi” biaya operasional GPK. Akibatnya, alokasinya sangat kecil, sehingga GPK hanya sekali-sekali saja datang ke sekolah umum penyelenggara pendidikan inklusif
Dari sisi karir guru, pelaksanaan fungsi GPK yang hanya merupakan tugas tambahan juga tidak memberikan kontribusi berarti. Untuk mendapatkan kenaikan jenjang, guru harus mengumpulkan serangkaian kredit poin yang diperoleh dari beberapa kegiatan, baik kegiatan pokok maupun kegiatan tambahan. Tentu saja kredit poin terbesar diperoleh dari pelaksanaan tugas-tugas pokok. Tugas pokok guru adalah “mengajar di kelas”. Sementara, tugas GPK lebih banyak bersifat konsultasi dan melakukan fungsi koordinasi. Jika diperlukan, memang ada tatap muka dengan siswa berkebutuhan khusus. Namun, dalam prakteknya, hal ini tidak dinilai sama dengan mengajar di kelas.
Peraturan Pelaksana Yang Tidak Sinkron.
Pada tahun 2003, Pemerintah telah memperbaharui undang-undang sistem pendidikan nasional, yaitu dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003. Dalam undang-undang ini, sistem pendidikan inklusif tidak diatur secara spesifik. Ada dua pasal yang secara eksplisit menyebut kata “pendidikan khusus”, yaitu pasal 5 dan pasal 15. Bahkan, penyebutan kata “inklusif” tidak diletakkan di “batang tubuh” undang-undang tersebut – tidak di dalam pasal-pasal -, namun hanya di bagian “penjelasan pasal”.
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 menyatakan: Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
Pasal 15 menyatakan: Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.
Penjelasan pasal 15 menyatakan: Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.
Guna memberikan panduan teknis dalam merintis penyelenggaraan sistem pendidikan inklusif, pada tahun 2009 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan – yang kala itu disebut Departemen Pendidikan Nasional – mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permen Diknas) nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif.
Pasal 1 Permen Diknas tersebut menyatakan bahwa, yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Pasal 4 Permen Diknas menyatakan:
(1) Pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit 1 (satu) sekolah dasar, dan 1 (satu) sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan dan 1 (satu) satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib menerima peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
(2) Satuan pendidikan selain yang ditunjuk oleh kabupaten/kota dapat menerima peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
Sedangkan Pasal 10 menyatakan:
(1) Pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang guru pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang ditunjuk untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif.
(2) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang tidak ditunjuk oleh pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang guru pembimbing khusus.
Dengan adanya ketentuan dalam pasal 10 ayat (1) di atas jelas bahwa, pemerintah kabupaten/kota “wajib” menyediakan sekurang-kurangnya satu orang GPK untuk setiap sekolah – yaitu sekolah negeri – yang ditunjuk sebagai penyelenggara pendidikan inklusif. Menyediakan berarti merikrut secara khusus, dan tidak lagi hanya merupakan “tugas tambahan” dari guru-guru SLB yang lokasinya berdekatan dengan sekolah umum penyelenggara pendidikan inklusif, yang ditunjuk sebagai pusat sumber.
Namun, fakta menunjukkan, hingga kini belum pernah ada perikrutan khusus untuk mengisi formasi “GPK” guna menopang penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Bahkan, Yang terjadi Justru, adanya peraturan terkait dengan profesi guru, yang bertentangan dengan aturan yang tercantum dalam pasal 10 Permen Diknas nomor 70 tahun 2009 tersebut. Aturan tersebut adalah Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permen PAN) nomor 16 tahun 2009, tentang “Profesi Guru dan Angka Kreditnya”.
Pasal 3 Permen PAN tersebut menyatakan bahwa Jenis Guru berdasarkan sifat, tugas, dan kegiatannya meliputi:
a. Guru Kelas;
b. Guru Mata Pelajaran; dan
c. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor.
Ketiga jenis guru ini dapat ditempatkan baik di sekolah umum maupun sekolah luar biasa.
Sedangkan, Pasal 13 Permen PAN tersebut mengatur tentang jenis kegiatan dan unsur-unsur yang dinilai dari masing-masing guru, baik guru kelas, guru mata pelajaran dan guru bimbingan konseling. Kegiatan yang dinilai ini meliputi kegiatan/tugas utama dan kegiatan/tugas tambahan. Ayat (1) hingga ayat (3) pasal 13 mengatur tentang kegiatan pokok dari masing-masing guru, baik guru kelas, guru mata pelajaran maupun guru bimbingan konseling. Sedangkan ayat (4) pasal ini mengatur “tugas tambahan” dari ketiga jenis guru tersebut. Huruf “f” dari ayat (4) menyebutkan tentang salah satu tugas tambahan guru, yaitu menjadi pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusif.
Dari kedua pasal yang terdapat dalam Permen PAN tersebut dapat kita simpulkan bahwa, peraturan menteri yang secara khusus mengatur tentang profesi guru dan angka kreditnya tidak menyebutkan secara eksplisit tentang diperlukannya “Guru Pembimbing Khusus atau GPK” guna mendukung penyelenggaraan sistem pendidikan inklusif. Lebih dari itu, Permen PAN ini mengatur bahwa fungsi GPK di satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif hanya merupakan salah satu tugas tambahan guru, baik guru kelas, guru mata pelajaran maupun guru bimbingan dan konseling.
Ketidak-sinkronan antara dua peraturan menteri tersebut tentu menghambat upaya merintis penyelenggaraan sistem pendidikan inklusif. Olehkarenanya, perlu diupayakan adanya harmonisasi atau sinkronisasi kedua peraturan menteri tersebubt. Ini pasti tidaklah mudah. Sejarah penyelenggaraan negeri ini telah membuktikan itu.
Namun, “bola” sesungguhnya ada di tangan “Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan”. Jika instansi pemerintah ini memang berkomitmen kuat untuk menyelenggarakan sistem pendidikan inklusif untuk mencapai tujuan terwujudnya “pendidikan untuk semua” bagi ABK, kementerian ini dapat melakukan serangkaian “afirmative action” dalam bentuk kebijakan, yang berdampak pada terjadinya perikrutan GPK, untuk ditempatkan di seluruh sekolah negeri penyelenggara pendidikan inklusif.
Di Indonesia ada sekurang-kurangnya enam universitas negeri yang memiliki jurusan “pendidikan Luar Biasa (PLB)”. Setiap tahun program studi ini melahirkan ratusan lulusan. Merekalah yang seharusnya menempati posisi dan menjalankan tugas sebagai GPK, tulang punggung pendidikan inklusif. * Aria Indrawati.
Apakah jumlah GPA saat ini cukup?