Ibu menggandeng anak perempuan di pinggir pantai dengan background matahari terbenam

Momen kelulusan SMA ini, aku bingung mau bersukacita atau berdukacita. Sebab, kalau lulus sekolah, artinya aku menjadi penganggur. Kalau jadi penganggur, aku tidak tahu cara mengatasinya. Aku sama sekali tidak tahu tujuan hidupku setelah ini.

Aku adalah penyandang tunanetra sejak lahir. Ketika usia enam bulan, kedua bola mataku tampak lebih besar. Ternyata kata dokter, aku terserang penyakit glaukoma. Kondisi ini membuat tekanan bola mataku di atas normal.

Awalnya kukira aku terlahir seperti anak pada umumnya. Ketika usia tiga tahun, aku tetap bisa bermain sepeda, bola bekel, dan petak umpet. Aku melihat cukup jelas bentuk orang-orang di sekitarku. Aku juga sudah mulai belajar membaca, menulis, dan berhitung.

Namun, saat kelas I, entah mengapa bola mataku jadi sering sakit. Bahkan, untuk membuka mata saja sangat sulit. Aku sering menabrak dinding setiap berjalan di dalam rumah. Setiap ada benda mati ataupun hidup, aku seakan melihat bayangan hitam. Aku tidak bisa melihat dengan jelas wujud asli mahluk-mahluk itu lagi.

Suatu hari, aku terbangun dari tidur siang. Ketika membuka mata, aku melihat bayangan hitam panjang sedang berdiri di sudut dinding kamarku. Spontan aku menjerit, “Mamaaa, ada pocooong!”

Aku langsung lari terpontang-panting sampai menendang meja di ruang tengah. Tendangan itu cukup sukses membuat tulang keringku benjol. Seketika aku jatuh terduduk dan meringis kesakitan. Tidak lama kemudian, Mama menghampiriku.

“Kamu tuh ngapain, sih? Kalau jalan hati-hati, dong!” Bukannya disayang-sayang, Mama malah mengomel.

Sambil memegang tulang kering yang benjol, aku berkata, “Tadi di kamar aku lihat pocong, Ma.”

“Pocong apa, sih? Kamu ini ngarang aja, deh,” omel Mama lagi.

Aku lantas menceritakan posisi bayangan panjang berwarna hitam itu. Mungkin Mama sambil menengok ke arah kamarku. Mama pun berkata, “Itu tuh karpet. Tadi Mama lagi bersih-bersih ruang tengah. Terus sementara Mama taruh dulu karpetnya di kamarmu. Jadi, itu bukan pocong.”

Astaga, ternyata dulu aku sudah di-prank oleh mataku sendiri. Sejak saat itu, aku jadi sering merasa sendirian di dalam kegelapan. Aku juga menjadi anak yang pemurung, alergi berinteraksi dengan nondifabel, dan lebih banyak diam. Sebetulnya teman-teman mainku pernah berkali-kali ke rumah. Namun, aku selalu menghindar.

Setiap Mama bilang bahwa ada teman-teman yang ingin bertemu, aku selalu menolak. Alasannya adalah aku sedang tidur. Bertahun-tahun menggunakan alasan yang sama untuk menolak pertemuan itu, mereka pun perlahan-lahan menghilang. Biar sajalah mereka pergi. Toh aku tidak bisa bermain seperti sedia kala lagi. Bahkan, bisa jadi mereka hanya basa-basi supaya tampak peduli.

Semester dua kelas I, aku langsung pindah sekolah ke SLB. Pertama kali yang kupelajari saat itu adalah menulis dan membaca huruf braille. Aku juga diajari menyapu, mengepel, mencuci peralatan makan, dan memasak. Kata guru-guru, sih, perempuan wajib bisa melakukan pekerjaan rumah.

Karena di sekolah sudah diajari hal-hal itu, aku pun perlahan-lahan bisa membantu Mama membersihkan rumah. Tidak lama berselang, Mama memberi tahuku bahwa sebentar lagi aku akan menjadi kakak. Tentunya aku gembira sekali karena nanti tidak akan kesepian di rumah.

Sembilan bulan kemudian, kami kedatangan anggota keluarga baru. Hal yang membuatku makin bahagia adalah jenis kelaminnya laki-laki. Aku sudah punya angan-angan, kelak dia akan menjadi pelindungku di masa depan. Mama pun langsung menyerahkan tanggung jawab kepadaku untuk merawat adik sejak dini.

“Pokoknya, kamu nggak boleh kuliah. Papa khawatir kamu nanti diapa-apain sama orang. Di kampus, kan, nggak ada yang jagain kamu.” Lagi-lagi permintaanku ditolak mentah-mentah oleh Papa.

“Sudahlah, Ta. Kamu di rumah saja sambil menjaga Danar.” Bukannya membelaku, Mama malah setia mendukung penolakan Papa.

“Aku, kan, sudah mengurus dia sejak bayi. Masa masih kurang, sih, Pa, Ma? Aku tuh Cuma mau mengembangkan potensiku.” Aku masih tetap membantah.

“Belajar nulis, kan, bisa di rumah. Nggak mesti kuliah segala. Lagian kampus tujuanmu itu jaraknya sangat jauh. Papa nggak bisa antar dan jemput kamu lagi seperti di sekolah. Nanti kamu sama siapa di sana?”

“Kan, ada tongkat, Pa. Aku bisa belajar mandiri, kok.”

“Intinya Papa nggak mengizinkan kamu.”

Aku lantas meninggalkan mereka di ruang tengah. Aku pun berjalan cepat menuju kamar dan membanting pintu. Aku tidak habis pikir dengan sikap mereka. Ingin kuliah saja, kok, dipersulit sekali. Masa aku terus-terusan jadi budak mereka di rumah?

Jelas aku merasa jadi budak. Sebab, Papa dan Mama selalu sibuk dengan toko grosirannya. Sementara itu, aku diberi amanat untuk mengurus Danar dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi. Pantas saja mereka tidak mau membayar pengasuh. Sebab, aku tidak perlu dibayar mahal oleh mereka. Omong kosong soal khawatir diapa-apakan orang. Bilang saja ingin bebas tanggung jawab merawat anak. Lantas aku dipaksa untuk berkorban demi keluarga.

***

“Iya, silakan masuk,” ujarku merespons ketukan di pintu ruang kerjaku.

Ternyata Kak Ratu yang masuk. Aku sebetulnya baru kenal Kak Ratu enam bulan lalu, setelah beberapa hari lulus sekolah. Berawal dari sebuah pengumuman tentang kelas menulis yang diselenggarakan oleh komunitas Lintas Bahtra (Bahasa dan Sastra). Informasi itu kudapatkan dari grup sekolahku. Kegiatan itu dilaksanakan di sekretariat Lintas Bahtra. Lokasinya pun masih di sekitar kota tempat tinggalku.

Selain tempatnya masih bisa dijangkau, kelas itu pun bebas biaya. Siapa yang tak akan tertarik? Ditambah lagi, para peserta juga punya kesempatan untuk bergabung di komunitas itu. Mereka juga sudah punya situs web yang berisi naskah-naskah semua anggota komunitas. Setiap anggota yang mempublikasikan karyanya nanti pun akan diberi honor.

Di pengumuman itu, nomor narahubung yang tercantum adalah atas nama Kak Ratu. Setelah mengutarakan dua keinginan itu, aku memberi tahu kepadanya tentang kondisi mataku. Aku juga berkata bahwa ingin pergi diam-diam. Sebab, orang tuaku pasti tidak akan merestui langkahku. Untungnya Kak Ratu mau mengerti.

Aku lantas menelepon Bu Yuli, guruku yang waktu itu menngirim pengumuman. Beliau setuju menjemputku ke rumah. Kepada orang tuaku Bu Yuli mengatakan bahwa aku akan mengikuti pelatihan menulis di luar kota selama lima hari. Tentu saja di situ beliau berperan sebagai pendampingku.

Padahal, aslinya beliau mengantarku ke sekretariat Lintas Bahtra. Ternyata persengkongkolan itu berjalan dengan mulus. Bahkan, sempat-sempatnya Papa memberiku uang jajan. Lumayanlah bisa untuk menyambung hidup di alam bebas selama beberapa hari.

***

Sesampainya di sekretariat, aku disambut hangat Kak Ratu. Entah mengapa aku langsung percaya begitu saja dengan pendiri Lintas Bahtra itu. Padahal, bisa saja, kan, pengumuman kelas menulis itu salah satu strategi pembunuhan. Nanti jika sudah berada di tempat, para peserta akan dicongkel satu per satu ginjalnya untuk dijual. Namun, aku sudah terlanjur gelap mata. Apa pun yang terjadi nanti, setidaknya aku sudah berjuang melarikan diri dari penjara bernama rumah.

Kak Ratu pun mencari indekos untukku. Untungnya indekos yang ditemukan itu jaraknya hanya 50 meter dari sekretariat. Supaya bisa bayar indekos setiap bulan, aku harus rajin menulis di situs web Lintas Bahtra. Biasanya aku menulis artikel tentang hal-hal yang sedang viral.

Ketika sebulan belum pulang, Mama sempat meneleponku. Beliau mempertanyakanku yang tidak pulang-pulang. Aku bilang saja bahwa pelatihannya diperpanjang sampai enam bulan. Tentu saja Mama sangat terkejut. Namun, lagi-lagi aku bisa memberi seribu alasan sampai beliau percaya.

Sudah berbulan-bulan lamanya aku makin bahagia jauh dari orang tua. Aku juga mulai sering mengabaikan pesan WhatsApp ataupun telepon dari mereka. Hari ini tepat enam bulan aku tidak kembali ke rumah.

“Ta, kamu yakin nggak mau pulang? Kasihan, loh, mereka. Seharusnya kamu bersyukur punya orang tua seperhatian mereka. Saya sebetulnya sedih kalau ada anak yang membenci orang tuanya. Coba bayangkan kalau mereka nggak ada, Ta. Penyesalan kamu nanti nggak ada ….” Kalimat Kak Ratu terhenti.

“Udah, ya, Kak,” potongku. “Aku seperti ini, kan, karena mereka juga.”

“Tapi, kan, Ta, mereka pasti punya alasan yang kuat kenapa protektif begitu.”

Tiba-tiba pintu ruang kerjaku terbuka. Bu Yuli tanpa basa-basi mengajakku untuk segera ke rumah sakit. Sebab, Mama sedang kesulitan dalam proses melahirkan. Katanya, Mama menyebut-nyebut namaku. Seketika aku mengabaikan artikel yang sedang kuketik di laptop. Aku juga sudah tidak peduli lagi keberadaan tongkatku. Aku langsung saja berjalan cepat ke arah Bu Yuli.

***

“Maafkan … Mama, ya, Ta.” Mama menggenggam erat tanganku sambil terus berusaha mengeluarkan calon adikku.

Aku tak mampu menanggapi ucapan lirih Mama. Sebab, hatiku sakit sekali menyaksikan penderitaan Mama. Seharusnya aku tidak bersikap egois kemarin. Aku benar-benar takut kehilangan kesempatan untuk berbakti kepada Mama.

Setelah susah payah berjuang, suara tangisan adik keduaku pun datang ke dunia. Seketika genggaman Mama mengendur. Lalu Mama berbisik, “Jaga … adik-adik … kamu, ya. Maafkan … mama … yang … sudah membuatmu … merasa … diperbudak.”

Aku menggenggam erat tangan Mama. “Aku yang harusnya minta maaf, Ma. Maafin Ita, Ma.”

Ucapanku ternyata tidak ada gunanya kini. Aku tidak tahu Mama sempat mendengar permintaan maafku atau tidak. Semua ini lantaran keegoisanku. Seandainya aku menuruti larangan Mama dan Papa, pasti Mama sekarang masih bisa mengomeliku di rumah.

Maafkan aku, Ma. Maafkan atas permintaan maafku yang sudah tidak berguna lagi ini.

 

Penulis: Vivi Intan Pangestuti

Juara II Lomba Menulis Cerpen Mitra Netra Independence Day Festival 2022

Leave Comment