Mendapatkan informasi adalah salah satu kebutuhan kita semua yang saat ini hidup di era informasi ini. Bahkan, hal ini sudah menjadi salah satu kebutuhan pokok kita, sama seperti kita butuh makan dan minum. Ada slogan yang diyakini sebagian orang, “Siapa yang memiliki informasi, ia akan memegang kendali.” Salah satu cara strategis untuk mendapatkan informasi adalah dengan “membaca”.

Di era teknologi ini bahan bacaan dapat kita peroleh dalam format yang berfariasi. Format audio, atau audio visual, format elektronik, dan tentu masih ada format cetak.

Salah satu kelompok yang hingga kini masih terpinggirkan dalam mengakses informasi adalah para tunanetra. Teknologi juga telah dikembangkan untuk membantu tunanetra agar dapat mengakses informasi. Ada sistem produksi buku Braille yang menggunakan perangkat lunak Braille converter. Ada buku audio digital yang sangat mudah diakses tunanetra. Ada design website yang aksessibel guna memudahkan tunanetra mengakses informasi dalam format elektronik di internet.

Namun demikian, masih ada pelbagai hambatan yang belum memungkinkan tunanetra mendapat informasi secepat mereka yang tidak tunanetra.

Di bidang produksi buku untuk tunanetra, kecepatan proses produksi buku untuk tunanetra masih jauh jika dibandingkan dengan kecepatan pertambahan buku di toko buku / di masyarakat. Di Indonesia misalnya, Yayasan Mitra Netra yang secara terus menerus memproduksi buku untuk tunanetra, dalam satu tahun baru mampu memproduksi 150 judul buku Braille yang digandakan menjadi 7500 volume buku Braille dan 300 judul buku audio digital yang digandakan menjadi 15,000 keping CD buku audio digital. Sedang menurut Ikatan Penerbit Indonesia IKAPI, pertambahan buku baru setiap tahun rata-rata adalah 10,000 judul buku. Dapat dibayangkan, betapa lebar jurang pemisah antara mereka yang tidak tunanetra, yang begitu mudah mendapatkan akses ke buku, dengan para tunanetra yang masih sulit mendapatkan buku. Bagi para tunanetra, buku masih merupakan “barang mewah”.

Menyadari masih kritisnya pemenuhan hak tunanetra untuk mendapatkan informasi melalui buku, World Blind Union WBU pada general assembly ke delapan di Bangkok bulan November 2012 lalu, mencanangkan gerakan kampanye “The Right To Read”.

Sebagai bagian dari warga negara di mana pun berada, tunanetra juga memiliki hak untuk membaca. Hak untuk membaca ini haarus dipenuhi. Dengan membaca tunanetra akan mendapatkan pengetahuan yang mereka butuhkan sama seperti warga masyarakat lainnya.

Agar hak untuk membaca yang dimiliki para tunanetra dapat dipenuhi, maka segala hambatan yang saat ini masih ada untuk terpenuhinya hak tersebut harus dihapuskan.

WBU, WIPO — World Intelectual Property Organization dan organisasi pegiat isu disabilitas dunia lainnya mencatat salah satu hal yang menghambat terpenuhinya hak tunanetra untuk membaca buku adalah “hak cipta”. Itu sebabnya, pada general assembly WIPO yang diadakan di Jeneva 18 Desember 2012 lalu memutuskan adanya sebuah perjanjian internasional, yang mendorong fleksibilitas atau pengecualian hak cipta guna mempermudah terpenuhinya hak tunanetra untuk membaca. Untuk menindaklanjuti kesepakatan ini, akan diselenggarakan pertemuan tingkat dunia di Maroko pada bulan Juni 2013 mendatang.

Lebih dari 100 tahun lalu, Louis Braille telah memiliki kesadaran akan pentingnya membaca bagi para tunanetra. Untuk itulah maka Louis Braille menciptakan huruf berbentuk kombinasi enam titik, yang kemudian kita kenal dengan huruf Braille bagi para tunanetra. Dan untuk mengenang jasa sang pahlawan, dunia memperingati tanggal 4 Januari sebagai Hari Braille.

Gerakan dunia yang berniat menghilangkan hambatan tunanetra untuk mendapatkan haknya untuk membaca melalui upaya pengecualian hak cipta adalah langkah strategis mewujudkan impian Louis Braille. Dan sebagai bagian dari komunitas dunia, Indonesia juga tak terkecuali, wajib mengikuti gerakan dunia tersebut. *Aria Indrawati.

Leave Comment