indosiar.com – Saat ini perkembangan dunia literasi sangat pesat. Ribuan buku baru, dalam maupun luar negeri membanjiri toko buku setiap tahunnya. Namun, kepesatan perkembangan literasi ini tidak sebanding dengan kemampuan produser buku Braille menyediakannya untuk tunanetra, karena jumlah penerbit buku (biasa) sangat banyak, sementara, jumlah produser buku Braille sangat sedikit. Akibatnya, tunanetra senantiasa tertinggal dari perkembangan literasi.
Mengatasi hal ini, pada awal tahun 2006, Mitra Netra meluncurkan program Seribu Buku Untuk Tunanetra. Melalui program ini, Mitra Netra mengundang masyarakat berpartisipasi menjadi relawan, untuk mengetik ulang buku-buku popular yang kemudian diolah menjadi buku Braille. Di samping itu, Mitra Netra juga mengajak para penerbit dan penulis untuk menyumbangkan soft file buku yang mereka terbitkan atau yang mereka tulis untuk kemudian diolah menjadi buku Braille.
Upaya ini telah membantu mempercepat proses produksi buku Braille. Sejak awal program Seribu Buku Untuk Tunanetra digulirkan hingga pertengahan tahun ini, telah terhimpun lebih dari 500 relawan (dari jumlah tersebut 70 % adalah relawan aktif), dan 12 penerbit, serta mengkontribusikan 426 file buku. Semua file buku ini secara bertahap di-upload ke KEBI, sehingga dapat dimanfaatkan oleh anggota komunitas ini.
Sebelum program Seribu Buku untuk Tunanetra, Mitra Netra telah merintis pendirian Komunitas E-Braille Indonesia (KEBI) sejak tahun 2002 berisikan kompilasi file buku berformat Braille. Pada awal pengembangan KEBI, Mitra Netra hanyalah satu-satunya organisasi yang mengelola sekaligus memasok file-file buku. Kemudian, melalui kerja sama dengan ON-NET di tahun 2004, Yayasan ini mulai mengajak produser buku Braille lain di seluruh Indonesia untuk menjalin kerja sama, dengan meng-upload file-file buku Braille yang mereka produksi ke KEBI, serta men-download file-file buku yang ada di KEBI untuk keperluan tunanetra.
KEBI beranggotakan lembaga/organisasi pemberdaya tunanetra (SLB, organisasi sosial dan organisasi kemasyarakatan), individu tunanetra (pengguna buku Braille) serta individu bukan tunanetra praktisi rehabilitasi dan pendidikan tunanetra. Di dalamnya memuat kompilasi file buku berformat Braille, hasil produksi para anggotanya. Melalui media ini, para produser bukuBraille di seluruh Indonesia yang telah menjadi anggota KEBI dapat saling bekerja sama, berbagi tugas dan tukar-menukar file. Anggota yang ingin mencetak buku Braille dapat langsung men-download file buku yang ada di dalam KEBI, dan mencetaknya dengan mesin Braille Embosser (mesin cetak buku Braille).
Pada awal konsep KEBI akan diimplementasikan, tidak mudah bagi Mitra Netra untuk mendapatkan partner. Setelah melakukan pendekatan ke berbagai pihak, termasuk pemerintah dalam hal ini Departemen pendidikan Nasional. Baru pada tahun 2004, Mitra Netra mendapat mitra salah satu jaringan pemanfaatan teknologi, ON-NET, yang mendanai program tersebut.
Dari kerjasama yang telah berjalan selama tiga tahun itu, Mitra Netra telah memberikan program peningkatan kapasitas kepada lima produser buku Braille, yaitu SLB-A Pembina Tingkat Nasional Jakarta, SLB-A Citeurep Cimahi, SLB-A Bantul Yogyakarta, SLB-A YAPTI Makasar, dan SLB Payakumbuh, yang meliputi pelatihan bagaimana memanfaatkan perpustakan Braille on line KEBI, menjadi pemasok file buku serta pemberian dana stimulan untuk mengawali pemanfaatan KEBI.
Bagaimana membuat buku Braille?
Proses pembuatan buku Braille diawali dengagn mengetik ulang atau melakukan scanning buku yang akan kita olah menjadi buku Braille. Hasilnya kemudian adalah soft file berformat word. Dokumen word ini kemudian diconfert menjadi dokumen berformat Braille, dengagn menggunakan perangkat lunak MBC (Mitranetra Braille Converter). Setelah dilakukan pemformatan halaman, — jumlah halaman tulisan Braille lebih banyak daripada halaman tulisan biasa (1 banding 3) –, Selanjutnya, dokumen berformat Braille ini disimpan ke dalam KEBI dan siap digunakan oleh para anggota yang membutuhkan.
Mengapa Perlu Kebi?
Lahirnya KEBI dilatarbelakangi oleh keprihatinan Mitra Netra pada minimnya ketersediaan buku Braille bagi tunanetra di Indonesia. Meskipun pada tahun 1998, Departemen Pendidikan Nasional telah mendistribusikan ratusan mesin Braille embosser ke kurang lebih 200 sekolah luar biasa di seluruh Indonesia, namun, hingga kini, tunanetra masih kesulitan mendapatkan buku. Hal ini disebabkan keterbatasan kemampuan SLB-SLB tersebut dalam memproduksi buku Braille, baik dari sisi sumber daya manusia maupun sumber dana.
Mencermati kondisi ini, Mitra Netra berpendapat, perlu ada “sistem dan media” yang tepat, yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia saat ini, — negara kepulauan yang luas. Dan, Pemanfaatan teknologi informasi adalah jalan keluarnya.
“Ratusan mesin Braille Embosser yang didistribusikan oleh Pemerintah itu adalah aset tunanetra, kami ingin mesin-mesin itu dapat difungsikan, dan perpustakaan Braille On Line yang Mitra Netra rintis adalah solusinya”, ujar Bambang Basuki, Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Netra.
Dengan konsep kerja sama menggunakan media KEBI, produksi buku Braille di Indonesia dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien. Karena para anggota saling berbagi tugas, Proses produksi lebih cepat dan tidak ada duplikasi. Distribusi buku ke berbagai wilayah dilakukan secara on line, sehingga lebih murah,; cara ini sangat strategis untuk Indonesia, sebagai negara kepulauan yang luas.
“Melalui KEBI, Mitra Netra ingin membantu Pemerintah untuk memberdayakan produser buku Braille yang telah dilengkapi dengan Braille embosser itu, sehinga produksi buku Braille di Indonesia dapat efektif, efisien dan berkelanjutan; dengan demikian tunanetra di seluruh negeri ini dapat dengan mudah mendapatkan buku, dan investasi yang telah dilakukan dengan mengimpor mesin-mesin Braille embosser di tahun 1998 tidak akan sia-sia”, Bambang melanjutkan.(MitraNetra/Ijs)
www.indosiar.com/ragam/62388/membangun-masyarakat-literasi-untuk-tunanetra