Sore ini saya mendengarkan talkshow Kick Andy di Metro TV yang membahas soal ujian nasional (UN). Di sana diceritakan betapa ketidakjujuran dilakukan secara sistematis oleh lembaga pendidikan dan pemangku peran bidang pendidikan lainnya. Ini sekaligus pelajaran yang diberikan secara terang-terangan bagi siswa-siswa peserta UN soal bagaimana ketidakjujuran itu dihalalkan.
Sudah banyak pembahasan soal ketidakjujuran dalam proses UN. Namun, belum banyak orang membahas bagaimana anak-anak dengan disabilitas mengikuti proses UN. Yang sudah diangkat oleh media massa antara lain, apakah pemerintah menyediakan soal dalam huruf Braille bagi siswa tunanetra, terutama yang menempuh pendidikan di sekolah umum.
Di bawah ini catatan kecil saya terkait ketersediaan soal dalam huruf Braille bagi siswa tunanetra yang menempuh UN di sekolah umum.
Tahun 2012 lalu, banyak media massa mengangkat fakta tidak tersedianya soal UN dalam huruf Braille. Tidak hanya bagi siswa tunanetra yang menempuh UN di sekolah umum, bahkan juga siswa tunanetra yang menempuh UN di sekolah luar biasa (SLB). Tak ada klarifikasi resmi dari pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan soal ini.
Tahun ini, saya mendapatkan informasi bahwa siswa tunanetra yang menempuh UN di sekolah umum di Jakarta, baik tingkat SD, SMP maupun SMA mendapatkan soal dalam huruf Braille. Namun, dalam sampul soal tersebut tertulis soal untuk siswa SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa), SMPLB (Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa), dan SMALB (Sekolah Menengah Atas Luar Biasa).
Bagi siswa tunanetra yang menempuh UN di tingkat SD hal ini tidak masalah, karena kurikulum SD untuk SLB masih sama dengan kurikulum SD di sekolah umum. Namun, bagi siswa tunanetra yang menempuh UN di SMP dan SMA umum hal ini menjadi masalah karena kurikulum SMPLB dan SMALB lebih rendah daripada SMP dan SMA umum.
SLB di Indonesia memang dirancang memberikan pendidikan kepada siswa penyandang disabilitas dengan menitikberatkan pada keterampilan kemandirian pribadi dan keterampilan yang diharapkan dapat menjadi salah satu sumber penghidupan alumni mereka. Dengan demikian, muatan bidang akademik tidak sebanyak siswa yang menempuh pendidikan di sekolah umum. Terlebih lagi, SLB juga bertugas memberikan pendidikan bagi anak dengan disabilitas ganda atau bahkan multidisabilitas. Sehingga, memang sangatlah tepat jika SLB tidak menitikberatkan pada capaian bidang akademik.
Sebagai konsekuensinya, bagi siswa penyandang disabilitas dengan tingkat kecerdasan rata-rata normal (sebut saja begitu untuk membandingkannya dengan mereka yang menyandang disabilitas intelektual), setelah menyelesaikan SLB di tingkat sekolah dasar, mereka dianjurkan untuk melanjutkan SMP ke sekolah umum. Dengan demikian, pengembangan potensi kecerdasan serta akademik mereka dapat dilakukan dengan lebih optimal.
Hal ini juga berarti, saat mereka menjalani evaluasi belajar dalam bentuk ujian nasional, anak-anak penyandang disabilitas yang bersekolah di sekolah umum juga dievaluasi sesuai dengan standar kemampuan mereka, bukan yang lebih rendah dari kemampuan mereka yang seharusnya.
Kompleksitas tantangan dalam membangun sistem pendidikan bagi anak dengan disabilitas di Indonesia hingga kini memang masih sangat tinggi. Hal ini antara lain dikarenakan para pembangun sistem pendidikan itu belum berpikir secara komprehensif. Mereka cenderung mencari solusi jangka pendek untuk persoalan jangka panjang. Dan, sebaliknya, mencari solusi jangka panjang untuk persoalan yang seharusnya diatasi dalam jangka pendek.
Kondisi ini merupakan pemberitahuan penting bagi pegiat di bidang pendidikan anak dengan disabilitas untuk membangun sinergi lebih luas, menyelaraskan visi dan misi bersama, berbagi tugas sesuai kompetensi masing-masing demi peningkatan kualitas pendidikan anak-anak dengan disabilitas di Indonesia. *Aria Indrawati