Accessibility Tools

Novel Selamat Tinggal karya Tere Liye

Selamat Tinggal Industri Gelap

Tere Liye kembali menembus pasar buku fiksi dengan respon pembaca yang amat baik. Diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada September 2020 lalu, novel berjudul Selamat Tinggal saat ini sudah diperbincangkan sebanyak hampir delapan ratus kali pada platform Goodreads dengan rating rata-rata yang melampaui empat bintang. Penulis kelahiran Sumatera Selatan ini telah mengolah 360 halaman kosong menjadi refleksi pemikirannya yang termanifestasi pada satu fase kehidupan tokoh berdarah Batak bernama Sintong Tinggal.

Secara garis besar, novel ini menceritakan tentang seorang mahasiswa abadi sebuah kampus besar yang akrab dipanggil Sintong. Sebagai anak rantau, Sintong menyambung kuliah dengan menjaga toko buku bajakan yang terletak di sebuah gang kecil dekat kampus. Meskipun ia terkesan hanya sebagai “mas-mas toko buku bajakan”, ia sebetulnya adalah mahasiswa berbakat yang memiliki pemikiran kritis dan keterampilan menulis opini yang tajam dalam mengkritik pemerintah dari sudut pandang  yang “netral”. Dengan bakatnya yang cemerlang ini, menulis skripsi pun seharusnya bukanlah hal yang sulit. Sayangnya, hal itu mustahil baginya yang tengah mengemban rasa kecewa dan getir sejak mendapat kabar bahwa sang kekasih hati memilih untuk menikah dengan orang lain.

Panggilan Pak Dekan, kehadiran mahasiswi bernama Jess, dan penemuan naskah buku yang telah lama hilang sukses membuatnya tergerak untuk perlahan mulai melanjutkan kehidupannya yang seolah terhenti selama empat tahun. Namun, ketika ia sudah mulai membuka lembaran baru, masalah lain muncul dari sisi moral terkait persoalan etis-tidak etisnya kerja paruh waktu yang selama ini berjasa dalam menghidupi dirinya selama berkuliah; menjaga toko buku bajakan. Masih dalam benang merah yang sama, ia pun harus kembali menghadapi persoalan dari masa lalunya tentang Mawar Terang Bintang, kekasih yang akhirnya memilih orang lain, yang tengah menunggunya di balik bui akibat jeratan transaksi obat-obatan palsu. Dari sini, matanya seolah baru benar-benar terbuka lebar dalam melihat industri gelap yang selama ini menggerogoti nuraninya dan masyarakat.

Hal paling menarik dari novel ini, selain tentang isu pelanggaran hak cipta,  adalah upaya pengarang yang berusaha meninggalkan dominasi Jakarta-Bandung ala cerita-cerita fiksi populer. Hal ini dilakukan pengarang dengan membuat tokoh protagonis yang berasal dari tanah Batak, Sumatera, dan figur ikonik bernama Sutan Pane, sastrawan dan tokoh nasionalis revolusioner dalam bidang literasi yang alkisah menghilang dari peradaban.

Dari sisi Sintong, sang protagonis, ia memiliki nama yang tidak umum, dan sepertinya hal ini dibuat demikian secara intensional oleh pengarang lewat dialog para tokoh yang beberapa kali mempertanyakan nama tersebut. Hal ini secara konsisten seperti mencoba mengarahkan pembaca untuk melihat kejanggalan nama Sintong Tinggal sebagai sebuah perbedaan budaya yang lumrah dan cukup disikapi dengan biasa-biasa saja. Sedangkan mengenai sosok Sutan Pane, ia dimunculkan sebagai sebuah diskursus yang merujuk atau terinspirasi pada tokoh sastrawan berdarah Batak bernama Sutan Pangurabaan Pane. Sosok ini merupakan tokoh sejarah penting yang bergerak di bidang literasi dan perjuangan nasional, namun jarang diketahui orang.

Pengangkatan unsur Batak dalam cerita Selamat Tinggal dapat dibaca sebagai sebuah pengingat pada masyarakat bahwa tokoh sejarah, sastrawan, dan intelektual tidak melulu orang ibukota ataupun orang Jawa. Poin ini berkaitan erat dengan paradigma jawa sentris di Indonesia yang secara historis pernah dikonstruksi di era Orde Baru. Sehingga, meskipun Indonesia dewasa ini telah mengalami reformasi pemikiran dan sistem, tak dapat dipungkiri bahwa isu jawa sentris masih menjadi masalah di masyarakat.

Di samping dari hal tersebut, novel ini memiliki kekuatan untuk menarik simpati masyarakat luas, terutama generasi muda. Hal ini dapat dilihat dari pengambilan setting yang dekat dengan kehidupan remaja SSMAatau lulusan SMA yang tengah asyik-asyiknya membayangkan situasi di perguruan tinggi besar dengan fasilitas yang cukup memukau. Selain itu, tokoh-tokoh sentralnya pun memiliki penokohan dan latar belakang yang khas anak muda. Kedua hal ini diramu dengan rapi lewat gaya bahasa kasual, lugas, namun cukup luwes dengan diksi-diksi kekinian. Kekuatan tersebut rasa-rasanya telah mampu menginfusi pembaca dengan renungan terkait posisi etis praktik pembajakan atau pemalsuan yang dituangkan sebagai salah satu konflik cerita.

Berbicara tentang produk ilegal, novel ini mengangkat topik besar tersebut secara general lewat pembagian dualitas nilai; baik-buruk. Meskipun secara normatif hal tersebut dapat dibenarkan, tetapi secara kritis pembaca dibuat melupakan kondisi situasional antar kasus, misalnya antara pembajakan karya yang menjadi akses literasi, dengan penipuan atau pemalsuan obat. Meskipun sama-sama melanggar hukum, situasi pertama diilustrasikan penulis sebagai sebuah praktik konsensual antara pembeli dan penjual yang keduanya sama-sama menghendaki barang tersebut. Sedangkan, pemalsuan obat digambarkan sebagai sebuah praktik yang sifatnya penipuan, yang berarti konsumennya sendiri bahkan tidak mengetahui barang apa yang sebetulnya ia beli. Konsekuensinya, tujuan politis pengarang novel yang menyuratkan pembacanya untuk bergerak meninggalkan produk bajakan jadi tidak memiliki relevansi dengan situasi-situasi yang sifatnya penipuan, meskipun sekilas hal tersebut seolah menguatkan kesan bahwa industri bajakan adalah praktik yang keji.

Selain itu, ilustrasi yang diberikan pengarang terkesan bias kelas dan terlampau reduksionis. Hal ini terlihat dari preferensi pengarang yang memunculkan tokoh-tokoh  yang berasal dari kelas menengah ke atas sebagai penikmat produk bajakan bermuatan literasi seperti buku, film, dan musik, contohnya pada bagian awal cerita ketika Sintong dengan keras menyebut pembeli buku bajakannya hanya “berlagak miskin” dan masih mampu hedon. Padahal di saat yang sama, kenyataannya, memang sebagian pembeli barang bajakan, khususnya buku, juga berasal dari kalangan masyarakat miskin. Tak jarang mahasiswa penerima bantuan bidikmisi yang harus terus menerus berusaha bertahan hidup meski uang beasiswa sering terlambat cair dan di saat yang bersamaan mereka masih harus mencicil buku bajakan. Atau misalnya mahasiswa tingkat akhir yang memerlukan belasan judul jurnal ilmiah dan buku karangan terbaru yang belum bisa didapatkan di perpustakaan kampus ataupun perpustakaan nasional. Sedang buku-buku terbitan luar dan akses jurnal internasional harganya bisa setara satu bulan biaya kos.

Bias kelas dan simplifikasi masalah tersebut membuat polemik akses literasi universal untuk masyarakat menjadi sebatas asli vs palsu dan good vs evil. Dilema besar ini sayangnya dibiarkan menggantung dengan konflik cerita yang bercabang dan “sibuk sendiri-sendiri.” Kesan ini nampak dari bagaimana tokoh Sintong harus fokus pada figur Sutan Pane dan skripsinya, pada kegiatan sampingannya sebagai seorang kolumnis, pada cinta lamanya, dan pada dilemanya tentang keterlibatannya di industri gelap ini tanpa benar-benar membawa keseluruhan konflik bermuara pada satu ending yang saling menguatkan.

Padahal, tokoh Sintong yang punya pemikiran tajam dan kemampuan menulis yang cemerlang memiliki potensi besar untuk menggiring kegelisahan batinnya menjadi sebuah tulisan brilian. Tulisan ini dapat menyoroti permasalahan dari sisi kebijakan pemerintah, sikap masyarakat, maupun penertiban. Sayangnya, Tere Liye terlihat lebih suka membuat mahasiswa itu berkutat pada pengulangan kenangan masa lalu dan meletakkan masalah sistemis tersebut hanya sebagai konflik batin protagonis yang dianggap selesai lewat kebohongan “half truth”. Walhasil, pembaca hanya dibuat merenung habis-habisan tanpa harapan, solusi alternatif, ataupun kapasitas untuk melihat masalah ini sebagai persoalan sistemis sebuah negara.

Secara pribadi, menurut saya masalah pelanggaran hak cipta memang menjadi hal yang meresahkan di Indonesia. Selain karena berdampak langsung pada kesejahteraan pegiat-pegiat kreatif yang pada dasarnya hanya menerima sebagian kecil dari karya yang mereka buat, kegiatan ini menyisakan rasa berdosa dan berhutang pada diri saya sendiri setiap kali melakukannya. Meskipun sudah sedikit demi sedikit “berhijrah” untuk mengakses produk-produk legal, khususnya buku elektronik dan audio, film, dan musik, tidak dapat dipungkiri bahwa pada situasi-situasi tertentu, mengakses karya bajakan tetap menjadi satu-satunya solusi yang paling masuk akal untuk menyelesaikan sebuah masalah.

Situasi-situasi seperti ini umumnya saya temui dalam keperluan akademik. Selengkap apapun perpustakaan kampus maupun perpustakaan milik negara, sebagian besar judul dan bahan yang saya perlukan untuk referensi artikel ilmiah tetap tidak memadai. Terutama buku-buku berbahasa asing dengan topik-topik lintas disiplin paling mutakhir. Andaikan pun ada, kendala saya sebagai seorang tunanetra low vision berkebutuhan khusus adalah kesulitan dalam mengakses buku berbentuk cetak. Di saat yang bersamaan, koleksi buku-buku perpustakaan tersebut secara umum belum terdigitalisasi. Sehingga solusi yang saya ambil adalah mengunduh file buku digital dari situs-situs ilegal untuk kemudian dibacakan oleh aplikasi pembaca buku.

Mungkin sebetulnya saya, kamu, dan kita semua, perlu sedikit bersabar untuk menunggu perkembangan teknologi yang dapat menengahi masalah kebutuhan, kemampuan finansial, dan akses yang legal. Sebuah teknologi yang melahirkan  platform-platform serupa rental. Memang saat ini sudah tersedia berbagai platform berlangganan musik dan film dengan koleksi yang terbilang sangat lengkap. Hanya saja, rasanya platform semacam itu belum ada untuk memfasilitasi akses literatur. Situs non-profit yang belum lama ini muncul ke permukaan dunia maya seperti Internet Archive adalah salah satu contoh media yang sangat potensial dalam hal ini. Tetapi jelas situs tersebut masih membutuhkan waktu untuk penyempurnaan sistem dan akses yang ramah difabel.

Sebagai penutup, dapat dikatakan bahwa novel Selamat Tinggal ini merupakan novel dengan tajuk perpisahan yang positif. Berbeda dengan perpisahan yang kerap dinarasikan sebagai ekspresi kehilangan, kesedihan, kehampaan, dan hal-hal negatif lainnya, Selamat Tinggal karya Tere Liye ini justru dihadirkan sebagai sebuah pintu untuk membuka lembaran baru yang lebih baik dan bermoral sebagai seorang manusia.

 

Deanita Adharani

Juara II Lomba Resensi Buku dalam Rangka Mitra Netra Year End Festival 2021

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top