Accessibility Tools

Bambang Basuki, Terang di Dalam Gelap

Indira Permanasari – Empat puluh enam tahun lalu, kegelapan menjadi teman Bambang Basuki (63) saat penglihatannya terenggut tiba-tiba. Namun, Bambang tidak menyerah dan bekerja menciptakan “terang” bagi tunanetra lainnya.

Di balik dinding bangunan di pojok Jalan Gunung Balong, Jakarta Selatan, itu para tunanetra yang haus ilmu menjadi raja. Di kantor Yayasan Mitra Netra itulah tersedia ribuan judul buku dalam huruf braille sehingga dengan rabaan jari, mereka dapat membacanya.

Setiap tahun, sekitar 150 judul buku digandakan menjadi 5.000 volume buku Braille. Pekerja di yayasan itu—baik yang bermata awas maupun tunanetra—mengembangkan teknologi buku Braille dengan komputer. Peranti lunak didesain untuk mengubah file teks berbahasa Indonesia dan Inggris menjadi file Braille. Mereka pun menyempurnakan sistem Braille Indonesia bidang bahasa, matematika, fisika, dan kimia. Selain itu, juga dibangun perpustakaan braille online dan digitalisasi buku bicara.

Para tenaga staf Mitra Netra pun dengan setia menyelenggarakan layanan dukungan dan pendidikan, mulai dari layanan rehabilitasi, bimbingan belajar, pendampingan baca, hingga tutorial untuk mata pelajaran tertentu, serta pelatihan komputer bagi mahasiswa guna membantu peserta didik tunanetra.

Berdirinya Mitra Netra yang telah dirasakan jasanya oleh para tunanetra di negeri ini tak lepas dari perjuangan Bambang, Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Netra sekaligus salah satu pendiri lembaga itu.

Kegelapan yang tiba-tiba

Kegelapan datang tiba-tiba ketika Bambang duduk di kelas II SMA. Penyakit glaukoma merenggut penglihatannya. Meredupnya pandangan itu sempat disembunyikan Bambang dari teman-teman dan guru di sekolah. Ujian akhir SMA dilewatinya dengan menebak jawaban untuk soal yang tak terlihat jelas. “Saya bisa lulus ujian akhir SMA jurusan ilmu alam itu sebuah keajaiban dan keberuntungan,” ujarnya.

Bambang begitu terkejut. Ia memberontak dan menyangkal kebutaannya. Betapa tidak? Sebelumnya, Bambang yang pandai dan jago menggambar bercita-cita menjadi arsitek. Namun, setelah penglihatannya hilang, ia merasa kehidupannya hancur. “Untuk membaca Al Quran saja saya tidak bisa lagi. Saya sudah berpendapat tidak ada lagi masa depan. Sudah operasi mata tujuh kali, tetapi kondisi tidak membaik,” ujarnya.

Pada masa itu, belum banyak beredar informasi tentang kehidupan tunanetra lainnya. “Saya cuma berpikir, sambil menunggu ajal menjemput, setidaknya harus ada hiburan dan tambah ibadah,” ucapnya.

Bambang kemudian belajar membaca braille untuk mengakses bacaan-bacaan yang menghibur hatinya. “Saya ingin bisa membaca Al Quran braille untuk investasi di akhirat,” ujar Bambang yang saat itu menyewa guru privat braille.

Dalam suatu kesempatan, guru braille itu memperkenalkan Bambang kepada seorang tunanetra yang menjadi guru di sekolah luar biasa (SLB). Pertemuan itu membalik alam pikir Bambang yang sedang di titik nadir. “Nyata ada tunanetra yang bisa menjadi guru dan bermanfaat bagi masyarakat,” ujar Bambang yang menyala kembali asanya.

Mengikuti jejak guru tunanetra itu, Bambang mencoba mendaftar ke berbagai sekolah pendidikan guru (SPG) di Jakarta. Namun, rentetan penolakan ia terima. Paling menyakitkan ketika kepala sekolah tidak bersedia ditemui walaupun ada di tempat. “Itu diskriminasi besar. Sekolah itu tidak mengetes kemampuan saya dan langsung menolak,” ujar Bambang.

Bambang kemudian beralih mendaftar ke kursus diklat singkat penyetaraan ijazah guru atau kursus pendidikan guru. Jika mendapatkan ijazah setara SPG itu, setidaknya dia masih bisa mengajar. Bambang kembali ditolak.

Dia tidak menyerah dan menyetujui ide seorang tantenya untuk mencoba langsung ke IKIP Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta). Namun, lagi-lagi bagian administrasi menolaknya dengan alasan mahasiswa harus sehat jasmani dan rohani. Buta warna saja tidak boleh mendaftar saat itu. Untungnya, rektor saat itu, Winarno Surakhmad, membuka jalan dengan memberi Bambang kesempatan mengikuti tes.

Selama di universitas, materi pelajaran direkam. Keterbatasan buku teks, apalagi yang dalam tulisan braille, menjadi persoalan. Bambang terpaksa banyak bergantung kepada sukarelawan pembaca. Dia berhasil lulus dengan IPK 3,74.

Mitra tunanetra

Dari perjalanan hidupnya, Bambang sampai pada kesimpulan, tunanetra tidak bisa hanya menunggu dan menuntut, tetapi harus berperan.

Bambang dan sejumlah rekannya lalu membangun Yayasan Mitra Netra sebagai fasilitas belajar, memberikan bantuan advokasi, dan pendorong terciptanya masyarakat inklusif. Dia memimpin lembaga itu.

Bambang meyakini, tunanetra mampu berprestasi di lembaga pendidikan mana pun seandainya ada lembaga pendukung yang membantu mereka belajar. Saat ini, tunanetra berada di lingkungan (lembaga pendidikan) yang belum dipersiapkan untuk mengakomodasi kebutuhan mereka.

Yayasan Mitra Netra juga mengadvokasi dan mendampingi sekolah inklusif—tempat murid yang awas dan tunanetra bersama-sama belajar—untuk meningkatkan pelayanan bagi tunanetra.

“Mengapa pendidikan inklusif itu hebat? Karena di situ dikumpulkan orang-orang berbeda, miniatur masyarakat. Dalam keheterogenan itulah mereka dididik untuk berinteraksi, saling menghargai, demokratis, dan mampu bekerja sama,” ujarnya.

Bambang Basuki
Lahir: Medan, Sumatera Utara, April 1950
Pendidikan: Jurusan Bahasa Inggris IKIP Negeri Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta)

Riwayat Kerja:
– Guru di SLB-A Pembina Tingkat Nasional Jakarta (1982)
– Direktur eksekutif dan salah satu pendiri Yayasan Mitra Netra

Organisasi:
– Anggota kelompok kerja (pokja) persiapan penyusunan rancangan undang-undang tentang penyandang cacat (1993)
– Wakil Ketua Pokja Pengembang Pendidikan Inklusi di DKI Jakarta (2002)

Sumber : KOMPAS CETAK
Editor : Tri Wahono

http://edukasi.kompas.com/read/2013/09/23/0711046/Bambang.Dasuki.Terang.di.dalam.Gelap

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top