Secara normatif, kita semua sepakat bahwa setiap anak, siapa pun dia, berhak mendapatkan pendidikan. Tidak hanya sekedar pendidikan, bahkan pendidikan berkualitas. Kesepakatan ini didasari kesadaran bahwa pendidikan adalah salah satu pilar penting dalam kehidupan manusia. Pendidikan berkualitas akan melahirkan sumber daya manusia berkualitas. Namun, kesepakatan secara normatif ini tidak senantiasa diikuti dengan langkah-langkah nyata untuk mewujudkan “impian” bahwa semua anak berhak mendapatkan pendidikan berkualitas.
Untuk mendorong dunia agar “bersiaga” mewujudkan terealisasinya pendidikan untuk semua, terutama di negara-negara sedang berkembang dan negara terbelakang, pada tahun 1989 sebuah konferensi dunia tentang pendidikan yang diselenggarakan UNESCO dan berlangsung di Thailand mendeklarasikan “pendidikan untuk semua atau education for all (EVA(“. Pada awalnya, deklarasi ini belum memperhitungkan anak dengan disabilitas. Namun, karena desakan dari para aktivis dunia di bidang disabilitas, konferensi itu akhirnya menyepakati bahwa deklarasi dunia tentang “pendidikan untuk semua” ini juga melingkupi anak dengan disabilitas.
Agar ada lebih banyak anak disabilitas dapat bersekolah, tahun 1994 di Salamanca Spanyol, konferensi dunia tentang pendidikan dunia kemudian mendorong diterapkannya sistem “pendidikan inklusif”, yang memberikan hak kepada anak disabilitas bersekolah di sekolah umum yang terdekat dengan tempat tinggal mereka, bersama anak-anak lain yang tidak menyandang disabilitas. Deklarasi Salamanca ini juga memberikan “panduan kebijakan” yang dapat dijadikan acuan bagi negara-negara di dunia dalam membangun sistem pendidikan inklusif.
Sistem pendidikan inklusif adalah sistem pendidikan yang sangat manusiawi. Sistem pendidikan yang mengajarkan kepada anak-anak belajar
mengenali, memahami dan terbiasa dengan perbedaan. Untuk membangun sistem pendidikan inklusif, diperlukan komitmen, kebijakan yang komprehensif, fasilitas, sumber dana dan sumber daya manusia.
Apakah ini sulit? Jika dibayangkan, mungkin tampak sulit. Namun, jika dijalankan secara bertahap dengan penuh kesungguhan, hal yang tampak sulit ini perlahan akan bisa terwujud.
Apakah ada negara sedang berkembang yang dapat melakukannya? Jawabnya ada. Mari kita belajar dari Vietnam, salah satu negara berkembang tetangga kita di kawasan ASEAN.
Komitmen Mentaati Undang-Undang.
Negara boleh membuat sebanyak mungkin Undang-Undang dan peraturan atau kebijakan. Namun, apakah peraturan itu dibuat untuk dilaksanakan? Atau hanya sekedar menambah koleksi peraturan saja? Di situ letak bedanya.
Memasuki tahun 2000an, Vietnam melahirkan serangkaian peraturan perundangan tentang kewajiban memenuhi hak pendidikan bagi anak-anak. Undang-Undang tentang perlindungan perempuan, mengatur tentang keharusan memenuhi hak pendidikan anak perempuan. Undang-Undang perlindungan anak, mengharuskan anak-anak bersekolah mulai dari usia taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Undang-Undang penyandang disabilitas mewajibkan negara memenuhi hak pendidikan anak-anak dengan disabilitas.
Para pejabat pemerintah khususnya kementerian pendidikan memaknai ketentuan dalam undang-undang tersebut sebagai perintah yang harus dilaksanakan. Terkait dengan pemenuhan hak pendidikan anak disabilitas, pada fase awal pemerintah Vietnam terlebih dahulu menangani pendidikan anak tunanetra. Menurut Duc Minh Nguyen, Direktur Education And Science Kementerian Pendidikan Vietnam – yang biasa disapa Minh, ini dikarenakan anak tunanetra adalah anak disabilitas yang lebih mudah bersekolah di sekolah umum namun membutuhkan fasilitas khusus lebih banyak.
Kementerian pendidikan Vietnam melakukan serangkaian langkah-langkah strategis. Survei dilakukan sebagai langkah persiapan, dengan serangkaian tujuan. Pertama, servei untuk menemukan di mana anak tunanetra berada, berapa yang bersekolah, berapa yang masih tinggal saja di rumah, dan berapa orang yang pernah bersekolah namun berhenti di tengah jalan. Dalam upaya menemukan anak tunanetra, khususnya yang berada di daerah terpencil yang sulit dijangkau, kementerian pendidikan bahkan mendapatkan bantuan dari tentara berupa kendaraan yang memungkinkan berjalan di daerah-daerah dengan kondisi sulit.
Setelah melakukan identifikasi, screening penglihatan dilakukan untuk mengkategorikan kondisi ketunanetraan mereka, khususnya untuk anak-anak yang lemah penglihatan. Dari survei ini, diperkirakan ada 14,000 anak tunanetra dengan usia balita hingga 18 tahun. Pada saat melakukan pendataan anak tunanetra, serangkaian pertanyaan juga diberikan kepada orang tua. Apakah mereka tahu bahwa Undang-Undang memerintahkan orang tua untuk membawa anak-anak mereka, termasuk anak disabilitas ke sekolah, apakah orang tua tahu bahwa anak tunanetra bisa bersekolah, dan di mana dapat bersekolah.
Survei kedua dilakukan terhadap sekolah. Ada berapa sekolah di Vietnam, berapa sekolah yang telah menerima anak disabilitas, berapa yang belum. Apakah sekolah mengerti bahwa ada Undang-Undang yang mewajibkan sekolah menerima anak disabilitas. Selanjutnya survei dilakukan pula terhadap guru. Ada berapa jumlah guru di seluruh negeri, apa guru mengetahui bagaimana mengajar anak disabilitas, dan sebagainya.
Setelah melakukan survei, Pemerintah kemudian membentuk “Badan Nasional” yang bertanggungjawab menyusun rencana strategis (renstra) “pendidikan untuk semua”, melaksanakannya, memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan tersebut. Badan nasional ini terdiri dari banyak pemangku peran, baik dari unsur pemerintah maupun masyarakat. Dilaporkan ada 30 organisasi non pemerintah terlibat, termasuk di dalamnya organisasi disabilitas.
Hasil survei dijadikan sebagai referensi penting untuk menyusun renstra 10 tahunan, yaitu dari tahun 2005 hingga 2015. Dari rencana jangka panjang ini, tiap tahun pemerintah membuat rencana tahunan untuk melaksanakan renstra tersebut. Dalam renstra tersebut, ditetapkan pembagian tugas jelas, siapa melakukan apa, termasuk merumuskan peran organisasi non pemerintah. Dalam implementasinya, pemerintah memfasilitasi implementasi renstra ini. Karena kesungguhan pemerintah yang didukung oleh banyak organisasi non pemerintah, International Council of Education for People with Visual Impairment (ICEVI) – sebuah jaringan berskala global yang mempromosikan peningkatan pendidikan tunanetra di dunia -, merekomendasikan Vietnam mendapatkan bantuan dari Bank dunia melalui program “Fast Track Inisiative (FTI)”.
Gigih Mengatasi Tantangan.
Di fase awal langkah afirmative pendidikan untuk semua, yang Pemerintah Vietnam lakukan adalah berupaya membawa sebanyak mungkin anak disabilitas ke sekolah. Karena di setiap desa telah ada minimal satu sekolah, maka konsep pendidikan inklusif pun mulai diterapkan.
Seperti negara lainnya, guru-guru sekolah umum di Vietnam pun awalnya belum mengerti bagaimana mengajar anak disabilitas. Untuk mengatasinya, pemerintah mengadakan pelatihan untuk guru yang dilakukan secara berjenjang. Dimulai dari melatih guru dari masing-masing propinsi yang akan dijadikan instruktur untuk guru-guru lainnya, bagaimana menangani anak disabilitas. Guru yang telah dilatih ini kemudian bertugas memberikan pelatiahn untuk guru lainnya; bermula dari satu guru setiap sekolah; dan satu guru di tiap sekolah ini lalu melatih seluruh guru yang ada di sekolah tersebut.
Sebelum tahun 2005, divietnam terdapat pelbagai versi simbol Braille untuk bahasa Vietnam. Melalui langkah afirmative ini Pemerintah melakukan unifikasi simbol Braille bahasa Vietnam. Selanjutnya, buku-buku Braille pun dicetak untuk memenuhi kebutuhan anak-anak tunanetra yang bersekolah. Mengingat mahalnya biaya memproduksi buku Braille, pemerintah menerapkan skema “book sharing”; artinya satu buku Braille digunakan oleh sekurang-kurangnya tiga hingga lima siswa tunanetra secara bersama-sama. Untuk memenuhi seluruh kebutuhan fasiltias khusus anak disabilitas, pemerintah secara bertahap mengupayakan agar semua fasilitas itu, terutama yang digunakan secara masal oleh seluruh siswa, dapat diproduksi di dalam negeri. Misalnya kertas untuk mencetak buku Braille, alat tulis dan tongkat untuk tunanetra.
Organisasi disabilitas juga memiliki peran penting. Menurut Minh, ada beberapa pekerjaan strategis dalam mendukung tercapainya pendidikan untuk semua bagi anak tunanetra oleh Pemerintah diserahkan kepada organisasi ini. Misalnya, memproduksi buku Braille, alat tulis dan tongkat untuk tunanetra, mengadakan pelatihan ketrampilan, termasuk pelatihan menggunakan komputer, dan lain-lain. Karena langkah afirmative ini membutuhkan biaya tidak sedikit, di samping mendapat bantuan dari Bank Dunia, Pemerintah juga mengajak serta sektor swasta baik perusahaan maupun perorangan.
Seperti halnya negara sedang berkembang lainnya, tantangan terberat Vietnam adalah menjangkau anak-anak disabilitas dari keluarga miskin yang tinggal di daerah terpencil, yang jauh dari sekolah. Untuk pergi ke sekolah, anak dari keluarga seperti ini kadang-kadang harus menempuh jarak lima kilometer, dengan kondisi jalan yang masih belum baik.
Menurut Minh, pemerintah Vietnam mentargetkan di tahun 2015, sekurang-kurangnya 70 % anak tunanetra yang berusia 5 hingga 18 tahun telah bersekolah. Jika di Vietnam ada 14,000 anak tunanetra, berarti akan ada 9800 anak tunanetra bersekolah. Minh yang juga menjabat sekretaris Badan Nasional Pendidikan Untuk Semua menjelaskan bahwa 30 % sisanya, yaitu 4200 anak, yang diperkirakan merupakan anak yang berasal dari keluarga miskin dan tinggal di daerah terpencil, akan menjadi target renstra 10 tahun berikutnya.
Duc Minh Nguyen adalah salah satu sosok penting di balik keberhasilan Pemerintah Vietnam dalam pendidikan untuk semua bagi anak tunanetra. Sebelum menjadi petinggi di kementerian pendidikan Vietnam, ia adalah guru di sekolah luar biasa tunanetra. Menurut M.N.G Mani, CEO ICEVI, Minh adalah sosok yang penuh dedikasi dan memiliki jiwa kepemimpinan kuat. Posisi penting di Kementerian Pendidikan yang dicapainya telah dijadikan sebagai “kendaraan pengabdian” untuk anak-anak tunanetra di negerinya. *Aria Indrawati
Langkah apa yang dilakukan Vietnam untuk memajukan program pendidikan untuk semua?