14 Mei 2020, Yayasan Mitra Netra genap 29 tahun. Tak ada acara syukuran di istana tunanetra yang terletak di kawasan Lebak Bulus Jakarta Selatan ini, karena Jakarta sedang darurat COVID 19, yang mengharuskan warganya belajar, bekerja dan beribadah di rumah. Namun, itu tak mengurangi rasa syukur yang merebak di hati setiap orang yang berkarya di Mitra Netra, yang senantiasa diekspresikan melalui obrolan di grup chatting tim Mitra Netra.
29 tahun bukan waktu yang singkat; 29 tahun berarti menuju tiga dekade, tahun depan 2021. Pelbagai bentuk masa krisis telah dilalui; yang terberat adalah di tahun 2011, saat Mitra Netra harus melepas hampir setengah dari tim yang telah berkarya bersama-sama dalam waktu yang tidak singkat. Keputusan itu diambil karena para Pengurus Yayasan ini harus menyelamatkan kapal Mitra Netra agar tidak karam. Banyak pelajaran berharga yang diambil dalam proses melalui masa krisis tersebut; Dan proses belajar tersebut membuat Mitra Netra terus tumbuh dewasa.
Salah satu kunci keberhasilan dalam melalui masa krisis adalah “komitmen kuat pada visi dan misi lembaga. Sebagai entitas yang memusatkan perhatian pada peningkatan kualitas dan partisipasi tunanetra di bidang pendidikan dan pekerjaan, visi Mitra Netra adalah “menjadi pengembang dan penyedia layanan, guna terwujudnya kehidupan tunanetra yang cerdas, mandiri dan dapat bemakna di masyarakat yang inklusif”. Sebuah mimpi yang harus diwujudkan, dan membutuhkan waktu tidak sebentar untuk mewujudkannya.
Apa yang unik dari Mitra Netra?
Di era sebelum Mitra Netra dilahirkan, bahkan hingga kini, banyak lembaga / organisasi dibentuk untuk memberdayakan tunanetra, baik milik pemerintah maupun milik masyarakat. Namun, yang unik dari Mitra Netra adalah, Yayasan ini berupaya untuk menghindari duplikasi program, dengan lebih fokus mengerjakan hal-hal yang belum dikerjakan, atau, belum cukup dikerjakan oleh lembaga lain. Bila yang dikerjakan itu adalah hal yang benar-benar baru, maka, Mitra Netra akan menyebarluaskannya ke seluruh Indonesia, agar dapat dinikmati sebanyak mungkin tunanetra di negeri ini. Satu di antaranya adalah membangun sistem produksi dan distribusi buku yang aksessibel untuk tunanetra di Indonesia. Mulai dari buku Braille, buku audio analog, buku audio digital, hingga yang terbaru adalah buku dalam format e-pub yang dapat dibaca baik menggunakan komputer maupun telepon pintar.
Komitmen Mitra Netra untuk membangun sistem produksi dan distribusi buku aksessibel untuk tunanetra ini dikarenakan sangat minimnya ketersediaan buku untuk tunanetra di Indonesia, yang ini tentu berdampak langsung pada pendidikan dan pemberdayaan tunanetra di negeri ini. Salah satu penolakan sekolah reguler menerima siswa tunanetra, adalah karena tunanetra tidak punya buku untuk belajar. Mengakses buku merupakan “tantangan terbesar” tunanetra yang menempuh pendidikan di sekolah reguler hingga perguruan tinggi kala itu. Dengan ketekunannya, Mitra Netra berhasil mengubah “tantangan” itu menjadi “peluang”, berihtiar, memberikan solusi untuk Indonesia. Mulai dari pengembangan software untuk memproduksi buku Braille Mitra Netra Braille Converter (MBC), mengembangkan perpustakaan Braille online untuk membuat distribusi buku Braille ke seluruh Indonesia lebih efisien, memproduksi buku audio analog dan kemudian bermigrasi ke produksi buku audio digital karena perkembangan teknologi, serta terakhir memproduksi buku dalam format e-pub yang dapat diakses tunanetra secara langsung melalui perpustakaan online www.pustaka.mitranetra.or.id. Semua buku yang diproduksi Mitra Netra dapat diakses tunanetra melalui layanan perpustakaan, baik perpustakaan yang dikelola Mitra Netra sendiri, perpustakaan khusus untuk tunanetra yang telah bekerja sama dengan Mitra Netra, maupun perpustakaan umum. Hingga kini, memang belum banyak perpustakaan umum yang menyediakan buku untuk tunanetra; Salah satu yang telah melakukan adalah Perpustakaan Nasional.
Yang Pertama kali menyelenggarakan Kursus Komputer Bicara Untuk Tunanentra Di Indonesia.
Saat salah satu Pendiri Yayasan Mitra Netra, Pak Bambang Basuki mendengarkan bagaimana seorang tunanetra di Singapur telah dapat menggunakan komputer di tahun 1991, saat itu Sang Pendiri Mitra Netra ini berkomitmen, “teknologi komputer bicara ini harus segera masuk ke Indonesia”. Dan, Indonesia sangat bersyukur, karena Allah mengijinkan itu terjadi. Di tahun 1992, dengan dukungan Pak Bob Hasan, salah satu donatur Mitra Netra, kursus komputer untuk tunanetra pertama kali diselenggarakan di Indonesia, di kantor Mitra Netra yang kala itu masih berupa ruangan yang dipinjamkan oleh salah seorang relasi Pengurus.
Setelah memulai kursus komputer bicara dengan hanya berbekal satu unit komputer bicara – PC yang didonasikan oleh Pak Bob Hasan di tahun 1992,Mitra Netra pun secara bertahap mulai menyebarluaskan informasi tentang adanya kursus komputer untuk tunanetra di Jakarta.
Pada fase awal, bahkan tidak semua tunanetra menyambut positif langkah Mitra Netra memulai penyelenggaraan kursus komputer bicara untuk tunanetra. Saat Mitra Netra mempresentasikan bagaimana tunanetra menggunakan komputer bicara dalam sebuah latihan dasar kepemimpinan untuk tunanetra yang diikuti tunanetra dari Jakarta dan luar Jakarta di tahun 1997, termasuk penulis sendiri, kala itu ada seorang tunanetra, mahasiswa IKIP Bandung yang mengatakan bahwa “tunanetra menggunakan komputer itu seperti mimpi makan keju; Daripada makan keju tapi mimpi, lebih baik makan singkong tapi makan beneran”. Penulis pun sangat kaget mendengar statement itu diucapkan oleh seorang tunanetra yang berstatus mahasiswa. Ada juga seorang tokoh masyarakat yang memang memiliki kepedulian pada pemberdayaan tunanetra, namun, kala itu mungkin yang bersangkutan belum paham betapa pentingnya tunanetra memiliki ketrampilan menggunakan komputer, tokoh masyarakat itu berpendapat bahwa “tunanetra menggunakan komputer itu seperti melawan kodratnya sebagai tunanetra”.
Karena Mitra Netra meyakini bahwa tunanetra memiliki ketrampilan menggunakan teknologi komputer itu super penting, karena jika tidak, tunanetra akan tertinggal dan ditinggalkan, Mitra Netra pun terus bergerak, tidak hanya di Jakarta, namun juga ke kota-kota lain di luar Jakarta. Di kota-kota di luar Jakarta, Mitra Netra bekerja sama dengan lembaga lain, di antaranya sekolah luar biasa untuk tunanetra, membantu mereka agar dapat memulai penyelenggaraan kursus komputer bicara untuk tunanetra. Bandung, Sukabumi, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Medan, Aceh, Payakumbuh, Lampung, palembang, Banjarmasin, Makasar, Denpasar dan Ruteng; adalah beberapa kota yang pernah Mitra Netra datangi. Tentu semua itu dapat Mitra Netra lakukan karena adanya dukungan dari lembaga pendana atau sponsor. Tanpa mereka, ide Mitra Netra untuk menyebarluaskan keahlian dan progam ke kota-kota lain di Indonesia hanya akan ada di atas kertas.
Menjadi organisasi lokomotif.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, jika Mitra Netra melakukan sesuatu yang baru yang bermanfaat untuk kemajuan tunanetra di Indonesia, Mitra Netra akan berihtiar untuk menyebarluaskannya ke seluruh Indonesia. Hal ini karena salah satu misi Mitra Netra adalah “membangun kapasitas lembaga lain yang memberdayakan tunanetra melalui penyebarluasan produk dan keahlian yang dimiliki. Menyebarluaskan penyelenggaraan kursus komputer bicara serta buku-buku yang aksessibel untuk tunanetra yang diuraikan di atas adalah salah satunya.
Misi tersebut sangat penting, mengingat Mitra Netra berlokasi di Jakarta, sementara tunanetra di Indonesia itu tersebar dari Aceh hingga Papua; Mitra Netra Ingin tidak hanya tunanetra di Jakarta dan sekitarnya yang menikmati kemajuan, namun, kemajuan juga harus dirasakan oleh tunanetra di seluruh Indonesia.
Saat Mitra Netra berkomitmen mengembangkan software Mitra Netra Braille Converter (MBC) yang digunakan untuk mempermudah produksi buku Braille, atau saat Mitra Netra mengembangkan kamus elektronik Inggris-Indonesia Indonesia Inggris untuk tunanetra dengan nama Meldict (Mitra Netra Electronic Dictionary) guna mempermudah tunanetra belajar bahasa Inggris, Mitra Netra menghibahkan produk-produk tersebut. Untuk MBC dihibahkan kepada lembaga yang memproduksi buku Braille, sedangkan Meldict dihibahkan ke tunanetra secara langsung atau ke sekolah yang memiliki siswa tunanetra. Semuanya hibah, karena Mitra Netra mengembangkan produk-produk khusus tersebut juga melalui kerja sama program CSR perusahaan atau grant dari lembaga donor.
Dalam menyebarluaskan produk serta keahlian yang dimiliki ke seluruh Indonesia, Mitra Netra biasanya melakukan dalam bentuk program “capacity building (pengembangan kapasitas, dengan menyasar lembaga penyedia layanan untuk tunanetra atau organisasi tunanetra yang dipilih menjadi partner. Faktanya, memang tidak mudah memilih lembaga yang akan dijadikan partner. Mitra Netra tentu menetapkan standar minimum yang harus dipenuhi oleh lembaga tersebut, di antaranya adalah komitmen untuk melayani tunanetra. ) Fakta inilah yang Mitra Netra pandang menjadi salah satu penghambat kemajuan tunanetra di Indonesia, masih minimnya lembaga yang memiliki komitmen kuat untuk mengembangkan dan menyediakan layanan untuk tunanetra di Indonesia, negara kepulauan yang begini luas dan sangat beragam.
Tantangan pemenuhan akomodasi yang layak bagi tunanetra di bidang pendidikan yang berdampak pada lebih maksimalnya pemberdayaan mereka sehingga para tunanetra akan menjadi sumber daya manusia yang mampu bersaing memang masih sangat banyak. Bahkan tantangan itu terus berkembang sesuai dengan perkembangan jaman. Mitra Netra senantiasa yakin bahwa tidak akan ada sebuah lembaga yang mampu menyelesaikan tantangan-tantangan tersebut sendirian, termasuk lembaga milik pemerintah. Bahkan, fakta menunjukkan, pengembangan keahlian dalam pemberdayaan tunanetra di bidang pendidikan lebih banyak dilakukan oleh masyarakat. Karena tidak ada satu pun lembaga yang dapat menyelesaikan tantangan tersebut sendirian, maka, kerja sama antar lembaga harus terus dibangun. Pengalaman Mitra Netra mengajarkan, bahkan, untuk menghasilkan sebuah produk, misalnya MBC atau Meldict, butuh kerja sama banyak pihak.
Salah satu contoh baik kerja sama antara Mitra Netra dengan Pemerintah adalah saat Badan Pengembangan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berencana mengembangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia versi elektronik untuk tunanetra dengan nama KBBI Disnet (Kamus Besar Bahasa Indonesia Disabilitas Netra). Dalam program ini, Badan Pengembangan Bahasa yang memiliki program, menjalin kerja sama dengan Mitra Netra dengan cara memanfaatkan keahlian yang dimiliki oleh tim Mitra Netra, yang telah berpengalaman mengembangkan kamus elektronik khusus untuk tunanetra sebelumnya.
Mengikis pandangan yang salah.
Mitra Netra dilahirkan di era saat publik berpendapat bahwa “tunanetra itu meski sudah diberikan pendidikan, tetap saja tidak dapat produktif”; Olehkarenanya, meyakinkan publik bahwa berinvestasi untuk memberdayakan tunanetra itu sangat bernilai, adalah tantangan tersendiri. Pihak-pihak yang lebih suka dengan hal-hal yang “akrobatik” bahkan sempat mengatakan pada Mitra Netra: “daripada memproduksi buku Braille dengan biaya mahal, lebih baik mengajarkan merpati putih pada tunanetra, karena dengan belajar merpati putih tunanetra akan dapat bermobilitas tanpa tongkat, dan dapat membaca huruf biasa – bukan huruf Braille – meski tidak dapat melihat”.
Untuk mengikis persepsi keliru tersebut, sangatlah penting untuk memiliki sebanyak mungkin “role model” sebagai contoh, dan mempublikasikan role model tersebut agar diketahui dan dikenal publik secara luas. Dengan datangnya era reformasi yang antara lain ditandai dengan maraknya media, baik media cetak, media elektronik serta media online, Mitra Netra pun memanfaatkan kanal-kanal informasi itu untuk membangun persepsi publik yang benar tentang kemampuan tunanetra sebagai sumber daya manusia. Saat Indonesia mulai memiliki stasiun TV berita misalnya, dan berita tentang tunanetra mampu menggunakan komputer diliput oleh stasiun TV berita tersebut dalam pelbagai event acara dan diulang-ulang, publik Indonesia pun mulai sadar dan paham, betapa pentingnya berinvestasi untuk memberdayakan tunanetra.
Kesadaran pentingnya pemberdayaan tunanetra tentu harus pula dimiliki oleh keluarga yang memiliki anak tunanetra. Munculnya para role model di pelbagai media telah berperan meyakinkan orang tua dan keluarga, bahwa “anak tunanetra bersekolah itu penting, dan keluarga harus berperan di dalamnya”.
Lembaga pemberi kerja baik sektor swasta maupun sektor pemerintah pun mulai percaya, bahwa mereka dapat mempekerjakan penyandang tunanetra, dan dengan menerima tunanetra bekerja, akan memiliki efek pemberdayaan yang sangat kuat bagi masyarakat. Tunanetra yang bekerja akan dapat menghidupi diri sendiri bahkan keluarganya; Tidak lagi menjadi beban keluarga dan negara, bahkan dapat berfungsi, berperan dan bermakna di masyarakat, termasuk menjadi pembayar pajak penghasilan, sebagaimana “visi Yayasan Mitra Netra”.
Peran penting volunteer.
Salah satu pilar penting dalam membangun Mitra Netra sebagai lembaga pengembang dan penyedia layanan untuk tunanetra di bidang pendidikan dan pekerjaan adalah “peran volunteer atau relawan”. Ini karena pekerjaan yang harus dilakukan tidak sedikit, sementara sumber daya yang dimiliki sangat terbatas.
Salah satu contoh gerakan kerelawanan yang berhasil Mitra Netra gulirkan di Indonesia adalah saat lembaga ini berihtiar untuk mengakselerasi jumlah ketersediaan buku Braille dan buku berbasis teknologi multi media di Indonesia. Di tahun 2006 Mitra Netra mencanangkan gerakan “seribu buku untuk tunanetra”, untuk mengajak masyarakat berpartisipasi dengan mengetik ulang buku-buku umum dan referensi, bukan buku pelajaran sekolah. Pada awalnya gerakan ini bahkan sempat mendapat respon negatif dari masyarakat karena mereka mempersoalkan legalitas kegiatan ini dikaitkan dengan “hak cipta”. Namun, seiring dengan berjalannya waktu bersama dengan penjelasan-penjelasan yang Mitra Netra berikan, masyarakat pun mulai memahami, dan bahkan menyadari betapa masih minimnya ketersediaan buku untuk tunanetra di Indonesia dan mereka dapat berpartisipasi mengatasinya dengan mudah. Dengan makin canggihnya perkembangan teknologi pemindaian (scanning), dengan kecepatan serta akurasi tinggi, peran relawan untuk mengetik ulang buku-buku populer ini tidak lagi urgent seperti saat gerakan Seribu Buku Untuk Tunanetra pertama kali digulirkan.
Masyarakat yang ingin menjadi relawan di Mitra Netra dapat mendaftar dan memilih bidang yang sesuai dengan kebutuhan Mitra Netra dan kemampuan yang dimiliki para relawan. Saat ini, relawan di Mitra Netra tidak hanya mereka yang bukan tunanetra, namun juga para tunanetra yang pernah merasakan layanan Mitra Netra pun menjadi relawan di lembaga yang telah memberdayakannya. Hadirnya relawan dari kalangan tunanetra sekaligus menunjukkan bahwa tunanetra juga dapat bermakna untuk sesama.
Hadirnya kelompok sasaran baru.
Meski pada awalnya Mitra Netra hanya melayani penyandang tunanetra saja, namun, dalam perjalanannya, orang tua yang memiliki anak tunanetra dengan disabilitas ganda hadir dan mengharapkan Mitra Netra dapat melayani mereka. Meski tidak mudah pada awalnya, karena Mitra Netra tidak memiliki keahlian melayani penyandang tunanetra dengan disabilitas ganda, Melalui proses belajar yang konsisten serta karena komitmen kuat untuk melayani dan tidak menolak kehadiran mereka, perlahan tapi pasti, layanan untuk tunanetra dengan disabilitas ganda ini pun mulai dirintis. Tantangan terbesar dalam melayani anak tunanetra dengan disabilitas ganda atau multi di Indonesia adalah minimnya tenaga ahli. Jumlah tenaga psikolog anak yang memiliki keahlian melakukan assessment pada anak penyandang disabilitas masih sangat minim. Belum lagi tenaga terapis, baik baik terapis fisik, terapis akopasi maupun terapis bicara. Yang ada rata-rata ada di klinik-klinik komersial dengan biaya layanan yang mahal, yang tentu saja tidak terjangkau oleh keluarga dari kalangan sosial ekonomi lemah. Tak heran jika pemberdayaan anak-anak penyandang disabilitas ganda dan multi di Indonesia masih jauh dari menggembirakan. Pemerintah pun terkesan belum memberikan perhatian dengan sungguh-sungguh.
Telah banyak yang dilakukan selama 29 tahun; Namun, masih ada banyak hal lain yang harus dilakukan. Membangun lembaga seperti Mitra Netra ini tentu tidak dapat dilakukan oleh satu atau dua generasi saja. Perlu kelanjutan dari generasi-generasi berikutnya, karena meski menurut WHO 80 % kebutaan dapat dicegah, masih ada 20 % sisanya yang tidak dapat dicegah. Tentu yang 20 % ini juga harus diberdayakan akan tumbuh menjadi manusia yang cerdas, mandiri dan dapat bermakna di masyarakat yang inklusif sebagaimana ditegaskan oleh visi Yayasan Mitra Netra.
Saat ini Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan sedang menyiapkan peraturan Menteri Pendidikan Dan kebudayaan untuk membentuk “unit layanan disabilitas” (ULD) di sektor pendidikan yang dimandatkan oleh Undang-Undang No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Peraturan pemerintah No. 13 tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak Bagi peserta Didik Penyandang Disabilitas. Jika Pemerintah mau, Pemerintah dapat belajar dari Mitra Netra yang telah berperan mengembangkan dan menyediakan layanan untuk peserta didik tunanetra selama 29 tahun. Apa yang Mitra Netra lakukan selama ini telah menjadi salah satu sumber inspirasi saat koalisi nasional organisasi penyandang disabilitas menginisiasi penulisan draft Undang-Undang no. 8 tahun 2016 serta Peraturan pemerintah No. 13 tahun 2020. Mitra Netra adalah “best practice untuk Indonesia”.
*Aria Indrawati