Menikmati kehidupan yang layak adalah hak asasi yang dijamin oleh konstitusi, dan hak asasi ini berlaku untuk setiap warga negara tanpa kecuali, termasuk mereka yang menyandang kecacatan.
Kecacatan/ketidak mampuan secara fisik yang dialami seseorang, misalnya terganggu atau kehilangan penglihatan, akan memberikan dampak psikologis pada orang tersebut. Dampak ini harus diminimalkan atau dihilangkan sama sekali jika mungkin. Untuk itu, perlu dilakukan intervensi khusus guna mengurangi atau menghilangkan dampak ketunanetraan dan kecacatan pada umumnya.
Di samping memiliki dampak psikologis, kecacatan juga memiliki dampak secara sosial, ekonomi dan budaya. Hal ini lebih disebabkan karena sebagian besar penyandang cacat belum diperlakukan dan difasilitasi / dipenuhi kebutuhan khususnya oleh lingkungan – Pemerintah dan masyarakat — di mana mereka berada atau di mana seharusnya mereka berada.
Semua faktor tersebut: dampak psikologis, minimnya akses ke pendidikan dan pelatihan yang berkualitas, perlakuan dan persepsi keliru, minimnya aksessibilitas fasilitas publik, kebijakan berikut implementasinya yang belum mendukung, telah mengakibatkan para penyandang cacat menjadi kelompok yang rata-rata berpendidikan rendah, tidak mampu bersaing, tidak dapat mengakses ke kegiatan ekonomi produktif di masyarakat, dan akhirnya sebagian besar mereka hidup dalam kemiskinan/ketidakmampuan secara ekonomi, tidak mandiri dan menjadi beban keluarga serta masyarakat.
Mitra Netra, sejak awal pendiriannya di tahun 1991 telah melakukan upaya-upaya strategis untuk “mengurangi” dampak serta faktor-faktor negatif tersebut di atas, khusus untuk tunanetra. Hal ini dilakukan secara komprehensif. Dimulai dari merintis layanan pendukung pendidikan bagi tunanetra yang menempuh studi di sekolah umum dan perguruan tinggi, yang selanjutnya diikuti dengan merintis program diversifikasi (penganekaragaman) peluang kerja untuk tunanetra, sebagai keharusan setelah berhasil meningkatkan kuantitas dan kualitas tunanetra yang berpendidikan.
Hasil diversifikasi peluang kerja ini antara lain dengan membuktikan pada masyarakat bahwa tunanetra juga bisa bekerja sebagai operator telepon, konselor untuk sesama tunanetra, instruktur kursus komputer untuk tunanetra, penulis, penterjemah, pekerjaan di bidang komunikaasi seperti hubungan masyarakat, marketing, dan yang terbaru adalah staf administrasi yang sehari-hari bekerja dengan komputer.
Upaya diversifikasi peluang kerja ini telah dilakukan sejak tahun 1994, namun, dari sisi jumlah, perkembangannya belumlah menggembirakan. Evaluasi secara berkala terus dilakukan, baik di kalangan komunitas tunanetra maupun di masyarakat dan Pemerintah. Salah satu kesimpulan hasil evaluasi di kalangan tunanetra adalah bahwa, tunanetra membutuhkan pelatihan-pelatihan tambahan di bidang ketrampilan halus (soft skill) guna membantu mereka agar lebih siap bekerja.
Minimnya soft skill yang dimiliki tunanetra – misalnya kemampuan berkomunikasi dengan baik, membangun hubungan sosial, kurang percaya diri, minimnya informasi tentang dunia kerja, pengetahuan tentang “grooming atau berpenampilan baik” dll — merupakan dampak dari ketunanetraan yang dialami, perlakuan keliru dari lingkungan, serta minimnya akses ke pendidikan dan pelatihan yang diperlukan. Hal ini telah berdampak pada ketidakmampuan mereka mengakses dunia kerja, baik sektor formal maupun informal.
Menyadari kondisi ini, Mitra Netra, melalui kerja sama dengan para partner: VSO (Volunteer Service Overseas) dengan menempatkan relawan ahli rehabilitasi dan bimbingan karir, Fakultas Psikologi UI dengan merekomendasikan fasilitator pelatihan, Diageo Foundation yang memberikan dukungan dana, serta PT Gitaswara Indonesia dan Departemen Sosial yang menyediakan tempat magang kerja, telah menyelenggarakan pelatihan “softt skill pre employment training” pada bulan Mei sampai dengan Oktober 2009.
Pelatihan ini pada prinsipnya dibagi dalam dua bagian utama, yaitu belajar di kelas dalam bentuk workshop, dan magang kerja selama sekurang-kurangnya satu bulan. Dari pelatihan ini, Mitra Netra membuktikan telah terjadi perubahan cukup berarti pada diri setiap peserta, meski capaian masing-masing individu berbeda satu sama lain, hal ini sangat dipengaruhi oleh pada level mana yang bersangkutan berada saat mengikuti pelatihan.
Beberapa materi yang diajarkan antara lain penelusuran minat, memahami kecenderungan diri, menyusun rencana karir, teknik dan latihan presentasi, teknik menulis CV dan surat lamaran kerja, teknik wawancara, simulasi wawancara, membangun relasi sosial dan ketrampilan-ketrampilan halus lain yang dibutuhkan dalam bekerja.
Belajar dari keberhasilan pelatihan yang baru pertama kali diselenggarakan ini, Mitra Netra berniat membagikannya kepada para pemangku peran terkait pemberdayaan penyandang cacat, baik pemerintah maupun non pemerintah, melalui kegiatan seminar setengah hari yang diselenggarakan pada tanggal 9 Desember 2009 bertempat di Ruang Antasena, Hotel La Meridien Jakarta Selatan. Di samping sosialisasi ide, seminar ini juga diselenggarakan untuk memperingati hari internasional penyandang cacat – tiga desember – dan hari hak asasi manusia sedunia – sepuluh desember.
“Energi Mitra Netra sangat terbatas, itu sebabnya kami ingin berbagi tugas dan keberhasilan dengan berbagai pihak yang menyadari pentingnya pemberdayaan penyandang cacat di bidang pekerjaan,” tutur Irwan Dwi Kustanto Wakil Direktur Eksekutif Mitra Netra.
Tidak hanya memperluaas ide soft skill pre employment training, pada seminar ini juga dilakukan penandatanganan kerja sama antara Mitra Netra dan PT Gitaswara Indonesia (PT GI); dalam kerja sama ini, PT GI bersedia menjadi partner Mitra Netra dalam program Pre Employment Training, dengan menyediakan tempat bagi tunanetra peserta pelatihan yang akan mengikuti magang kerja.
“Sebagai perusahaan, kami berniat memberikan kontribusi pada upaya pemberdayaan tunanetra sesuai kapasitas kami, yaitu menyediakan tempat bagi tunanetra yang memenuhi persyaratan untuk belajar bekerja di perusahaan kami,” tutur Ipung, Operation & HR Manager PT GI. Tidak hanya itu, perusahaan pemasar salah satu minuman ini juga menerima seorang tunanetra bekerja sebagai .”front officer staff”. Menurut Ipung, ini salah satu komitmen mereka mengimplementasikan sistem kuota satu persen yang diamanatkan oleh Undang-Undang nomor 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat. Pasal 14 undang-undang tersebut antara lain mengatakan bahwa, perusahaan yang memiliki karyawan minimal seratus orang wajib mempekerjakan sekurang-kurangnya seorang penyandang cacat.
Menjadi penyandang cacat bukanlah pilihan, melainkan realita hidup yang harus dihadapi. Posisi Indonesia yang berada di “ring of fire” yang sangat rentan dengan bencana gempa, merupakan salah satu faktor resiko/penyebab bertambahnya jumlah penyandang cacat. Memang belum pernah ada pendataan yang pasti. Tapi bisa diperkirakan, sejak bencana tsunami tahun 2004 hingga gempa Padang 2009, telah terjadi penambahan jumla hpenyandang cacat, terutama cacat kaki dan tangan (tubuh).
Dibutuhkan upaya yang sistematis dan komprehensif untuk memberdayakan mereka, sehingga para penyandang cacat bisa berpartisipasi penuh dalam kegiatan ekonomi dan pembangunan pada umumnya.
Terobosan yang dilakukan Mitra Netra, yang baru menjangkau satu jenis kecacatan – tunanetra — dalam jumlah yang sangat terbatas pula, hendaknya diikuti dengan usaha-usaha untuk menduplikasi dan melakukannya dalam skala yang lebih besar, sehingga dapat menjangkau lebih banyak penyandang cacat. Di sinilah peran Pemerintah dibutuhkan, baik melalui kebijakan maupun pengerahan sumber daya yang ada di Pemerintah serta masyarakat.
Catatan:
Guna mendapatkan informasi lebih lanjut silakan hubungi
Aria Indrawati,
Kabag Humas Mitra Netra,
0815-11-478-478,
021-7651386, aria @mitranetra.or.id