Accessibility Tools

screenshot zoom peserta screening dan diskusi film Sejauh Kumelangkah bersama Mitra Netra

Wujudkan Masyarakat Inklusif dengan Membuka Ruang Dialog bersama Mitra Netra dan Film Sejauh Kumelangkah

Dalam rangka menyambut tahun yang baru, Yayasan Mitra Netra terus berupaya memberikan sesuatu yang baru pula bagi Sahabat Tunanetra di Indonesia. Salah satu yang baru di tahun 2021 ini adalah melaksanakan berbagai kegiatan dan diskusi secara daring. Upaya tersebut dilakukan demi pencegahan penularan Covid-19 yang masih terus bertambah hingga saat ini.
Pada 16 Januari lalu, Mitra Netra bekerja sama dengan tim Impact Campaign film Sejauh Kumelangkah, sukses menggelar diskusi dan pemutaran film yang menceritakan tentang kehidupan dua remaja tunanetra yang tinggal di amerika dan Indonesia ini. Tentu saja, kegiatan tersebut sepenuhnya dilaksanakan secara virtual menggunakan aplikasi Zoom Meeting. Kegiatan yang ditonton sekitar 170 orang dari berbagai latar belakang ini bertujuan untuk membangun ruang dialog antara penyandang tunanetra dan non-tunanetra, demi mewujudkan masyarakat inklusif. Nah, seperti apa sih acaranya? Lanjutkan bacanya sampai tuntas, ya!
Sebagai partner yang mendukung rangkaian kampanye dampak film Sejauh Kumelangkah, Mitra Netra ikut berkontribusi dengan menyelenggarakan kegiatan diskusi dan pemutaran film besutan Sutradara Ucu Agustin tersebut. Pada sesi diskusi, Mitra Netra mengangkat tema “Peran Tunanetra Muda dalam Berkomunitas di Masyarakat”, yang bertujuan untuk membuka perspektif baru tentang bagaimana generasi muda tunanetra dapat membangun ruang dialog dalam memberikan kesadaran di lingkungan di sekitarnya. Diskusi dilangsungkan setelah pemutaran film dengan menghadirkan tiga orang narasumber, yaitu Ucu Agustin, produser dan sutradara film Sejauh Kumelangkah; Andrea Darmawan, salah satu tokoh film Sejauh Kumelangkah yang tinggal di Amerika; serta Taufik Zulfikri, Alumni Mitra Netra yang aktif berkomunitas.

Baca juga: Merayakan Hari Pendidikan Nasional 2020; Mitra Netra Dan Pengembangan Model Akomodasi Yang Layak Untuk Peserta Didik Penyandang Tunanetra

Diskusi dipandu oleh Hadianti Ramadhani,seorang low vision yang bertindak sebagai MC sekaligus moderator. Antusiasme peserta diskusi cukup tinggi terlihat dari beberapa testimoni positif dan pertanyaa-pertanyaan yang disampaikan pada chat room. Misalnya saja, ketika Ucu Agustin ditanya mengenai tantangan dan latar belakang pembuatan film Sejauh Kumelangkah.
“tantangannya saat harus meyakinkan Andrea untuk bisa diambil gambarnya. Selain itu mungkin lebih pada komunikasi. Kalau Andrea sudah memiliki kesadaran tentang pilihannya, sehingga akhirnya lebih mudah berkomunikasi dengan dia. Tapi sebagai non-disabilitas saya juga banyak belajar dari Andrea dan Salsa, begitu juga sebaliknya. Dengan sama-sama mau belajar dan memahami, semua tantangan bisa teratasi”, ujar salah satu sutradara film documenter terbaik Indonesia yang saat ini tinggal di Washington ini. Ucu juga mengatakan, bahwa dia ingin sekali melihat masyarakat Indonesia yang setara, berempati dan menghargai penyandang disabilitas. Menggarap film yang menggambarkan andrea dan Salsa secara nyata dan tidak berlebihan merupakan kontribusi Ucu sebagai sineas kreatif untuk mewujudkan masyarakat yang inklusif tersebut.
“film Sejauh Kumelangkah ini bisa dibilang tujuannya untuk mengadvokasi diri sendiri sebelum ditonton orang lain. Karena sebagai sineas yang berkarya lewwat film perubahan, tentu saja saya sebagai sutradara harus belajar dan berubah lebih dulu, baru bisa mengubah orang lain”, tegas Ucu yang telah melahirkan berbagai karya film pendek.

Baca juga: Komunikasi Non Verbal, Perlukah Untuk Tunanetra?

Di sisi lain, Andrea mendapatkan pertanyaan yang berbeda. Peserta diskusi ramai-ramai bertanya bagaimana kehidupan remaja tunanetra di Amerika. Ada yang bertanya tentang kualitas pendidikan inklusif yang dijalani gadis berumur 21 tahun itu. Ada pula yang penasaran dengan segi aksesibilitas berbagai fasilitas di negeri Paman Sam itu.
Sebagai tunanetra yang tinggal di sebuah negara besar seperti Amerika, tidak serta merta Andrea mendapatkan lingkungan inklusif atau fasilitas yang aksesibel. Andrea yang menempuh pendidikan di sekolah inklusif, bicara tentang tantangan bergaul dengan orang-orang non-disabilitas. Namun, dia bersyukur karena dia bisa bertemu dengan teman-teman non-disabilitas yang baik. Selain itu, dia juga mengatakan bahwa bergabung dalam komunitas di sekolah maupun luar sekolah, sangat membantunya dalam pergaulan. Andrea yang saat ini telah berkuliah semester 2 di Washington, juga bercerita tentang gedung asramanya yang tidak aksesibel. Oleh karenanya, Andrea harus melakukan self advocacy pada pihak yang bertanggung jawab membuat gedung tersebut lebih aksesibel, seperti memasang tanda braille pada pintu kamar mandi dan kamar asramanya.
“ketika aku pindah ke Amerika, di sana ada kebijakan yang memungkinkan aku bisa sekolah inklusif tanpa biaya. Itu di sekolah negeri dari TK sampai SMA. Ada juga kebijakan yang mengharuskan public buildings lebih aksesibel untuk penyandang disabilitas. Tapi nggak jarang juga ada gedung-gedung lama dan kuno, tidak update juga accessibility-nya”, tutur Andrea yang sudah tinggal di Amerika Bersama keluarganya sejak usia 5 tahun ini.
Senada dengan yang diungkapkan Andrea, Taufik yang memiliki segudang aktivitas bersama komunitas, menyatakan bahwwa kesadaran masyarakat tentang keberadaan penyandang disabilitas di Indonesia masih perlu terus dibangun. Mahasiswa jurusan ilmu komunikasi Universitas Muhammadiyah Jakarta ini, mengatakan masih banyak orang yang seringkali kurang memahami kebutuhan atau cara berinteraksi dengan penyandang disabilitas, khususnya tunanetra. oleh karenanya, Taufik juga bergabung dalam satu komunitas yang programnya mensosialisasikan isu-isu disabilitas. Bahkan, Taufik tidak hanya menjadi perwakilan dari disabilitas netra yang melakukan edukasi pada masyarakat saja, tapi juga berperan sebagai humas di komunitas tersebut.
“karena tingkat awareness masyarakat itu masih kurang dan itu juga jadi tantangan kita bersama, harus dibangun komunikasi tentang apa yang kita butuhkan dan cara yang benar berinteraksi dengan penyandang disabilitas”, ujar Taufik yang kini menjalani profesi sebagai MC dan moderator.

Baca juga: Ngobrol Daring bersama tunanetra

Menutup acara diskusi malam minggu tersebut, Aria Indrawati, Kabag Humas Yayasan Mitra Netra, menyampaikan closing statement-nya. “cara yang terbbaik untuk membangun masyarakat yang inklusif adalah dengan membuka ruang dialog antara penyandang disabilitas dan non-disabilitas. Mewujudkan masyarakat inklusif adalah proses yang panjang, terus berkelanjutan dan membutuhkan dialog, sehingga pada akhirnya semua pihak dapat terakomodir kebutuhan khususnya, bisa berpartisipasi penuh dan berkegiatan bersama-sama. Dengan terus membuka ruang dialog ini setiap saat dan di segala aspek kehidupan, maka masyarakat inklusif ini tidak hanya menjadi impian, tapi bisa terwujud dalam keseharian kita”, pungas Aria.
*Juwita Maulida

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top