Jumlah anak berkebutuhan khusus yang belum mendapatkan layanan pendidikan di Indonesia masih sangat tinggi. Berdasarkan data Direktorat Pembinaan PK-LK Dikdas tahun 2010 angka partisipasi murni ABK untuk jenjang pendidikan dasar baru mencapai 30% (106.000 anak).

Artinya, masih ada 70% ABK yang belum merasakan jaminan hak pendidikannya dikarenakan berbagai alasan, antara lain: mereka disembunyikan oleh para orang tuanya, lokasi tempat tinggalnya sulit dijangkau, ketidakmampuan sekolah terdekat memberikan layanan pendidikan, ketidaktahuan orang tua dan masyarakat bahwa ABK juga harus disekolahkan dalam rangka wajib belajar.

“Sejalan dengan semangat UUD dan UU Sisdiknas dengan falsafah bangsa Bhinneka Tunggal Ika (the unity in diversity), dan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas yang sudah diratifikasi melalui sidang paripurna DPR RI pada tanggal 18 Oktober 2011, program pendidikan inklusif diperkenalkan sebagai program alternatif nasional dalam rangka pemenuhan hak pendidikan yang dijiwai oleh semangat non diskriminatif,” tegas Dirjen Pendidikan Dasar, Prof. Suyanto, Ph.D.

Dalam sejarah perkembangannya, pendidikan inklusif mulai diperkenalkan dalam sistem pendidikan nasional diawali dengan pelaksanaan pendidikan terpadu pada tahun 1984 yang kemudian pada tahun 2003 berubah menjadi program pendidikan inklusif.

Hingga pada tahun 2008, jumlah sekolah inklusif secara nasional dari SD hingga SMA hanya 254 sekolah. Meskipun kegiatan sosialisasi, pemberian bantuan operasional, dan pelatihan telah banyak dilakukan, tingkat penerimaan sekolah reguler untuk menerima ABK masih sangat rendah.

“Untuk itulah, pada tanggal 5 Oktober 2009 dikeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 70 tahun 2009 tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan yang memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Sekarang ini, jumlah sekolah inklusif telah mencapai 2.000 sekolah lebih dan tersebar di seluruh provinsi di Indonesia,” Dr. Mudjito AK., M.Si. Direktur Pembinaan PKLK Dikdas menjelaskan.

Program pendidikan inklusif bukan berarti tanpa ada masalah. Sejumlah isu yang masih menjadi kendala antara lain: kelangsungan pendidikan bagi ABK yang mengalami gangguan akademik untuk ke jenjang perguruan tinggi karena tidak memiliki ijazah, minimnya sarana dan prasarana yang aksesibel bagi ABK, keterbatasan jumlah dan kompetensi guru reguler, belum adanya aturan kebijakan yang kongkrit bagi karir guru pembimbing khusus (GPK).

Menghadapi tantangan dan hambatan yang menghadang implementasi pendidikan inklusif dimaksud, Prof. Dr. Musliar Kasim selaku Wakil Mendikbud Bidang Pendidikan mengharapkan keterlibatan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota sebagai pemegang mandat otonomi daerah untuk senantiasa ditingkatkan.

Di samping itu, peran para gubernur dan rektor perguruan tinggi untuk bahu membahu memberikan layanan pendidikan kepada ABK dalam lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran juga harus terbangun, Wakil Mendikbud menambahkan.

“Sebagai bentuk apresiasi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terhadap lembaga dan perorangan yang telah menunjukkan komitmen tinggi dan kerja kerasdalam pembudayaan pendidikan inklusif adalah diberikannya penghargaan kepada gubernur, bupati/walikota, rektor, guru, kepala sekolah, dan tokoh masyarakat. Mereka yang terpilih adalah hasil seleksi ketat yang dilakukan oleh tim juri yang independen dan profesional,” Dr. Mudjito menegaskan.

Penghargaan ini digagas atas kerjasama antara Direktorat Pembinaan PKLK Dikdas dengan Helen Keller International perwakilan Indonesia. Pada tahun ini, penghargaan diberikan kepada gubernur DKI Jakarta Dr. Ing. Fauzi Bowo atau lebih dikenal dengan sebutan Foke dan Gubernur Sumatera Selatan Alex Nurdin.

Sedangkan dari kategori bupati/walikota adalah Kab. Aceh Besar, Kota Payakumbuh, Kab. Sukabumi, Kota Yogyakarta, Kab. Sidoarjo, Kab. Lembata, dan Kab. Enrekang. Tahun lalu, penghargaan diberikan kepada gubernur Jawa Barat dan Jawa Timur.

“Atas nama warga Sumatera Selatan, saya berterima kasih atas kepercayaan dan apresiasi dari Kemdikbud, meskipun tanpa penghargaan seperti ini, Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan tetap akan terus mendukung program pendidikan inklusif, baik dari aspek kebijakan maupun pendanaan,” Alex Nurdin menegaskan.

Penguatan satuan pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif memerlukan komitmen dari pemerintah (pusat dan provinsi serta kabupaten/kota) serta pelaksana pada satuan pendidikan/sekolah (kepala sekolah dan guru, GPK/GBK maupun non-GPK/GBK). Alokasi dana untuk peserta didik berkebutuhan khusus memang lebih besar dibandingkan dengan pelayanan pendidikan bagi anak lainnya. Namun hal ini tidak berarti bahwa alokasi dana tersebut tidak efisien.

“Dalam konteks penyelenggaraan pendidikan inklusif, Kemdikbud mentargetkan minimal ada 15 kabupaten/kota pada tahun ini mendeklarasikan diri sebagai kabupaten/kota inklusif dan 5 Kabupaten sebagai kota PLK dengan Direktorat PPKLK Dikdas akan menyediakan dukungan pendanaan dan advokasi,” Dr. Mudjito menegaskan.

Penghargaan kepada 20 orang yang peduli terhadap anak-anak berkebutuhan khusus melalui pendidikan inklusif tersebut diberikan secara langsung oleh Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Wamendikbud) Prof Musliar Kasim Ph.D di Hotel Sanur Paradise, Bali, Minggu 2 September 2012.

Penerima anugerah pendidikan inklusif dan akan hadir di acara pembukaan untuk menerima sertifikat penghargaan sebanyak 20 orang, yaitu:

1. Dr. Ing H. Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta.
2. Ir. H. Alex Nurdin, SH, Gubernur Sumatera Selatan.
3. Drs. Haryadi Suyuti, Walikota Yogyakarta.
4. Sukma Wijaya, Bupati Sukabumi Jawa Barat.
5. Capt. H. Josrizal Zain, MM, Walikota Payakumbuh.
6. Drs. Viktor Mado Tupen, Bupati Lembata NTT.
7. Muklis Basyah, Bupati Aceh Besar, Aceh.
8. H. La Tinro La Tunrung, Bupati Enrekang, Sulawesi Selatan.
9. Syaiful Illah, SH, HUM, Bupati Sidoarjo Jawa Timur.
10. Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, M.Pd., Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung.
11. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.Sc., Rektor Universitas Negeri Surakarta (UNS).
12. Prof. Dr. Muchlas Samani, Rektor Universitas Negeri Surabaya (UNESA).
13. Drs. Bambang Basuki, Yayasan Mitra Netra, Jakarta.
14. Hj. Eny Rahma Zaenah, SE, MM., Yayasan Al Firdaus Solo, Jawa Tengah.
15. Hj. Fitriani F. Syahrul, M.Si., Yayasan Lentera Insani Depok, Jawa Barat.
16. Dr. Srihadi W. Zarkasi., Dosen Akuntansi Universitas Padjadjaran (UNPAD), Bandung, Jawa Barat.
17. F. Atik Purwatmini, S.Pd, Guru SMPN 226 Jakarta.
18. Budi Cahyono, S.Pd., Guru SDN 4 Ds. Mangunharjo Ngawi Jawa Timur.
19. Dewi Marza, S.Pd., Kepala Pusat Sumber SLB Negeri Center Payakumbuh.
20. Lilis Lismaya (Kepala SLB N Palangkaraya).

http://www.pk-plk.com/2012/09/siaran-pers-9-kepala-daerah-terima.html

Leave Comment