Ariyani Sri Ramadani

Menyeimbangkan peran menjadi seorang istri, ibu sekaligus wanita bekerja, tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi setiap perempuan. Apalagi jika sosok perempuan tersebut adalah seorang penyandang tunanetra. hal itulah yang dialami Aryani Sri Ramadhani. Cerita Yani dimulai pada akhrir tahun 2008 di mana dia mengalami penurunan yang progresif  pada penglihatannya. Yani yang awalnya adalah seorang low vision akibat sakit glaukoma, kemudian kehilangan seluruh kemampuan penglihatannya dan menjadi tunanetra total. “pas jadi tunanetra total dari kondisiku yang tadinya low vision itu, rasanya udah kayak jadi tunanetra dua kali”, ungkap Yani saat dihubungi lewat pesan suara Whats App.

Kehilangan sisa pengelihatan tak lantas membuat Yani patah arang. Yani berusaha untuk menerima kondisinya tersebut dan bertekad untuk menjadi seseorang yang lebih mandiri. Di tahun yang sama, Yani memutuskan untuk datang ke Yayasan Mitra Netra. Menurut perempuan berhijab ini, Mitra Netra merupakan tempat pertamanya belajar banyak hal sekaligus yang mendatangkan penerimaan kondisi ketunanetraannya. Di sana dia mempelajari berbagai keterampilan, seperti komputer bicara, bahasa inggris hingga pelatihan pre-employment training yang akhirnya membawa Yani mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan bir terkemuka di kawasan Sudirman.

Meski sempat diragukan karena berhijab, Yani akhirnya dapat mewujudkan impiannya untuk mendapatkan pekerjaan dan membuat orang tuanya bangga. “ya saat itu hanya kepikiran buat dapat kerja. Karena aku anak sulung, ya biar bisa mandiri, bantu adik-adik dan bikin bangga orang tua. Nggak kepikiran aku berhijab tapi kerjanya di perusahaan bir waktu itu”

Baca juga: Pertama Kali Kunjungi Mitra Netra, Ini Bentuk Dukungan Yang Akan Diperoleh Sahabat Tunanetra

Seiring berjalannya waktu, perempuan kelahiran Jakarta 32 tahun lalu ini merasa bosan dengan rutinitas yang dijalaninya. Selain karena tidak banyak pekerjaan yang dapat dikerjakan olehnya di perusahaan tersebut, jam kerja dan perjalanan ke tempat kerja dari pagi hingga larut malam, membuat Yani tidak dapat melakukan kegiatan lainnya selepas bekerja. “kerjaannya buat laporan itu paling Cuma 30 menit sampai 1 jam, selebihnya bengong aja di kantor. Terus pergi pagi pulang malam, sampai rumah langsung tidur. Nggak pernah sempat masakin suami waktu itu”, cerita Yani.

Suatu ketika, perusahaan tidak memperpanjang kontrak kerjanya, Yani merasa cukup bersyukur karenanya. Pada tahap inilah, sulung dari empat bersaudara ini mulai menggeluti dunia bisnis online. Bisnis pertama yang digeluti Yani pertama kali adalah penjualan behel atau kawat gigi. Usaha ini diperkenalkan oleh kenalannya semasa SMA. Sempat menghasilkan keuntungan hingga 12 juta per bulan, membuat Yani merasa bisnis online adalah pilihan pekerjaan yang disukainya. Meskipun pada beberapa waktu kemudian bisnis online tersebut mengalami penurunan dan berganti –ganti produk usaha, Yani meyakini bahwa pekerjaan bisnis online atau membuka usahanya sendiri adalah pekerjaan impiannya. Hati Yani semakin mantap dengan pilihan barunya itu lantaran pekerjaan tersebut memungkinkan dia dapat mengurus keluarga kecilnya sambil tetap bekerja dari rumah.

Pasang surut kehidupan Yani pun tidak hanya dari sisi pekerjaan saja. Dalam kehidupan berumah tangga, Yani juga mengalami berbagai tantangan, terutama di awal kehidupan pernikahannya. Menikah di usia yang cukup muda, yakni 22 tahun dan memiliki selisih usia 10 tahun dengan sang suami, membuat Yani harus melakukan berbagai penyesuaian di awwal pernikahannya. Berbagai perbedaan kecil yang harus dikompromikan perlahan-lahan mendewasakan Yani dan suami. Istri dari Budi Santoso ini mengatakan bahwa mengalahkan ego masing-masing dalam sebuah rumah tangga adalah salah satu kunci menghadapi tantangan dalam rumah tangganya.

“mungkin karena hidup aku terlalu banyak baca novel dan nonton yang princess-princess-an gitu ya, jadi membayangkan nikah itu Cuma senang-senangnya aja. Tapi setelah nikah, baru tau rasanya emang beda banget… hahah..”, ujar Yani sambil tertawa.  “kalau bicara soal pernikahan itu ya pasti ada perbedaan, tapi kan ya harus bertahan ya karena bukan main-main. Jadi aku dan suami ya saling adaptasi dan mengalahkan ego masing-masing”, tambahnya.

Tahap adaptasi dalam pernikahan Yani dan sang suami semakin diuji dengan kelahiran putri kecil mereka setahun kemudian. Mereka berdua harus menjadi orang tua yang saling bahu membahu dalam merawat Nabila. Saat kelahiran Nabila pada Maret 2011, Yani dengan sang suami yang juga seorang tunanetra benar-benar menjaga dan merawatnya berdua saja. belajar memandikan bayi, menjaga kebersihannya dan bergantian menjaga Nabila saat mereka harus bepergian adalah contoh kecil hal-hal yang menantang ketika Yani dan Budi merawat Nabila. “pas Nabila masih bayi sih gak terlalu susah karena gak banyak gerak. Jadi ya mandiin Nabila berdua, minum susu sampai jaga kebersihannya yang cukup menantang. Sama satu lagi itu pas Nabila sudah mulai bisa jalan, kita pakai gelang kaki atau sepatu yang bisa bunyi biar bisa tau Nabila geraknya ke mana”

Baca juga: 5 Tips Mengajarkan Kemandirian Pada Anak Tunanetra

Orang tua Yani, khususnya sang ibunda, dari awal pernikahannya selalu menegaskan bahwa merawat anak merupakan tanggung jawab seorang ibu. Oleh karenanya, Yani selalu berusaha sebaik-baiknya menjalankan tugas merawat Nabila bersama suami, tanpa harus sering-sering meminta bantuan ibunya jika tidak dalam keadaan terpaksa. Yani juga menuturkan bahwa pernyataan ibunya untuk merawat sendiri Nabila membawa proses pendewasaan pada dirinya. “Awalnya -pas mama bilang aku harus belajar ngurusin anak sendiri itu aku mikirnya tega banget, masa nggak mau bantuin ngurusin cucunya. Tapi semakin ke sini, aku semakin tau dan bersyukur, kalau kata mama itu benar. Sekarang Nabila jadi merasa lebih dekat dan bangga meskipun orang tuanya tunanetra”, tutur Yani terharu.

Kini, usia Nabila telah menginjak 9 tahun. Yani selalu memberikan cara-cara yang kreatif untuk mendampingi masa tumbuh kembang putri semata wayangnya. Dengan kondisi penglihatan Nabila yang low vision sejak lahir, Yani  selalu berusaha memberikan pemahaman tentang kondisi penglihatannya tersebut pada putrinya. Di samping itu, Yani tidak pernah memaksakan Nabila mencapai target-target tertentu, melainkan selalu mendorong Nabila untuk melakukan kegiatan yang disukainya dan tak lupa memberikan positive reinforcement  saat Nabila berhasil menghasilkan sesuatu , seperti berhasil membuat kue atau puding favoritnya, melakukan kegiatan menggambar yang menjadi hobinya atau membaca buku cerita dengan huruf-huruf yang berukuran besar.

Baca juga: Ini Dia! 4 Alat Bantu Untuk Keseharian Penyandang Low Vision

Menurut Yani,mendampingi kegiatan belajar Nabila adalah salah satu tantangan yang harus dihadapinya dengan menciptakan metode-metode yang kreatif. Bahkan di masa-masa sulit dengan merebaknya wwwabah covid-19 yang mengharuskan siswwa untuk belajar di rumah seperti saat ini. Berbagai tugas serta materi sekolah Nabila yang saat ini menginjak tahun keduanya di sekolah dasar, sempat membuat Yani cukup frustasi. Beruntungnya saat ini, Yani dan keluarga kecilnya pindah dan tinggal bersama keluarga ibunda tercinta. Kegiatan belajar Nabila yang bersifat visual kini bisa dibantu oleh ibunda atau adik-adik Yani.

Ariyani bersama suami dan anaknya.

“ya kebanyakan tugasnya Nabila itu kan harus didokumentasikan dengan foto atau vidio, trus kadang materinya juga berupa image yang nggak bisa dibaca dengan pembaca layar. Belum lagi kalau udah tugasnya bikin kerajinan tangan, aku nyerah deh kalau soal bikin-bikin kayak begitu… hahaha…”, kata Yani mengakui kekurangannya.

Bagi yani, meskipun keadaan saat ini sungguh tidak nyaman bagi semua orang, ibunda dari Byan Sarah Nabila ini tetap mengambil hikmah dan berpikir positif. Seperti halnya para ibu-ibu yang menghadapi tantangan stay at home saat ini, Yani juga merasakan pengalaman bagaimana harus pandai-pandai mengelola keuangan untuk tetap bertahan saat work from home. Dia juga harus mengatur kesibukan yang mendadak muncul, seperti harus terus menerus masak, menciptakan kegiatan yang seru bagi Nabila agar tidak bosan di rumah atau mencoba hal-hal kreatif dalam mencoba resep baru. Namun, Yani juga mengungkapkan bahwa banyak hal positif yang juga dirasakannya saat melakukan stay at home. Misalnya frekuensi quality time bersama keluarga menjadi lebih banyak. Saat mendampingi Nabila belajar pun, perempuan kelahiran Mei 1988 ini merasa bisa lebih memahami materi pembelajaran serta berbagai kendala yang dialami putrinya.

“aku ambil hikmahnya aja. Lebih menyesuaikan diri aja dengan kondisi stay at home sekarang. Kan segala sesuatu harus bisa dilihat dari berbagai sisi. Kalau kita bisa melihat dari sisi yang baik, Insya Allah kita juga bisa menjalaninya dengan baik”, ucap Yani santai.

Di balik kesibukannya menjadi seorang istri, ibu dan mengelola usahanya, yani masih menyempatkan diri untuk menggali ilmu dan potensinya. Sejak tahun 2017, Yani tercatat sebagai mahasiswa jurusan manajemen di Universitas Pamulang dan aktif sebagai pengurus organisasi Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) DKI Jakarta pada biro pemberdayaan perempuan. Sifatnya yang pekerja keras dan ingin tahu tentang banyak hal juga mengantarkan Yani memiliki usaha keluarga, yakni dua cabang warung ayam geprek petukangan serta mengelola komunitas dan kedai Blind Cofee Specialty. 

Meski pun banyak hal tela dicapai oleh Yani, perempuan yang gemar melahap ayam goreng tepung ini tidak pernah melupakan bahwwa ada jasa orang lain di balik pencapaiannya tersebut. Oleh karena itu, Yani merasa harus menjadi sosok yang bermanfaat bagi lingkungannya. Menjadi pengajar komputer bicara untuk tunanetra di Yayasan PTKN sejak 2012, merupakan caranya untuk berbagi dan bermanfaat.

Tak selesai sampai di situ, Yani secara pribadi atau kelompok juga sering menunjukkan kepeduliannya untuk membantu orang-orang di sekitarnya. Seperti di masa pandemi covid-19, Yani mengajak banyak orang untuk memberikan makan siang gratis bagi abang ojek online dan membantu sahabat tunanetra dari keuntungan penjualan masker kain. “motivasinya ya ingin bermanfaat aja, tapi kalau sendirian itu aku nggak bisa kasih apa-apa. Uang juga nggak punya banyak kan! Hehehe… jadi kalau kita bisa mengajak semakin banyak orang kan bantuan yang diberikan juga bisa lebih besar. Bersama-sama itu bisa membantu lebih banyak orang”, kata Yani dengan rendah hati.

Bagi Yani, kehidupannya sebagai perempuan tunanetra, seorang istri, menjadi ibu bagi putrinya atau bekerja di mana pun, pastilah memiliki berbagai tantangan yang harus dihadapi. Banyak belajar, selalu melihat hikmah di balik setiap kesulitan dan terus berusaha menyesuaikan diri dengan cara yang baik adalah sikap yang selalu diterapkan Yani untuk melewati segala tantangan di setiap tahap kehidupannya. Di samping itu, Yani selalu percaya bahwa dukungan keluarga dan menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sekitarnya menjadi sebuah keberkahan dan mencapai kebahagiaan yang nyata sebagai manusia ciptaan sang Khalik.

Bukan hanya Yani, tentunya masih ada banyak Kartini-Kartini tunanetra di luar sana yang berjuang dengan caranya masing-masing untuk menjadi manfaat bagi keluarga dan lingkungannya. Selamat merayakan Hari Kartini bagi seluruh perempuan tunanetra Indonesia! Karena kita semua adalah perempuan-perempuan yang kuat dan hebat.

*Juwita Maulida

Leave Comment