Accessibility Tools

Foto Abizard Giffari

Memaknai Hari Guru Nasional Bersama Abizard Giffari, Relawan Peer Teaching di Mitra Netra

Hari Guru Nasional diperingati tanggal 25 November setiap tahun. Momentum yang bertepatan dengan ulang tahun Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) itu merupakan pengingat bagi kita semua untuk memberikan apresiasi kepada para sosok pengajar. Berkat jasa para guru, maka pemberian pendidikan yang berkualitas bagi generasi penerus bangsa dapat dijaga keberlangsungannya. Sebagai seseorang yang pernah atau mungkin masih menjadi murid, tentunya kita dapat memaknai hari guru nasional ini dengan berbagai hal. Misalnya memberikan ucapan kepada guru kita, melakukan silaturahmi atau meneladani sikap guru yang menjadi inspirasi. Seperti halnya yang dialami oleh seorang Sahabat Tunanetra berikut ini. Penasaran? simak kisah dan pennuturannya tentang makna guru di kehidupannya di artikel berikut, yuk!

Menjadi Tunanetra dan bertemu Mitra Netra

namanya Abizard Giffari. Pemuda kelahiran 14 November 1996 ini merupakan seorang tunanetra yang kehilangan penglihatannya di usia dewasa. Sejak kelas 3 di sekolah dasar, Giffari telah memakai kacamata yang hampir tiap tahun level minus dan silindernya terus bertambah. Hingga di tahun 2011, Giffari merasakan penglihatan mata kanannya turun secara drastis.
“waktu itu di jam pertama sekolah, tiba-tiba pandangan mataku jadi aneh. Aku lihat guru di depan kelas, Cuma terlihat dari pinggang ke bawah. Yang tubuh bagian atas itu buram dan nggak kelihatan”, ujar Giffari mengawwali ceritanya.
Merasa penglihatannya tak kunjung membaik, Giffari segera menyampaikan kondisinya itu pada orang tuanya. Berbagai upaya medis segera dilakukan, seperti pemeriksaan ke dokter ahli retina dan melaksanakan tindakan operasi. Namun, tidakan operasi yang cepat dilaksanakan itu pun tidak dapat menolong penglihatan yang hilang dari mata kanan Giffari. Dokter memberitahukan bahwa sulung dari 4 bersaudara ini mengalami pelepasan syaraf retina atau istilah medisnya adalah ablasio retina. Bahkan yang lebih mengejutkan, dokter menyatakan bahwa mata kiri Giffari pun memiliki kecenderungan mengalami hal yang serupa. Tentu saja kenyataan tersebut memuat Giffari dan orang tuanya sangat terpukul.

Baca juga : Wajib Tahu, Ini 5 Fakta Bagaimana Sahabat Tunanetra Bisa Kuliah!

 

Meski dalam keadan penglihatan mata kirinya yang terus menurun, Giffari tetap bersekolah dan beraktivitas seperti biasa. Upaya medis juga tetap dilakukan di sela-sela kegiatan sekolahnya. Di masa-masa SMA, Giffari mensyukuri dukungan dari guru serta teman-temannya, sehingga dia mampu mengikuti seluruh kegiatan pembelajaran di sekolah dengan baik. Bahkan pecinta pelajaran matematika dan fisika ini dapat berprestasi serta menjadi ketua ekstrakurikuler kebudayaan jepang selama 3 tahun di SMA 85.
“saat itu aku masih low vision, jadi di sekolah saat belajar atau mencatat di kelas selalu dibantu oleh guru dan teman-teman. Dan Alhamdulillah juga dipercaya menjadi ketua ekskul sekaligus pengajar bahasa jepang di SMA-ku dari tahun 2013 sampai 2015. Waktu itu guru dan teman-teman sering lihat aku belajar huruf kanji jepang”, kenangnya sambil tersenyum.
Usai lulus SMA, Giffari terus melakukan upaya medis. Tapi karena beberapa operasi mata yang dilakukan tak menunjukkan hasil yang memuaskan, maka sang ayah berinisiatif mengajak Giffari ke Yayasan Mitra Netra. Di sanalah, pemuda yang memiliki hobi traveling ini menemukan kembali harapan dan semangat hidupnya. Bertemu dengan teman-teman sesama tunanetra membuat rasa penasaran Giffari terbit. Sejak Mei 2016, Giffari mengikuti hampir semua program dan layanan yang tersedia di Mitra Netra. Mulai dari kegiatan yang dapat menyalurkan hobinya, seperti kursus keyboard dan mengasah kemampuan bahasa asing dengan bergabung di english club dan german club. Sedangkan untuk menunjang kemandirian serta persiapan memasuki jenjang perkuliahan, Giffari mengikuti kursus oreientasi mobilitas, baca tulis braille dan komputer bicara.
“saking penasarannya, tunanetra bisa ngapain aja, aku ikuti hampir semua kegiatan di Mitra Netra. Aku sampai kaget, jadwal kegiatanku di Mitra Netra itu 4 hari seminggu. Cuma hari Kamis aja, aku nggak ke Mitra Netra”, ungkap Giffari sambil tertawa.

Baca juga: Peer Teaching, Bentuk Partisipasi Relawan Tunanetra dalam Layanan Pendampingan Belajar

 

Menjadi Pengajar dan Relawan Peer Teaching

Berawal dari rasa syukur dan bahagia karena dapat kembali beraktivitas sebagai tunanetra yang mandiri, Giffari kemudian bertekad untuk menjadi manusia yang bermanfaat. Tawaran mengajar bahasa jepang di SMA 85 yang sempat ditolaknya, kemudian diterima Giffari dengan tangan terbuka.
“awalnya aku tolak tawaran mengajar ekskul bahasa jepang di SMA-ku dulu, karena aku belum bisa bermobilitas mandiri, tapi setelah bisa OM (orientasi mobilitas), aku terima tawaran itu. Dari situ aku merasa kalau ternyata mengajar itu menyenangkan”, ungkapnya bersemangat.
Tak hanya sampai di situ. Giffari yang saat ini sedang menempuh semester 7 di jurusan hubungan internasional Universitas Nasional ini, sangat bersemangat saat ditawari menjadi relawan peer teaching di Mitra Netra. Tugasnya adalah membantu pembelajaran teman-teman tunanetra yang sedang mempersiapkan ujian kesetaraan atau yang biasa dikenal dengan program kejar paket. Bidang studi yang biasa diajarkan oleh Giffari adalah matematika dan fisika. Sebagai mahasiswwa dan pengajar ekskul bahasa jepang di SMA 85, Giffari selalu berusaha meluangkan waktunya untuk berbagi ilmu pada sesama tunanetra di Mitra Netra.
“untuk mengajar, aku saat ini membatasi hanya belajar matematika dan fisika untuk kejar paket dan bahasa jepang. Ini perlu dilakukan soalnya aku juga harus memprioritaskan kuliahku”, tutur Giffari yang saat ini tengah sibuk mempersiapkan sidang proposal skripsinya.
Di tahun 2018, Giffari juga membentuk kelas kecil bahasa jepang untuk teman-teman tunanetra. ide itu tercetus karena beberapa Sahabat Tunanetra ingin belajar bahasa jepang dan meminta Giffari untuk mengajarkannya. Melihat antusiasme teman-teman tunanetra dan kecintaannya pada kegiatan mengajarlah yang kemudian membuat Giffari luluh. Meski harus berpindah-pindah hari dikarenakan menyesuaikan dengan waktu kuliah, tak pernah menyurutkan semangat Giffari dan murid-muridnya untuk mengahdiri kelas bahasa jepang tepat waktu. Hal inilah yang kemudian menjadi kebahagiaan dan motivasi yang kuat bagi Giffari untuk terus membagikan ilmunya.

Baca juga: Rayakan Hari Buku Nasional Bareng Juwita Maulida, Tunanetra Penggila Buku

 

Makna Guru dan Berbagi Ilmu

Telah mengalami sendiri bagaimana pahit manisnya menjadi seorang pengajar, membuat Giffari sadar betapa luar biasa perjuangan para guru dalam mendidik anak muridnya. Mengajar murid dengan berbagai karakter, tentunya menjadi tantangan yang memerlukan kesabaran dan kreativitas. Namun, saat bisa melihat murid tertarik, bahkan memahami materi yang diajarkan, merupakan buah manis hasil perjuangan para pengajar yang tak dapat dinilai dengan apapun di dunia.
“sebagai pengajar, kalau ilmu kita bisa diajarkan, diamalkan, bahkan membawa dampak positif bagi orang lain, tentunya itu hal yang luar biasa. Rasa bahagianya tidak bisa diukur atau digantikan dengan apapun. Makanya aku juga jadi terus termotivasi untuk membagikan ilmu yang aku miliki pada orang lain”, ujar Giffari saat ditanya tentang hal yang tak bisa dilupakannya saat menjadi pengajar.
Giffari juga mengakui bahwa tanpa jasa para guru-gurunya, dia tak akan menjadi sosok pengajar yang baik. Pemuda 24 tahun ini menyatakan bahwa semua guru adalah sosok inspiratif yang ada di hidupnya. Sikap positif, semangat dan cara mengajar yang kreatif merupakan teladan bagi Giffari ketika mengajar. Sosok-sosok guru yang sangat menginspirasi Giffari saat ini adalah para guru tunanetra yang ada di Mitra Netra. Dia belajar banyak metode mengajar dari para gurunya tersebut, terutama sebagai acuan saat mengajar teman-teman tunanetra.
“guru-guru di Mitra Netra itu luar biasa. Gimana enggak, kalau yang diajarin murid tunanetra itu kan tantangannya lebih besar. Jadi, harus punya cara-cara kreatif saat mengajar”, ucap Giffari menegaskan pendapatnya.

Mengingat perjuangan dan jasa para guru, membuat Giffari menganalogikan guru adalah sebagai harta yang tak ternilai. Guru memiliki ilmu yang sangat berharga, bak harta yang diinginkan manusia di dunia. Namun, ketika murid berhasil mencuri ilmu atau harta tersebut, justru seorang guru tak akan pernah marah, justru menjadi bahagia karenanya. Guru akan selalu bangga dan bahagia jika melihat muridnya menjadi sosok yang berhasil dan lebih pintar dari dirinya. Selamat Hari Guru Nasional bagi seluruh pahlawwan tanpa tanda jasa di seluruh tanah air Indonesia!
*Juwita Maulida

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top