Balqiz Balika Utami, gadis cilik tunanetra, siswa taman kanak-kanak sekolah luar biasa Rawinala Jakarta, secara rutin berkunjung ke Mitra Netra bersama ibundanya, untuk mengambil buku-buku cerita yang dipesannya. Balqiz memang beruntung. Ia tinggal di Jakarta, berdekatan dengan Mitra Netra. Jika sang bunda menemukan buku yang menurutnya baik untuk dibaca anak seusia Balqiz, ia tinggal pergi ke Mitra Netra, dan memesannya untuk dibuat versi Braille, agar Balqiz bisa menggunakannya untuk belajar membaca. Lalu bagaimana dengan anak-anak tunanetra lain? Apakah mereka juga memiliki kesempatan sama untuk belajar membaca atau membaca buku seperti Balqiz?

Ketersediaan buku bagi tunanetra di Indonesia memang masih merupakan persoalan serius. Bahkan, ketersediaan buku pelajaran pun masih sangat memprihatinkan. Bagaimana tunanetra dapat belajar jika tak ada buku?Namun, persoalan ini belum pernah dibahas secara serius di ruang-ruang terbuka. Bahkan, kementerian pendidikan nasional serta dinas-dinas pendidikan di tingkat daerah yang seharusnya bertanggungjawab menyediakan buku pelajaran untuk tunanetra bersikap tenang-tenang saja, seolah tak ada masalah.

Fakta yang terjadi saat awal tahun ajaran baru atau awal semester baru di Mitra Netra adalah, siswa-siswa tunanetra membawa buku-buku pelajaran mereka ke Mitra Netra, dan meminta lembaga ini mengubah buku-buku pelajaran itu menjadi buku Braille, sehingga siswa-siswa tunanetra itu dapat belajar di sekolah secara lebih mandiri, sama seperti teman-teman mereka yang tidak tunanetra.

Selama 20 tahun Mitra Netra melayani tunanetra, termasuk menyediakan buku-buku untuk mereka secara Cuma-Cuma. Lalu, bagaimana itu bisa terjadi? Karena selama ini Yayasan ini didukung oleh para donatur, yang sebagian besar berasal dari luar negeri. Sebagai contoh, selama 12 tahun terakhir, untuk produksi dan distribusi buku baik dalam bentuk buku Braille maupun buku audio digital, Mitra Netra mendapatkan dukungan dana dari Foundation Dark & Light Blind Care (DLBC) dari Belanda. Dari donasi ini, distribusi buku audio digital Mitra Netra dapat menjangkau 39 kota di Indonesia.

Namun, mulai tahun 2012 mendatang, donasi itu akan dihentikan, akibat kebijakan politik Pemerintah Belanda yang memutuskan untuk menghentikan bantuan kepada Indonesia, karena negara ini dianggap telah cukup baik.

Jika demikian, bagaimana Mitra Netra dapat melanjutkan layanan pada tunanetra? Sementara Yayasan ini hingga kini belum mendapatkan subsidi dana dari Pemerintah Indonesia?

Memobilisasi sumber dana di dalam negeri secara lebih kreatif, adalah solusinya. Mobilisasi ini dapat berupa ajakan kerja sama melalui skema CSR ke perusahaan, maupun himbauan kepada donatur perorangan.

Koin Untuk Buku Tunanetra adalah salah satu langkah yang ditempuh. Melalui gerakan ini, Mitra Netra mengajak masyarakat luas untuk berpartisipasi, menyumbang, agar Mitra Netra dapat terus memproduksi dan mendistribusikan buku untuk tunanetra.

Ajakan menyumbang ini dilakukan dalam berbagai skema. Di tempat-tempat usaha retail, Mitra Netra menitipkan kotak amal, dan masyarakat bisa menyumbang dengan menempatkan uang sumbangan di kotak amal tersebut. Atau, Dapat langsung mentransfer donasi ke rekening Bank BCA nomor 6080279441.

Setiap tahun, rata-rata Mitra Netra mencetak 5000 volume buku Braille dan 15,000 CD buku audio digital. Biaya yang diperlukan untuk mencetak satu volume buku Braille adalah Rp 75,000, sedangkan biaya yang diperlukan untuk memproduksi satu CD buku audio digital adalah Rp 25,000.

Sekilas memang gerakan ini nampak meniru apa yang dilakukan pihak lain. Tapi, Mitra Netra sama sekali tak berkeberatan meniru keberhasilan yang dicapai pihak lain. Ini semua demi keberlanjutan layanan pada tunanetra. *Aria Indrawati

Leave Comment