laptop dan tumpukan kamus bahasa inggris

Setiap pekerjaan pasti memiliki tantangan yang berbeda-beda. Begitu pula dengan profesi penerjemah bahasa asing. Setelah beberapa waktu yang lalu kita telah mengetahui mengenai apa saja yang dibutuhkan tunanetra jika ingin menggeluti profesi penerjemah, maka pada artikel kali ini topik yang dibahas adalah tantangan yang dihadapi oleh penerjemah tunanetra. Tentu saja, tantangan profesi ini berbeda antara penerjemah tunanetra dan penerjemah awas. Nah, kira-kira seperti apa  tantangan tersebut dan bagaimana solusi untuk mengatasinya? Ikuti yuk, pengalaman dari Irma Hikmayanti dan Melissa Chandra selama menggeluti profesi penerjemah berikut ini!

Baca juga: Profesi Penerjemah Untuk Tunanetra Part 1: Ini Yang Diperlukan Tunanetra Untuk Jadi Penerjemah Bahasa Asing

Bahan Terjemahan yang Tidak Aksesibel

Bagi seorang penerjemah awas atau non-tunanetra, mengakses tulisan atau bahan yang harus diterjemahkan dalam bentuk dan format apapun tidak akan menjadi suatu persoalan. Namun, bagi seorang penerjemah tunanetra, hal tersebut tentunya menjadi tantangan tersendiri. Umumnya, bahan yang harus dieterjemahkan beragam jenisnya. Mulai dari dokumen perjanjian, artikel, jurnal dan karya ilmiah, hingga isi sebuah buku. Formatnya bisa berbentuk dokumen Microsoft Word, PDF, dan cetak tinta. Tentunya tidak semua bentuk dan format bahan terjemahan tersebut bisa diakses oleh penerjemah tunanetra.

“selama pengalaman menjadi penerjemah, format tulisan yang paling aksesibel untuk penerjemah tunanetra itu ya dalam bentuk word, karna itu yang paling bisa diakses screen reader”, ungkap Irma.

Seorang penerjemah tunanetra yang diharuskan bekerja dengan menggunakan perangkat komputer/laptop dengan aplikasi pembaca layar, memiliki keterbatasan untuk mengakses beberapa format dokumen. Dokumen dengan format docx merupakan salah satu file yang dapat diakses oleh pembaca layar. Sedangkan file berformat pdf atau jpeg yang berbentuk image/foto adalah contoh file yang tidak dapat dibaca oleh screen reader.  Irma juga bercerita bahwa pernah suatu kali dia mendapat pekerjaan menerjemahkan sebuah buku cetak tinta yang tentu saja tidak mungkin dibaca oleh tunanetra. lalu bagaimana Irma mengatasinya?

“sebagai seorang profesional, ya kita tidak mungkin mengeluh atau menolak yang sudah seharusnya kita kerjakan ya. jadi, kalau kita dapat tantangan menerjemahkan dalam bentuk buku atau materi cetak tinta, ya harus kreatif cari jalan keluarnya. Waktu itu aku minta tolong bacain orang awas sambil direkam”, ujar Irma menceritakan pengalamannya.

Irma juga menambahkan. Selain dibantu oleh pendamping untuk membacakan bahan atau materi yang kurang aksesibel, melakukan komunikasi kepada klien juga bisa menjadi alternatif solusi. Penerjemah tunanetra bisa meminta kepada klien untuk menyediakan bahan yang akan diterjemahkan dalam bentuk file berformat docx. Jika klien tidak dapat menyediakan bahan dalam format tersebut, maka bantuan pendamping bisa kita manfaatkan sebagai solusi berikutnya.

Bahan Acuan yang Tidak Lengkap atau Tidak Aksesibel

tantangan berikutnya yang dihadapi oleh penerjemah tunanetra adalah bahan acuan terjemahan yang tidak dapat diakses. bahan acuan terjemahan yang dimaksud di sini adalah kamus bahasa asing. Saat ini mungkin sudah banyak tersedia kamus elektronik atau aplikasi yang berfungsi sebagai acuan terjemahan bahasa asing. Bahkan tidak hanya terbatas pada satu bahasa saja, melainkan beragam bahasa asing. Namun, sama halnya dengan format file, terkadang aplikasi tersebut tidak dapat diakses oleh sccreen reader. Ada pula yang dapat diakses, namun tidak lengkap atau kurang sesuai dengan kebutuhan penerjemah tunanetra.

“soal tantangan bahan acuan yang tidak aksesibel, bisa diatasi dengan banyak membaca literatur, membuat catatan kata baru atau kata-kata sulit sebagai glosariun pribadi. Selain itu, memahami budaya dan konteks kalimat itu juga sangat membantu”, ucap Melissa.

Gadis kelahiran Oktober 1987 ini mengaku memiliki hobi membaca dan menulis. Dari hobinya itulah, Melissa memiliki kosa kata yang kaya. Selain itu, membaca beberapa literatur yang berhubungan dengan bahasa inggris juga membuat dirinya lebih memahami budaya dari bahasa terkait. Sedangkan kemampuan dalam memahami konteks sebuah kalimat menjadi salah satu trik Melissa dalam menerjemahkan bahasa. Menurut Melissa, memahami konteks kalimat, bahkan sebuah paragraf dalam bahasa asing, sangat bermanfaat untuk menghemat waktu.

“dengan memahami konteks suatu kalimat atau satu paragraf, kita bisa memahami maksud dari tulisan tersebut. Selain kita juga nggak perlu terlalu sering cek ke kamus, itu juga membuat terjemahan kita tidak kaku. Ini trik untuk terjemahan berbentuk cerita ya khususnya”, imbuhnya bersemangat.

Baca juga: Dari Matematika Hingga Bahasa Inggris: Layanan Pendampingan Belajar Tunanetra Di Mitra Netra

Time Consumming

“karena aku pernah awas (bisa melihat) dan sekarang jadi tunanetra, aku tau perbedaan waktu yang dibutuhkan untuk menerjemahkan. Menjadi penerjemah tunanetra itu membutuhkan jauh lebih banyak waktu untuk mengerjakan terjemahan”, kata Irma saat ditanya lebih lanjut tentang pengalamannya menjadi penerjemah.

Setelah berkutat dengan materi dan acuan terjemahan yang tidak aksesibel, manajeman waktu merupakan hal berikutnya yang menjadi tantangan seorang penerjemah tunanetra. Menurut Irma, saat menjadi tunanetra pekerjaan menerjemahkan memakan waktu lebih banyak dibandingkan dengan penerjemah awas. Nah, kira-kira kenapa bisa begitu ya?

Menurut perempuan berdarah sunda ini, seorang tunanetra umumnya mengerjakan terjemahan pada satu perangkat yang sama, yakni perangkat laptop atau komputer bicara. tunanetra akan bekerja dengan dua dokumen kerja yang terdiri dari bahan yang akan diterjemahkan dan  dokumen kedua untuk mengetikkan hasil terjemahan. dengan asumsi tersebut, maka bisa dipastikan tunanetra harus terus menerus berpindah antara dua dokumen kerja selama menerjemahkan. Belum lagi jika ada dokumen ketiga yang merupakan bahan acuan terjemahan, seperti kamus atau glosarium. Setiap detik yang diperlukan tunanetra untuk berpindah antar dokumen akan terakumulasi sehingga akan memakan waktu lebih lama. Pada penerjemah awas, mereka dapat menggunakan kemampuan visualnya dengan maksimal, seperti  memanfaatkan perangkat pendukung atau materi cetak tinta.

“karna ini sulit dihindari, satu-satunya jalan keluar adalah menanamkan sikap disiplin diri dalam mengatur waktu mengerjakan terjemahan”, ucapnya serius.

Sebagai penerjemah yang bekerja dari rumah, irma menegaskan bahwa tantangan time consuming ini bukan menjadi hal yang menghalangi penerjemah tunanetra untuk memenuhi target waktu yang ditentukan oleh klien. Justru dengan disiplin diri yang tinggi serta manajemen waktu yang baik, maka pekerjaan yang selesai tepat waktu akan membuktikan pada klien bahwwa penerjemah tunanetra juga dapat bekerja secara profesional.

Stigma atau Kepercayaan Calon Klien Terhadap Tunanetra

bicara tentang kata “profesional”, tentunya masih erat kaitannya dengan kepercayaan calon klien yang akan menggunakan jasa tunanetra sebagai penerjemah. menurut Melissa, stigma yang melekat pada tunanetra juga bisa menjadi sebuah tantangan yang harus dihadapi oleh penerjemah tunanetra. Masih adanya pandangan masyarakat awam yang menganggap tunanetra tidak bisa bekerja, mungkin bisa jadi “batu sandungan” ketika calon klien akan mempercayakan pekerjaan kepada mereka.

“untuk meyakinkan calon klien yang ragu pada kemampuan kita, salah satu yang bisa dilakukan adalah melampirkan portofolio kita. Dengan melihat portofolio itu, paling nggak, calon klien kita lebih yakin dan percaya untuk memberikan pekerjaan sama kita”, ujar Melissa menyampaikan pendapatnya.

Stigma bahwa tunanetra tidak dapat bekerja sangat mungkin mengampiri penyandang tunanetra. hal ini disebabkan masyarakat masih berpikir bahwa tunanetra identik dengan profesi sebagai pemijat. Untuk itulah Melissa selalu mengingatkan agar Sahabat Tunanetra memiliki sikap diri yang positif. Seperti tidak mudah berputus asa saat mengalami penolakan, gigih mencari kesempatan, serta terus tekun dan giat mengasah kemampuan berbahasa asing.

Baca juga: Hadapi Kompetisi, Tunanetra Perlu Tingkatkan Kompetensi Berbahasaa Inggris

Belajar dari pengalaman merupakan guru terbaik ketika kita ingin memahami sesuatu lebih jauh. Dengan mendengarkan pengalaman dari orang lain, tentunya kita dapat menghadapi tantangan yang ada dengan lebih baik lagi. Semoga pengalaman yang dibagikan oleh Irma Hikmayanti dan Melissa Chandra dapat menjadi informasi yang bermanfaat serta motivasi bagi Sahabat Tunanetra yang berminat menggeluti profesi penerjemah tunanetra.

*Juwita maulida

Leave Comment