Sebagai tindak lanjut paska pengesahan Konvensi PBB Tentang Hak Penyandang Disabilitas (United Nation Convention on the Rights of Person with Disability UN CRPD) dengan Undang-Undang nomor 19 tahun 2011, langkah selanjutnya adalah menerbitkan Undang-Undang disabilitas baru sebagai bentuk domestikalisasi dari UN CRPD.

Sebagai sebuah sumber hukum, Undang-Undang nomor 19 tahun 2011 belum dapat langsung diimplementasikan di Indonesia. Mandat dan perintah yang ada di dalamnya merupakan mandat dari PBB kepada pihak negara – yaitu negara-negara anggota badan dunia tersebut. Olehkarenanya, dibutuhkan Undang-Undang yang lebih implementatif, yang langsung dapat diterapkan, dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menyadari hal tersebut, masyarakat penyandang disabilitas di Indonesia melalui organisasi-organisasi disabilitas tingkat nasional berinisyatif menyampaikan usulan naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) disabilitas kepada DPR RI, yang telah dimasukkan ke program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2014 dengan nomor 57.

Undang-Undang disabilitas baru ini akan menggantikan Undang-Undang nomor 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat, yang tidak lagi sesuai dengan Undang-Undang 19 tahun 2014. Undang-Undang disabilitas baru ini merupakan”Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM)”. Sebagaimana Undang-Undang HAM lainnya, Undang-Undang disabilitas ini bersifat implementatif, dapat langsung diterapkan tanpa harus menunggu diterbitkannya peraturan pelaksanaan.

Di samping itu, Undang-Undang Disabilitas juga mengatur penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM warga negara penyandang disabilitas di semua aspek kehidupan. Hal ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan tentang hak asasi warga negara Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Bidang-bidang yang diatur adalah:

  1. Bidang Kesehatan
  2. Bidang Pendidikan dan kebudayaan
  3. Bidang pekerjaan
  4. Bidang kewirausahaan
  5. Bidang hukum
  6. Bidang politik
  7. Bidang komunikasi dan informasi
  8. Bidang aksessibilitas infra struktur – fasilitas publik
  9. Bidang aksessibilitas layanan publik
  10. Bidang olahraga
  11. Bidang hiburan, rekreasi dan pariwisata
  12. Bidang Keagamaan
  13. Bidang transportasi
  14. Bidang sosial
  15. Bidang habilitasi dan rehabilitasi

Pengaturan dalam Undang-Undang disabilitas dibuat dalam bidang-bidang sebagaimana tersebut di atas, disesuaikan dengan konteks struktur dan sistem pemerintahan negara Republik Indonesia. Dengan demikian, akan menjadi jelas lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah yang bertanggungjawab atas penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak warga negara penyandang disabilitas di bidang-bidang tersebut.

Agar pelaksanaan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM warga negara penyandang disabilitas ini dapat terkoordinasi dengan baik, di tingkat pusat maupun daerah, Undang-Undang Disabilitas memandatkan diciptakannya mekanisme koordinasi, baik di tingkat nasional, tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten/kota. Di tingkat nasional, koordinasi berada di bawah Wakil Presiden atau ketiga menteri koordinator (menko), baik menko kesra, menko Ekuin maupun Menko Polhukam. Di tingkat propinsi koordinasi dilaksanakan oleh Wakil Gubernur. Sedangkan di tingkat kabupaten/kota, koordinasi dilaksanakan oleh wakil bupati/wakil wali kota.

Tidak hanya itu, guna memantau pelaksanaan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM warga negara penyandang disabilitas, Undang-Undang Disabilitas juga memandatkan adanya Komisi Nasional Disabilitas Indonesia (KNDI).

Adanya mekanisme koordinasi nasional dan lembaga independen pemantau pelaksanaan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM warga negara penyandang disabilitas merupakan pelaksanaan dari mandat pasal 33 UN CRPD yang telah disahkan dengan Undang-Undang nomor 19 tahun 2011. *Aria Indrawati

Leave Comment