“Tanggal tiga desember datang lagi”. Bagi sebagian besar orang mungkin tiga Desember sama dengan hari-hari lainnya. Bagi yang lahir tiga Desember, itu berarti “hari ulang tahun”, makan-makan, dapat hadiah, dan sebagainya. Atau, yang menikah tiga Desember, berarti mengenang kembali hari bahagia itu. Bagi para penyandang cacat, tiga Desember adalah hari istimewa; tiga desember adalah hari Internasional Penyandang Cacat atau yang biasa disingkat Hipenca.
Bagi mereka yang kurang atau tidak lagi setuju menggunakan istilah “penyandang cacat”, akan menyebutnya dengan istilah lain mungkin. Misalnya, Hari Difabel Internasional – difabel konon berarti Different Ability atau orang-orang yang berkemampuan berbeda.
Apa pun istilahnya, yang lebih penting untuk direnungi adalah, “apakah para penyandang cacat atau difabel sudah mendapatkan hak, atau diberi kesempatan menunaikan kewajiban untuk berperan penuh dalam seluruh kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara?””Jika belum, mengapa?”
Berapa banyak penyandang cacat yang mendapatkan akses ke pendidikan berkualitas? Berapa banyak penyandang cacat yang memiliki ketrampilan yang dapat memenuhi permintaan pasar kerja? Berapa banyak dari mereka yang mendapatkan akses ke kegiatan ekonomi produktif termasuk mengakses kredit usaha kecil? Memang belum pernah ada pendataan yang akurat, tapi, bisa diperkirakan “belum banyak”.
Belum adanya akses yang baik ke pendidikan berkualitas adalah salah satu permasalahan mendasarnya. Dari pengalaman saya mengelola Yayasan Mitra Netra selama sepuluh tahun terakhir, begitu nyata fakta di depan mata, minimnya ketersediaan buku untuk kaum tunanetra. Bagaimana bisa belajar tanpa buku? Saat mendiknas kabinet Indonesia Bersatu jilid 1 dengan bangga mengumumkan bahwa departemen Pendidikan yang dipimpinnya menyediakan “buku sekolah elektronik”, sudahkah dia berpikir bagaimana dengan siswa tunanetra?
Di Jakarta, Ibu Kota Negara, Usaha mendorong dibangunnya sistem pendidikan inklusif yang memberikan hak pada tunanetra dan siswa berkebutuhan khusus lain untuk menempuh studi di sekolah umum telah Mitra Netra lakukan sejak tahun 2003, satu tahun setelah lahirnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, namun hingga kini Pemerintah Daerah DKI Jakarta belum punya agenda yang jelas. Bagaimana dengan daerah lain? Bagaimana pula Pemerintah pusat yang diwakili oleh Departemen?
Persepsi keliru
Di Pemerintahan dan masyarakat hingga kini masih terdapat “persepsi keliru” bahwa masalah penyandang cacat identik dengan urusan “Departemen Sosial”. Ini terbukti, saat Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) beraudiensi dengan Presiden bulan Juli lalu seusai menyelenggarakan Musyawarah Nasional, satu-satunya menteri yang diminta Presiden mendampingi adalah “Menteri Sosial”. Presiden baru menyadari bahwa seharusnya ada menteri-menteri lain saat Ketua Umum Pertuni Didi Tarsidi menyampaikan bahwa seharusnya penanganan masalah tunanetra – dan penyandang cacat lain – dilakukan lintas departemen, bukan hanya Departemen Sosial. Mendengar itu, Presiden pun berjanji akan mengadakan rapat kabinet khusus bersama Menkokesra dan Menteri-Menteri terkait lainnya untuk membahas kebijakan Pemerintah dalam pemberdayaan tunanetra. Berarti, Pertuni harus menagih janji ke Presiden.
Dari pengalaman saya yang telah menjadi tunanetra sejak kecil dan saat ini mengelola organisasi yang berperan aktif memberdayakan tunanetra, trobosan dalam usaha pemberdayaan kelompok dengan hambatan penglihatan ini lebih dilakukan oleh organisasi non pemerintah seperti Mitra Netra. Tantangannya kemudian adalah, sumber daya yang dimiliki organisasi non pemerintah sangat terbatas, di sisi lain, ekspektasi komunitas – yang tersebar dari Sabang sampai Merauke — pada organisasi non pemerintah sangatlah tinggi. Bahkan, saat saya berada di forum diskusi bersama wakil instansi Pemerintah, ia pun meletakkan harapannya pada Mitra Netra. Wah, Bagaimana ini?
Pengarusutamaan isu guna mewujudkan “inclusive development”.
Agar upaya pemberdayaan penyandang cacat menjadi perhatian bersama guna mempercepat pencapaian tujuan pembangunan milenium (Milenium Development Goals MDGs), pendekatan ke berbagai komponen masyarakat pun saat ini giat dilakukan oleh para penyandang cacat yang tergabung dalam berbagai organisasi, meski, dalam diskusi-diskusi dan berbagai gerakan terkait MDGs rasanya belum pernah terdengar kelompok penyandang cacat diletakkan sebagai salah satu prioritas.
Secara pribadi, saya senantiasa sangat menghargai jika menemukan ada komunitas yang atas kesadaran mereka sendiri menyediakan fasilitas aksessibilitas untuk para penyandang cacat. Yang pada umumnya terjadi adalah, fasilitas tersebut disediakan karena “dorongan” atau “desakan” dari kelompok penyandang cacat.
Mari kita cermati apa yang dilakukan oleh beberapa dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Jogjakarta sepulang studi lanjut di Kanada. Ada yang berbeda dari mereka dibandingkan dengan yang lain.
Saat belajar di Kanada, Andayani dan teman-temannya melihat di kampus di mana mereka belajar menyediakan “layanan dan fasilitas khusus” bagi mahasiswa dengan kebutuhan khusus, baik tunadaksa, tunarungu, tunanetra dan lainnya. Tidak seperti orang-orang lainnya, sekembali ke tanah air, Andayani dan teman-temannya berpikir bahwa fasilitas semacam itu juga harus ada di kampus mereka – UIN Sunan Kalijaga –, mengingat di sana juga ada mahasiswa berkebutuhan khusus, terbanyak adalah tunanetra.
Pendekatan ke berbagai pihak pun dilakukan. Ke pimpinan universitas, LSM lokal Jogjakarta, serta Mitra Netra, yang ia kenal sejak lama mengembangkan layanan kusus untuk tunanetra. Tak hanya respon positif, respon negatif pun juga mereka terima, termasuk dari kolega sendiri sesama dosen. Alasannya adalah, layanan khusus ini tidak efisien dari sisi biaya, mengingat ketidakseimbangan perbandingan antara besarnya biaya yang harus dikeluarkan dan jumlah mahasiswa berkebutuhan khusus yang harus dilayani.
Tapi Andayani DKK tidak patah semangat. Mereka yakin bahwa fasilitas dan layanan itu harus ada, sebagai bagian dari tanggungjawab perguruan tinggi, memenuhi hak mahasiswa berkebutuhan kusus untuk mendapatkan pendidikan berkualitas. Dan, pemikiran itu memang benar adanya. Berapa pun jumlahnya, mereka adalah aset, harus dipenuhi kebutuhan khusus mereka. Menyediakan fasilitas khusus untuk mahasiswa berkebutuhan khusus adalah investasi pendidikan, jadi, tidak sewajarnya hanya menggunakan perhitungan “untung rugi”.
Setelah bekerja keras, akhirnya pada tanggal 2 Mei 2007, bertepatan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional Hardiknas, pusat layanan yang diberi nama “Pusat Studi dan Layanan Difabel PSLD” itu pun dibuka dan diresmikan oleh rektor. Dan, untuk “mengasuh bayi PSLD” ini, Andayani pun ditunjuk sebagai direkturnya. Tugas yang tidak mudah, tapi dilakukannya dengan penuh keyakinan.
Selama dua tahun, PSLD memiliki ruangan yang hanya cukup menampung empat buah komputer bicara – komputer yang dilengkapi perangkat lunak pembaca layar untuk tunanetra –, meja kursi dan sedikit tempat untuk diskusi dan konsultasi. Untuk membantu melaksanakan tugasnya, Andayani merikrut mahasiswa yang tidak tunanetra menjadi volunteer.
Pada bulan Oktober 2009, setelah mencermati perkembangan bayi PSLD yang sangat menggembirakan ini, Rektor kemudian menyediakan ruangan yang jauh lebih besar. Ada sembilan komputer bicara, ruang untuk Direktur yang memimpin PSLD, ruang tamu, dan ruang untuk diskusi.
Mengetahui hal ini, Pertuni yang sejak tiga tahun terakhir menyelenggarakan kegiatan kampanye kesadaran bertajuk “higher education for students with visual impairment” – sebuah gerakan kampanye berskala global untuk mendorong terbukanya akses ke pendidikan tinggi yang lebih baik bagi tunanetra –, bergabung, dan turut “memberikan ASI tambahan untuk bayi PSLD ini”. Tambahan energi ini membuat Andayani dkk lebih bersemangat. Berbagai rencana pun dibuat untuk lebih memfungsikan PSLD. Menyusun buku panduan bagaimana mengelola pusat layanan semacam ini, buku panduan pelayanan dan pengajaran adaptif untuk mahasiswa tunanetra, event-event untuk mensosialisasikan ide PSLD ke perguruan tinggi lain di Jogjakarta, dan lain sebagainya.
Apa yang dilakukan sekelompok kecil dosen di UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta tersebut seharusnya diikuti oleh universitas-universitas lain serta komponen masyarakat pada umumnya sesuai tanggungjawab masing-masing, serta seharusnya mendapatkan dukungan sepenuhnya dari Pemerintah.
Di Indonesia memang belum ada peraturan yang memberikan “hak” pada warga negara untuk “menggugat ganti kerugian” pada Pemerintah jika tidak memenuhi kebutuhan warga negaranya. Namun, meski aturan semacam itu belum ada, konstitusi sudah cukup jelas memerintahkannya. Sebagai pelaksanaan Undang-Undang Dasar 45, berbagai peraturan pun dibuat; UU tentang penyandang Cacat, UU tentang hak asasi manusia, UU sistem pendidikan nasional dan sebagainya. Saat ini, komunitas penyandang cacat sedang mendorong dan mengawal proses ratifikasi konvensi PBB tentang hak-hak penyandang cacat, yang telah ditandatangani oleh Pemerintah RI pada tanggal 30 Maret 2007 lalu.
Di beberapa negara, pemberdayaan penyandang cacat ada pula yang diserahkan ke “komisi nasional khusus”. Apa pun pilihannya, mari kita meletakkan isu ini di tempatnya yang benar. Bukan hanya menjadi urusan satu departemen, tapi juga menjadi urusan departemen lainnya. Bukan hanya urusan Pemerintah, tapi juga urusan masyarakat. Sebaliknya, saat masyarakat aktif melakukan berbagai trobosan, Pemerintah juga hendaknya memberikan dukungan berupa kebijakan dan sumber daya, karena itu memang tugas Pemerintah.