Salah satu alas an yang melatarbelakangi pendirian Yayasan Mitra Netra adalah terbatasnya ketersediaan layanan berkualitas pendukung pendidikan tunanetra, khususnya tunanetra yang menempuh pendidikan di sekolah umum hingga perguruan tinggi secara inklusif. Di antara layanan berkualitas yang dibutuhkan tunanetra adalah fasilitaasi akses ke buku, baik buku pelajaran, buku referensi, buku pengayaan maupun buku-buku popular, pengetahuan umum, termasuk karya sastra.
Undang-Undang hak cipta Indonesia telah lama mengecualikan fasilitasi akses tunanetra ke buku dari ketentuan tentang hak cipta. Artinya, jika suatu karya dibuat dalam format accessible untuk tunanetra, sumbernya disebutkan secara lengkap dan tidak dikomersialkan, perbuatan tersebut bukan pelanggaran hak cipta. Namun, selama berdekade, ketentuan tersebut hanya menyebut “buku Braille”. Baru pada Undang-Undang nomor 28 tahun 2014 tentang hak cipta, yang dalam proses penerbitannya sempat mendengarkan masukan dari Yayasan Mitra Netra meski di saat-saat terakhir, format buku accessible yang lain telah disebutkan,yaitu buku audio dan bentuk multi media yang lain; berarti termasuk buku elektronik format epub yang tahun ini disosialisasikan secara massive di beberapa kota di Jawa.
Selama berdekade, ketentuan pengecualian hak cipta untuk fasilitasi akses tunanetra ke buku tidak pernah diikuti dengan adanya aturan pelaksanaan. Hal ini berdampak pada munculnya pelbagai persoalan di lapangan. Misalnya, ketidakpahaman penerbit dan penulis tentang adanya ketentuan pengecualian hak cipta tersebut, dan bagaimana implementasinya. Bahkan, karena di pasal pengecualian hak cipta hanya menyebutkan buku Braille, padahal Mitra Netra telah sejak lama memproduksi buku audio, agar layanan buku audio juga memiliki landasan hukum, di tahun 2001 Yayasan Mitra Netra harus meminta tafsir dari kementerian hukum dan HAM, yang waktu itu bernama Kementerian Kehakiman, bahwa, apa yang Mitra Netra lakukan adalah sah, tidak melanggar hukum, dan layanan buku audio merupakan implementasi pasal pengecualian hak cipta yang ada kala itu.
Yang berbeda dari Undang-Undang nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta dari Undang-Undang Hak Cipta sebelumnya adalah, pasal pengecualian hak cipta untuk memfasilitasi akses tunanetra ke buku memandatkan adanya Peraturan Pemerintah untuk mengatur hal tersebut lebih detail.
Karena Yayasan Mitra Netra telah membangun relasi yang baik dengan Kementerian Hukum dan HAM, maka, kementerian tersebut melibatkan Mitra Netra sejak awal proses penerbitan Peraturan Pemerintah dilakukan.
Untuk membantu para penyusun peraturan pemerintah di Kementerian Hukum dan HAM memahami bagaimana proses fasilitasi akses tunanetra ke buku, Mitra Netra mengundang tim penyusun Peraturan Pemerintah Kementrian Hukum dan HAM berkunjung ke kantor Mitra Netra.
Peraturan Pemerintah yang mengatur fasilitasi akses tunanetra ke buku ditargetkan terbit pada akhir tahun 2017 mendatang. Ini akan menjadi momentum yang sangat baik. Fasilitasi akses tunanetra ke buku kini telah diatur dengan lebih rinci, mulai dari undang-undang hingga peraturan pemerintah. *Aria Indrawati.