Memberikan hak pada anak penyandang disabilitas bersekolah di sekolah terdekat dengan tempat tinggal mereka, adalah salah satu prinsip dasar dalam “sistem pendidikan inklusif”; yang biasa disebut “home school”. Adalah fakta, bahwa Di Indonesia sekolah yang ada di sekitar tempat tinggal kita beragam. ADa sekolah umum mulai tingkat dasar hingga menengah, ada sekolah kejuruan di tingkat menengah. ADa pula sekolah madrasah bagi anak-anak beragama Islam, mulai dari tingkat dasar hingga menengah.
Secara praktis, Indonesia mulai merintis penerapan sistem pendidikan inklusif di sekolah reguler umum sejak tahun 2003, dan didukung dengan kebijakan dalam bentuk peraturan menteri pendidikan pada tahun 2009 yaitu dengan peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 70 tahun 2009. Di Jakarta, kebijakan yang mengatur tentang pendidikan inklusif bahkan lahir lebih dahulu daripada kebijakan tingkat nasional, yaitu dengan peraturan Gubernur DKI Jakarta nomor 116 tahun 2007.
Semua kebijakan yang mengatur penyelenggaraan pendidikan inklusif tersebut hanya untuk sekolah reguler umum, dan belum untuk sekolah reguler kejuruan (SMK), apalagi madrasah. Kita semua tahu, madrasah adalah sekolah yang pengaturannya di bawah kementerian agama. Di kementerian agama, hingga kini sama sekali belum ada kebijakan apa pun soal pendidikan inklusif, baik di tingkat pendidikan dasar dan menengah maupun pendidikan tinggi.
Pada masa awal pendirian Yayasan Mitra Netra, lembaga ini pernah melakukan pendampingan tunanetra menempuh pendidikan di madrasah negeri tingkat aliyah. Sangatlah tidak mudah kala itu meyakinkan sekolah bahwa siswa tunanetra dapat belajar bersama siswa-siswa lain yang bukan tunanetra. Setelah melalui proses pendekatan panjang, akhirnya madrasah aliyah negeri 11 Jakarta Selatan bersedia menerima siswa tunanetra. Hasilnya, dua orang tunanetra bersekolah di sana dan menyelesaikan dengan baik.
Pada tahun ajaran 2015-2016, untuk pertama kalinya Mitra Netra melakukan pendampingan pada seorang siswa tunanetra yang mendaftar ke madrasah tsanawiyah negeri 19 Jakarta Selatan. Sekolah madrasah ini belum pernah menerima siswa tunanetra sebelumnya, dan di tahun ajaran ini ada dua siswa tunanetra mendaftar. Proses pendampingan telah dimulai sebelum kedua siswa tunanetra lulus sekolah dasar di sekolah luar biasa (SLB) Lebak Bulus. Setelah melakukan diskusi dengan kepala sekolah dan guru-guru, kedua siswa tunanetra mengikuti tes masuk, dan akhirnya diterima.
Secara umum, proses penyesuaian berlangsung dengan baik. Tidak ada masalah yang sangat berarti. Siswa tunanetra tersebut senantiasa meminta Mitra Netra mengalihkan buku-buku pelajaran yang harus dipelajari menjadi buku-buku Braille, bahkan juga soal-soal ulangan. Pendampingan belajar untuk mata pelajaran tertentu yang memerlukan strategi pembelajaran khusus, misalnya matematika, dan pendampingan mengerjakan tugas-tugas pun Mitra Netra berikan pada kedua siswa tersebut. Setelah menangani siswa tunanetra selama satu semester, pimpinan MTSN 19 Jakarta Selatan tersebut memutuskan menjadikan sekolah tersebut sebagai sekolah yang terbuka menerima siswa tunanetra. Pihak MTSN 19 akan mendatangi siswa tunanetra tersebut jika mereka berkeinginan mendaftar. Pendaftaran madrasah biasanya dimulai sebelum siswa menempuh ujian akhir.
Langkah MTSN 19 Jakarta selatan ini dapat menjadi faktor pendorong, agar kementerian agama segera mengeluarkan kebijakan tentang pendidikan inklusif untuk lembaga pendidikan Islam, mulai dari tingkat dasar, tingkat menengah hingga pendidikan tinggi. *Aria Indrawati.