Accessibility Tools

Merayakan Hari Relawan Internasional 5 Desember

“Kalau Jadi Relawan lebih keren ya”…..

5 Desember diperingati sebagai hari relawan internasional. Kegiatan kerelawanan di Indonesia kini mulai marak berkembang. Di beberapa sekolah, para pelajar mulai dianjurkan melakukan kegiatan “community service”, yang biasanya diisi dengan melakukan kunjungan ke tempat atau kalangan masyarakat tertentu yang dipandang membutuhkan bantuan, dan para pelajar diajak melakukan sesuatu untuk membantu kelompok masyarakat tersebut. Kegiatan semacam ini merupakan langkah-langkah dini menumbuhkan jiwa dan semangat kerelawanan di kalangan pelajar.

Memiliki semangat kerelawanan memang harus diajarkan kepada anak-anak sedini mungkin. Dan itu bisa kita mulai dari dalam rumah kita, lalu melebar ke lingkungan di sekitar kita. Menumbuhkan semangat kerelawanan berarti membangun rasa empati di dalam diri kita, berempati akan kondisi yang dialami orang lain, dan mendorong diri sendiri untuk turut berperan mengatasinya, menolong serta membantu.

Jika kita mau mencermati dengan lebih dalam, “membantu orang lain” sebenarnya merupakan salah satu “kebutuhan” kita. Mengapa demikian? Sebagai manusia yang memiliki kelebihan dan sekaligus keterbatasan, tak dapat dipungkiri, kita membutuhkan pertolongan dan peran orang lain dalam kehidupan kita sehari-hari. Jika kita bersedia meringankan tangan, kaki, pikiran dan hati kita untuk membantu orang lain, saat suatu hari nanti kita membutuhkan bantuan orang lain, yang bisa jadi sama sekali berbeda dengan orang yang telah kita bantu sebelumnya, kita akan dengan mudah mendapatkan pertolongan tersebut. “Begitulah hukum kehidupan”.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan jika kita ingin menjadi relawan? Peran relawan di masyarakat dapat kita bagi menjadi dua kategori.

Kategori pertama, Relawan yang membantu melakukan kegiatan yang dapat dilakukan, yang tidak ada kaitan dengan profesi mereka, atau tidak terlalu membutuhkan keahlian khusus. Contohnya, “gerakan seribu buku untuk tunanetra” yang Mitra Netra selenggarakan sejak tahun 2006 hingga kini. Gerakan ini mengajak warga masyarakat, siapa pun dia, menjadi relawan; tugas relawan ini adalah membantu mengetik ulang buku-buku populer ke dokumen “word”, untuk selanjutnya oleh Mitra Netra file-file buku tersebut diproses menjadi buku Braille. Pekerjaan yang Mitra Netra minta kepada para relawan adalah pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian khusus. Ketrampilan yang diperlukan hanyalah ketrampilan menggunakan atau mengetik di komputer, itu saja. Gerakan Seribu Buku Untuk Tunanetra telah menghimpun ribuan relawan dari pelbagai kalangan. Dari murid sekolah dasar hingga direktur perusahaan.

Untuk kategori pertama ini, yang diperlukan hanyalah “kemauan untuk meluangkan waktu dan tenaga” untuk membantu sesama.

Kategori kedua adalah, relawan yang membantu masyarakat yang memerlukan, dan bantuan yang diberikan terkait langsung dengan profesi yang ditekuni relawan tersebut. Contohnya, saat ini Mitra Netra sedang menyusun buku pedoman pembelajaran notasi Braille bagi tunanetra. Untuk kegiatan ini, Mitra Netra dibantu para volunteer, yaitu para akademisi yang memiliki keahlian di bidang seni musik. Para volunteer ini bekerja bersama-sama dengan tim ahli simbol Braille Mitra Netra, yang di antaranya adalah ahli simbol Braille di bidang musik. Contoh lain, ada banyak tenaga ahli di bidang tertentu, misalnya bidang manajemen, komunikasi, akuntansi, yang menjadi volunteer di organisasi nir laba, membantu organisasi tersebut membangun sistem manajemen organisasi mereka.

Untuk kategori kedua ini, di samping memiliki kemauan meluangkan waktu dan kemauan membantu, para relawan di bidang-bidang spesifik ini juga harus memiliki keahlian di bidang yang diperlukan.

Di samping membagi relawan dalam dua kategori di atas, ada lagi pembagian berikutnya, yaitu berdasarkan pembiayaan yang diperlukan saat relawan bekerja membantu di organisasi kita. Di bidang ini, skema kerelawanan juga dapat kita bagi menjadi dua kelompok.

Kelompok pertama, adalah relawan yang berkeinginan 100% membantu, termasuk biaya operasional yang diperlukan saat ia bekerja membantu sebuah komunitas atau organisasi. Sedangkan kelompok kedua, relawan yang membantu sebuah komunitas atau organisasi, sedangkan organisasi atau komunitas tersebut masih mengeluarkan biaya operasional yang diperlukan untuk mendukung kinerja relawan tersebut. Misalnya untuk keperluan transport dan konsumsi selama relawan bekerja membantu di organisasi atau komunitas tersebut, atau untuk keperluan biaya hidup relawan selama ia membantu komunitas/organisasi, jika relawan tersebut berasal dari luar daerah atau bahkan luar negeri. Jika lembaga atau komunitas yang dibantu tidak dapat menyediakan dana untuk menanggung biaya hidup atau biaya operasional tersebut, lembaga/komunitas tersebut dapat meminta pada organisasi, baik lokal maupun internasional, yang secara khusus berkecimpung di dalam kegiatan “penempatan relawan”.

Jika akhir-akhir ini kita sering mendengar dan membaca dari media massa yang menginformasikan betapa carut marutnya kondisi negara kita; sisi positif yang dapat kita ambil dari situasi ini adalah, kita semua memiliki kesempatan yang besar untuk berperan memperbaiki negeri kita, membantu sesama masyarakat yang membutuhkan bantuan.

Sebagai contoh, karena ketersediaan buku untuk tunanetra di Indonesia sangat terbatas, masyarakat memiliki kesempatan menjadi relawan, membantu mempercepat ketersediaan buku bagi tunanetra. Masih ada banyak contoh-contoh lain yang ada di masyarakat kita. Yang harus kita lakukan, jika telah berkomitmen menjadi relawan, adalah mencari dan memilih kegiatan kerelawanan yang sesuai dengan minat dan kemampuan kita, serta banyaknya waktu yang bisa kita sisihkan untuk membantu.

Mari jadikan kegiatan kerelawanan menjadi bagian dari “gaya hidup kita”. “Kalau jadi relawan, lebih keren ya”.

*Aria Indrawati

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top