World Sight Day (WSD) adalah hari internasional yang diperingati setiap tahun yaitu pada hari Kamis minggu kedua dibulan Oktober, dengan tujuan untuk mengkampanyekan dan mengajak seluruh warga dunia memusatkan perhatian pada isu global “penanggulangan dan pencegahan kebutaan”. Tahun 2011 ini, WSD jatuh pada tanggal 13 Oktober. Tak ada tema khusus tahun ini, sehingga setiap negara dapat menyesuaikan tema dan kegiatannya dengan situasi dan kondisi masing-masing.
WSD dicanangkan oleh Badan Kesehatan dunia World Health Organization (WHO) pada Tahun 1999. Sedangkan Indonesia memulainya di tahun 2001, pencanangan dilakukan oleh Presiden Megawati kala itu.
Data & Fakta.
Menjadi penyandang disabilitas memang bukan pilihan. Itu adalah fakta, yang harus diterima, dihadapi dan dijalani. Namun, ada kondisi disabilitas yang dapat dicegah. Satu di antaranya adalah gangguan penglihatan; baik lemah penglihatan (low vision/ atau visual impairment) hingga kebutaan.
Data WHO menunjukkan, 285 juta orang di dunia mengalami gangguan penglihatan. Dari jumlah tersebut, , 39 juta di antaranya adalah tunanetra kategori buta, dan selebihnya, 246 juta orang mengalami gangguan penglihatan, mulai dari kategori ringan hingga berat. WHO juga mencatat di seluruh dunia ada kurang lebih 19 juta anak yang menyandang tunanetra, baik buta maupun lemah penglihatan.
Data Badan Kesehatan Dunia ini juga menyatakan bahwa 90% penyandang tunanetra hidup di negara-negara sedang berkembang. Menurut WHO, dari semua kasus kebutaan yang terjadi, 80% di antaranya sebenarnya dapat dicegah. Hal ini telah terbukti berhasil dilakukan di negara-negara yang telah maju. Sebagai dampaknya, di negara-negara yang telah maju, lebih dari 50% penyandang tunanetra adalah akibat usia lanjut (by aging), proses alamiah yang tak dapat dihindari, akibat lebih panjangnya usia harapan hidup manusia.
Secara global, penyebab gangguan penglihatan terutama adalah gangguan atau kelainan refraksi yang tak lagi dapat dikoreksi; gangguan refraksi biasa pada umumnya dapat dikoreksi dengan memberikan kacamata. Namun, di strata sosial menengah ke bawah, katarak masih merupakan penyebab utama gangguan penglihatan dan kebutaan.
Di Indonesia, berdasarkan survei Kementerian Kesehatan tahun 1996, tingkat kebutaan adalah 1,5% dari jumlah penduduk. Dan, seperti halnya negara sedang berkembang lainnya, sebagian besar mereka yang mengalami gangguan penglihatan ini berasal dari kelas menengah ke bawah.
Vision 2020, The Right To sight.
Jika memang 80% kebutaan sebenarnya bisa dicegah, berarti, jika upaya penanggulangan dan pencegahan kebutaan itu dilakukan secara sistematis dan dalam skala yang masiv, maka, 80% orang yang berpotensi mengalami kebutaan ini akan mendapatkan “hak mereka” untuk melihat.
Mempertimbangkan hal ini, pada tahun 1999, WHO mencanangkan sebuah gerakan berskala global bertajuk “Vision 2020, The Right To Sight”, yaitu gerakan untuk menanggulangi kebutaan yang penyebabnya memang dapat dicegah atau dihindari. Gerakan global ini merupakan upaya bersama antara WHO dan International Agency for Prevention of Blindness (IAPB) yang beranggotakan lembaga non pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat, lembaga donor, , asosiasi profesi seperti persatuan dokter ahli mata, asosiasi ahli refraksi dan sebagainya, rumah sakit mata, serta korporasi.
Melalui gerakan ini, WHO mentargetkan, dalam waktu kurang lebih 20 tahun, dunia diharapkan dapat menanggulangi dan mencegah 100 juta orang yang berpotensi mengalami gangguan penglihatan dan kebutaan.
Untuk mengingatkan dunia akan adanya ancaman gangguan penglihatan dan kebutaan, setiap Kamis minggu kedua di bulan Oktober, WHO mengajak masyarakat dunia memperingati “World Sight Day”, hari penglihatan sedunia. Berbagai kegiatan biasanya diselenggarakan untuk memperingati hari penglihatan sedunia ini. Operasi katarak gratis, pembagian kacamata gratis, pemeriksaan mata ke sekolah-sekolah, promosi dan penyuluhan akan pentingnya menjaga kesehatan mata, dan sebagainya.
Agar Vision 2020 lebih memiliki legitimasi, di tahun 2003 World Health Assembly (WHA) ““ konferensi kesehatan dunia menguatkannya dengan mengeluarkan resolusi
Resolusi ini mengamanatkan seluruh negara anggota PBB untuk segera menyusun rencana aksi nasional penangulangan dan pencegahan kebutaan yang menjadi bagian dari sistem layanan kesehatan nasional. , Dalam pelaksanaannya, rencana aksi nasional ini diharapkan melibatkan seluruh stake holder terkait di masyarakat, dan bersifat pemberdayaan. Artinya, elemen-elemen masyarakat hendaknya diberdayakan untuk berperan dalam aksi nasional sehingga mereka dapat menjadi partner pemerintah. Hal ini dikarenakan upaya penanggulangan dan pencegahan kebutaan ini diharapkan menjadi persoalan bersama, baik pemerintah maupun masyarakat.
Masalah Sosial.
Jika merujuk pada data dan fakta bahwa di Indonesia angka kebutaan adalah 1,5% dari jumlah penduduk, 80% sebab kebutaan itu sebenarnya dapat dicegah atau dihindari, dan sebagian besar penyandang tunanetra berasal dari kalangan menengah ke bawah, tingginya tingkat kebutaan ini bukan hanya merupakan masalah kesehatan, namun juga “masalah sosial”. Artinya, masalah kesehatan ini merupakan akibat dari persoalan lain, yaitu “kemiskinan”, yang berdampak pada rendahnya tingkat pendidikan, dan rendahnya kemampuan mengakses layanan kesehatan. Rendahnya tingkat pendidikan ini berdampak pada minimnya pengetahuan tentang kesehatan, termasuk gaya hidup yang sehat.
Itu sebabnya, “vision 2020″ mengamanatkan agar upaya penanggulangan dan pencegahan kebutaan menjadi bagian dari upaya pembangunan sistem kesehatan nasional, yang tidak hanya dapat dinikmati oleh mereka yang mampu membayar jasa layanan kesehatan, tapi juga dapat diakses oleh mereka yang miskin. Tentu saja, untuk golongan miskin dan tak mampu ini harus didukung oleh subsidi negara. Layanan kesehatan mata ini harus memiliki standar kualitas yang jelas, dan dapat diselenggarakan dengan biaya seefisien mungkin.
Jika kemampuan pemerintah dalam menyediakan subsidi layanan kesehatan mata bagi warga negara miskin ini pun masih terbatas, elemen masyarakat lain diharapkan berpartisipasi membantu. Misalnya korporasi melalui dana CSR, lembaga donor dan pengumpul dana, bahkan individu.
Kita mengenal adanya “operasi katarak gratis” untuk mereka yang tidak mampu, yang diselenggarakan oleh berbagai elemen masyarakat. Mengapa katarak? Ya, karena katarak merupakan penyumbang terbesar gangguan penglihatan dan kebutaan di negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Jika semua orang yang mengalami katarak dapat ditangani sedini mungkin, gangguan penglihatan bahkan kebutaan akibat katarak dapat kita hindari.
Pendidikan dan penyuluhan kepada masyarakat, khususnya kalangan bawah, tentang pentingnya hidup sehat, termasuk menjaga kesehatan mata, juga harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan. Upaya ini harus melibatkan lembaga-lembaga informal yang ada di masyarakat, misalnya PKK, pos layanan kesehatan terpadu (posyandu), kelompok kegiatan keagamaan, dan lain-lain. Peran tokoh informal masyarakat juga sangat diharapkan.
Pemberian nutrisi tambahan secara Cuma-Cuma untuk membangun dan menjaga kesehatan mata, khususnya untuk balita, juga diupayakan. Kita mengenal “bulan vitamin A” – yaitu bulan Februari dan bulan Agustus, bulan di saat dilakukan pemberian suplemen vitamin A secara Cuma-Cuma kepada balita di seluruh Indonesia. Kita memahami, vitamin A adalah nutrisi penting yang dibutuhkan untuk membangun dan menjaga kesehatan mata. Kekurangan vitamin A yang banyak dialami oleh anak-anak miskin akibat kekurangan gizi dapat berakibat terjadinya gangguan penglihatan hingga kebutaan.
Saat ini, ada upaya untuk mewajibkan produsen bahan pokok yang dikonsumsi masyarakat luas untuk memasukkan vitamin A sebagai suplemen. Misalnya “minyak goreng”. Dengan demikian, tanpa disadari, setiap kita mengkonsumsi makanan yang dimasak dengan cara “digoreng atau ditumis” berarti kita mendapatkan suplemen tambahan berupa “vitamin A”. Hal ini juga penting, karena vitamin A yang penting untuk menjaga kesehatan mata, tidak hanya harus dikonsumsi anak-anak balita, tapi setiap orang, berapa pun usianya. Bagi mereka yang mampu secara ekonomi, hal ini tentu tidak masalah. Mereka dapat mengkonsumsi vitamin A dalam keseluruhan nutrisi yang mereka konsumsi sehari-hari; misalnya dari buah-buahan, sayur-sayuran, daging, telur dan sebagainya. Tapi, bagi mereka yang miskin atau kurang mampu, hal ini bisa jadi masalah. Kemiskinan berakibat pada minimnya asupan nutrisi. Olehkarenanya perlu ada “afirmative action”, agar masyarakat, siapa pun dia, dari kalangan mana ia berasal, dapat secara teratur mengkonsumsi “vitamin A”. Wajib menambahkan vitamin A pada minyak goreng menjadi solusi.
Dampak Yang Lain.
Vision 2020, The Right To Sight, telah menyadarkan dunia betapa tingginya angka ganguan penglihatan dan kebutaan, khususnya di negara-negara sedang berkembang. Gerakan global yang dimotori oleh Badan Kesehatan Dunia ini juga telah berhasil mengajak dan melibatkan berbagai elemen masyarakat dunia untuk berperan di dalamnya, menanggulangi dan mencegah gangguan penglihatan serta kebutaan. Promosi besar-besaran pun dilakukan, untuk menumbuhkan kesadaran dunia. Dampak promosi itu pun dirasakan sangat signifikan. Lembaga donor internasional misalnya, beramai-ramai mengalokasikan dana dalam jumlah besar untuk upaya ini. Sektor usaha pun tak ketinggalan. Melalui dana CSR, Mereka mengadakan operasi katarak gratis serta pembagian kacamata untuk mereka yang mengalami gangguan refraksi
Respond yang sangat menggembirakan. Optimisme pun tumbuh, bahwa di tahun 2020 nanti, dunia akan berhasil menekan tingkat gangguan penglihatan dan kebutaan hingga pada angka terendah sepanjang sejarah.
Namun, di balik keberhasilan proses ini, ada dampak lain yang tak disadari, yaitu berkurangnya dengan sangat drastis alokasi dana untuk kegiatan di bidang rehabilitasi bagi para tunanetra didunia.
Bahwa, 80% gangguan penglihatan dan kebutaan memang dapat dicegah dan ditanggulangi dengan upaya di bidang kesehatan yang komprehensif, misalnya pemberian nutrisi tambahan, pendidikan dan penyuluhan kesehatan mata, serta melakukan tindakan medis yang diperlukan.
Namun, jangan pula dilupakan, ada 20% gangguan penglihatan dan kebutaan yang tak dapat direhabilitasi secara medis. Mereka ada di tengah-tengah kita, di masyarakat. Mereka juga membutuhkan sumber daya yang cukup dalam bentuk layanan rehabilitasi, serta penyediaan sarana serta Layanan khusus agar dapat hidup berkualitas.
Bagi tunanetra yang tinggal di negara maju, hal ini tidaklah masalah. Mereka mendapatkan subsidi secara komprehensif dari negara untuk memenuhi kebutuhan khusus mereka. Namun, bagi tunanetra yang tinggal di negara sedang berkembang seperti Indonesia, yang belum memiliki sistem jaminan sosial, bantuan dari lembaga donor internasional untuk memberdayakan mereka masih sangat diperlukan.
Penanggulangan dan pencegahan kebutaan memang penting, namun harus pula diimbangi dengan pemberdayaan bagi tunanetra yang secara medis memang tak dapat lagi disembuhkan. Mereka tak boleh diabaikan. Mereka juga berhak menjalani kehidupan berkualitas. *Aria Indrawati