Saya seorang ibu yang mempunyai seorang anak dengan Cerebral Palsy. Saat ini anak saya sudah berusia 14 tahun. Sudah remaja. Kalau boleh, saya ingin memulai cerita saya dengan sedikit sharing.
Suatu hari saya membawa anak saya makan ke food court di sebuah mall. Di food court itu kursi rodanya harus melewati kerumunan orang-orang. Kebetulan juga jalannya sempit.
Meski sudah bilang “permisi, permisi” agar orang-orang berkenan memberi jalan agar kursi roda anak saya tidak menabrak orang, tetap saja tangan anak saya yang sering bergerak-gerak itu secara tidak sengaja menyenggol – maaf – pantat seorang ibu-ibu muda.
Dengan nada marah, ibu itu bilang pada saya “Meski cacat, paling enggak ajarin sopan santun dong!”.
Bagaimanapun, inilah realitas yang harus dihadapi kalau membawa anak saya ke tengah masyarakat, yaitu harus mau dan berani menghadapi omongan-omongan “kasar” seperti ini.
Meski saya sudah minta maaf dan mencoba menerangkan bahwa anak saya punya masalah pada koordinasi gerakan,pada motorik halus dan kasarnya, dan kami masih terus melatihnya agar bisa lebih baik, tetap saja ibu itu marah-marah terus.
Langsung otak ini flashback ke masa lalu. Masuk di tempat yang sama, dengan peristiwa yang juga bisa dibilang sama. Kala itu anak saya juga pernah menyenggol orang di food court ini. Tapi reaksinya berbeda, Kkarena waktu itu anak saya masih kecil. ibu yang kena senggol itu masih bisa “tersenyum”. Mungkin masih maklum, karena yang menyenggol anak-anak.
Setelah pulang dari food court, meski sedikit kesal tapi saya jadi berpikir juga. Mengapa kali ini reaksi orang bisa begitu berbeda. Memang sih, orangnya beda jadi reaksinya bisa saja beda. Tapi, apa mungkin karena anak saya badannya sudah besar dan sudah tidak dianggap anak-anak lagi. Sehingga “tuntutan” kepadanya juga jadi naik. ia harus bersikap “dewasaâ€. Tantangannya, di dalam beberapa jenis disabilitas ada yang antara besarnya badan atau umur dan tingkah laku sering dianggap tidak sinkron.
Seperti dengan kondisi anak saya. Meski sebenarnya itu kan juga lebih karena reaksi motoriknya, bukan karena tingkah laku atau sifat dia seperti itu. Juga bukan karena dia tidak sopan..
Seandainya saja ibu muda itu tahu. Bagaimana kami sekeluarga mengajarkan bahasa isyarat pada anak saya. Misalnya, “terimakasih” atau “tolong”. Kami harus jungkir balik. Jadi sebenarnya jangan dianggap kami ini tidak mencoba mengajarkan sopan santun pada anak kami.
Ya. Itu baru salah satu contoh kejadian “kecil”. Dalam membesarkan anak yang masih kecil dan yang mulai masuk remaja. Tantangan yang harus dihadapi bisa menjadi sangat baru atau bahkan berbeda.
Saya harap ada lebih banyak informasi yang mengulas mengenai persoalan-persoalan yang dihadapi remaja-remaja yang menyandang disabilitas. Apa saja yang harus dipersiapkan atau diperhatikan oleh orang tua dalam membimbing anak-anak mereka yang menyandang disabilitas dalam memasuki masa remaja mereka? Mungkin juga ada tips-tips atau sharing dari sesama orangtua dalam mengatasi persoalan-persoalan itu?