Bagi sebagian besar tunanetra di Indonesia, memperoleh kesempatan bekerja dan berkarier di sektor formal masih menjadi tantangan yang harus dihadapi. Salah satu faktor penyebab masih sedikitnya jumlah tunanetra yang bekerja di sektor formal adalah perusahaan belum berkeinginan untuk merekrut karyawan tunanetra. Ada berbagai alasan yang melatarbelakangi hal tersebut. Apa saja, ya? Berikut uraiannya.
Baca juga: Laptop Braille atau Komputer Bicara? Begini Faktanya!
1. Kurangnya Pemahaman Cara Berinteraksi Dengan Tunanetra
Faktor pertama yang menjadi penyebab perusahaan belum berkeinginan merekrut tunanetra adalah kurangnya pemahaman pihak pemberi kerja tentang cara berinteraksi dengan tunanetra. Hal ini memunculkan tantangan dalam menjalin komunikasi yang efektif antara perusahaan dan calon karyawan tunanetra. Tanpa pemahaman yang memadai, perusahaan mungkin merasa canggung saat berkomunikasi atau tidak yakin dalam merekrut tunanetra.
Secara umum, jika masyarakat atau para pemberi kerja belum pernah berinteraksi dengan tunanetra, maka akan timbul asumsi yang seringkali keliru. Misalnya saja, asumsi bahwa tunanetra mudah tersinggung, tidak mandiri dan selalu bergantung pada orang lain. Untuk mengatasi ketidakpahaman tentang cara berinteraksi dengan tunanetra, maka para pemberi kerja dapat menginisiasi kegiatan yang melibatkan interaksi dengan tunanetra. Sebut saja, kegiatan kerelawanan yang melibatkan interaksi antara tunanetra dan para karyawan pihak pemberi kerja, contohnya jalan sehat bersama, atau nonton film bareng tunanetra. Ketika memiliki pengalaman dalam mendampingi dan berinteraksi dengan tunanetra, maka akan terjalin komunikasi yang lebih santai dan nyaman sehingga memunculkan pemahaman baru terhadap tunanetra.
Baca juga: Return To Work, (Program Kembali Bekerja)
2. Stigma Dan Asumsi yang Keliru Tentang Tunanetra
Alasan kedua mengapa para pemberi kerja belum berkeinginan merekrut tunanetra adalah stigma dan asumsi yang keliru. Pada dasarnya stigma dan mispersepsi tentang tunanetra diawali dari ketidakpahaman masyarakat tentang kehidupan tunanetra, khususnya yang telah mandiri. Masih banyak perusahaan atau pihak pemberi kerja yang mempercayai stereotip bahwa tunanetra tidak mampu bekerja secara mandiri atau tidak dapat berkontribusi secara efektif dalam tim kerja. Atau, perusahaan berpandangan bahwa jika memiliki karyawan tunanetra semua dokumen pekerjaan harus disediakan dalam huruf Braille. Faktanya, tunanetra yang telah mandiri umumnya dapat menguasai teknologi asistif, seperti mengoperasikan komputer bicara, menggunakan ponsel pintar dan memanfaatkan berbagai aplikasi. Di samping itu, tunanetra juga dapat bermobilitas secara mandiri jika telah menguasai keterampilan orientasi mobilitas dengan penggunaan alat bantu tongkat putih. Apabila seorang tunanetra berpendidikan tinggi dan memiliki keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja, maka tunanetra tersebut layak untuk diperhitungkan dalam proses perekrutan dan memiliki peluang yang sama dengan individu nontunanetra dalam mendapatkan pekerjaan.
Namun, Meski banyak tunanetra yang memiliki kapabilitas dan kompetensi yang sesuai untuk bersaing di dunia kerja, terutama di sektor formal, stigma dan ketidakpahaman tentang kemampuan mereka seringkali menjadi penghalang utama. Banyak perusahaan masih terjebak dalam paradigma lama yang menganggap tunanetra sebagai ketergantungan, bukan sumber daya berharga yang dapat memberikan kontribusi nyata. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk mengubah persepsi dan memberikan kesempatan yang sama bagi tunanetra dalam dunia kerja formal. Salah satu cara untuk mengatasi stigma dan persepsi yang keliru ini adalah dengan memberikan kesempatan magang atau bekerja paruh waktu. Dengan demikian, pihak pemberi kerja mampu melihat potensi dari calon karyawan tunanetra sekaligus dapat mengidentifikasi lingkup pekerjaan apa saja yang memungkinkan untuk dikerjakan oleh tunanetra di perusahaannya.
Baca juga: Wajib Tahu, Ini 5 Fakta Bagaimana Sahabat Tunanetra Bisa Kuliah!
3. Kekhawatiran Terkait Biaya Tambahan yang Tinggi untuk Penyesuaian Karyawan Tunanetra
Ketika hendak memperkerjakan karyawan tunanetra, para pemberi kerja juga harus memikirkan untuk melakukan penyesuaian yang diperlukan, atau yang juga disebut penyediaan akomodasi yang layak bagi tunanetra. Untuk melakukan penyesuaian tersebut,maka pihak pemberi kerja merasa harus mengeluarkan biaya tambahan yang cukup tinggi. Inilah yang menjadi alasan lain, mengapa para pemberi kerja belum berkeinginan merekrut tunanetra.
Umumnya para perusahaan berpikir bentuk penyesuaian atau akomodasi yang layak bagi tunanetra berupa infrastruktur fisik. Padahal untuk membuat lingkungan kerja menjadi inklusif bagi tunanetra tidak selalu dengan cara mengubah bentuk bangunan atau menambahkan sarana secara fisik, seperti guiding block, railing, talking lift, dll. Lalu, Bagaimana penyesuaian atau akomodasi yang layak yang dibutuhkan karyawan tunanetra?
Untuk bekerja, tunanetra juga menggunakan komputer yang dilengkapi aplikasi pembaca layar. Saat ini, aplikasi tersebut dapat diperoleh secara Cuma-Cuma (open source), sehingga perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan. Di samping itu, saat ini juga tersedia berbagai aplikasi yang aksesibel untuk tunanetra, yang juga non-commercial,yang dapat mendukung tunanetra bekerja, misalnya saat harus membaca dokumen dalam format JPG. Jika ada pekerjaan yang bersifat visual dan tidak dapat diakses tunanetra dengan bantuan aplikasi, perusahaan dapat menyediakan “teman tandom” yang ditugasi memberikan bantuan yang diperlukan, sehingga tugas yang memiliki aspek visual tersebut dapat diselesaikan karyawan tunanetra dengan baik.
Ini artinya, untuk menyediakan penyesuaian tersebut, para pemberi kerja tidak harus mengeluarkan biaya tambahan yang tinggi. Bahkan kadang kala, karyawan tunanetra dapat mengupayakan kebutuhannya secara mandiri, karena tunanetra lebih nyaman dan terbiasa menggunakan perangkat komputer/laptop yang dipakainya sehari-hari.
Sedangkan jika kebutuhan fasilitas aksessibilitas fisik yang diperlukan karyawan tunanetra belum dapat disediakan karena kompleksitas letak perusahaan yang berada dalam sebuah gedung perkantoran, masih dapat diatasi dengan dukungan bantuan dari petugas atau karyawan lain non-tunanetra. Bantuan orientasi tempat bekerja bagi tunanetra juga sangat berguna, agar karyawan tunanetra tersebut dapat membangun “mental mapping”, sehingga pada akhirnya tetap dapat bermobilitas secara lebih mandiri.
Untuk mengikis keraguan terkait dengan biaya tambahan ini, para pemberi kerja dapat meneladani berbagai perusahaan yang telah lebih dahulu melaksanakan perekrutan karyawan tunanetra.
Baca juga: 4 Fakta Adinugraha, Tunanetra yang Berprofesi Sebagai Programmer
Nah itu dia beberapa alasan mengapa para pemberi kerja belum berkeinginan merekrut tunanetra yang disertai dengan penjelasan untuk mengatasinya. Dengan demikian, untuk meningkatkan kepercayaan diri dalam merekrut pekerja tunanetra, perusahaan diharapkan dapat mengambil langkah-langkah konkret. Salah satunya adalah dengan berkonsultasi dengan lembaga pendampingan seperti Mitra Netra, yang memiliki pengalaman dan pengetahuan terkait perekrutan serta penempatan tenaga kerja bagi tunanetra. Mitra Netra dapat menyediakan “disability sensitizing session”, atau sesi untuk membangun kesadaran dan pengetahuan bagaimana berinteraksi dengan tunanetra kepada perusahaan yang berkeinginan merekrut karyawan tunanetra. Selain itu, perusahaan juga bisa langsung bertanya kepada calon karyawan tunanetra tentang kebutuhan dan kemampuan mereka pada saat melakukan proses wawancara kerja, sehingga memperoleh pemahaman yang lebih baik dan membangun hubungan yang inklusif.
Sudah siap merekrut karyawan tunanetra di perusahaan Anda?
*Juwita Maulida
Editor: Aria Indrawati