Dalam beberapa hari di pertengahan Bulan September ini, obrolan di grup WhatsApp dengan topic disabilitas antara lain diramaikan dengan kejadian seorang anak tunanetra, sebut saja “Rini”, yang bersekolah di sebuah SMA Negeri di Makasar, yang mendapatkan perlakuan tidak baik dari guru di sekolah tersebut. Bentuk perlakuan tidak baik itu adalah; sang “oknum” guru yang mengajar mata pelajaran ekonomi, yang juga wali kelas dari siswa tunanetra, melarang siswa tunanetra mengerjakan tugas-tugas dengan menggunakan “laptop”. Guru tersebut memaksa siswa tunanetra harus mengerjakan tugas dengan tulisan tangan. Sedangkan, karena dia tunanetra, maka tulisan tangannya tentu saja dalam huruf Braille. Akibatnya, siswa tunanetra tersebut harus meminta bantuan temannya untuk menulis untuknya. Dan ketika itu terjadi, sang guru memberikan label bahwa siswa tunanetra tersebut “merepotkan orang lain”.
Perlakuan tidak menyenangkan juga ia terima dari guru mata pelajaran matematika. Hingga kini, mata pelajaran matematika masih menjadi tantangan tersendiri bagi peserta Didik tunanetra. Bukan karena tunanetra tidak dapat belajar matematika; Namun, tantangan itu lebih disebabkan proses belajar matematika yang terjadi di kelas tidak aksessibel untuk peserta Didik tunanetra. Guru matematika belum memahami bagaimana mengadaptasi proses pembelajaran matematika untuk peserta Didik tunanetra. Tantangan ini telah terjadi sejak awal tunanetra bersekolah. Sebagai dampaknya, fondasi matematika peserta Didik tunanetra pada umumnya lemah, dan ini mereka bawa terus hingga ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Pendidikan Inklusif mulai diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1998; berarti telah 20 tahun yang lalu. Pada tahun 2009, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 70 tentang Pendidikan Inklusif untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Namun, hingga kini, pembangunan sistem pendidikan Inklusif belum pernah terwujud. Kasus yang dialami Rini bukan satu-satunya di Indonesia. Pada saat proses pendaftaran siswa baru tahun ajaran 2018-2019 beberapa Bulan lalu, seorang siswa tunanetra ditolak oleh sebuah SMP Negeri di Jakarta, dengan alasan karena sekolah tersebut adalah “sekolah unggulan”; Pihak sekolah merasa siswa tunanetra tidak akan dapat mengikuti proses belajar di sekolah tersebut, karena sebagai sekolah unggulan, tuntutan akademik sangat tinggi.
Bagaimana mungkin, sekolah negeri, yang dibiayai dengan anggaran Negara, guru-gurunya pun digaji dengan dana Negara, yang berarti uang rakyat, memperlakukan peserta Didik tunanetra warga Negara Indonesia demikian rupa?
Di manakah pendidikan Inklusif yang selama ini Kementerian Pendidikan selalu sampaikan bahwa mereka telah membangun sistem pendidikan Inklusif?
Pemerintah salah besar, jika membebankan pelayanan pada peserta Didik Penyandang disabilitas hanya kepada sekolah reguler. Tidak akan ada sekolah yang mampu melakukannya sendirian. Sekolah butuh dukungan pemerintah.
Dukungan pertama adalah, adanya lembaga yang secara khusus membangun layanan pendukung untuk siswa Penyandang disabilitas yang menempuh pendidikan di sekolah regular; lembaga ini oleh Undang-Undang Disabilitas disebut “Unit Layanan Disabilitas (ULD)”. ULD inilah yang akan membantu pihak sekolah dalam pemenuhan kebutuhan khusus siswa Penyandang disabilitas, yang oleh UU No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas disebut “pemenuhan akomodasi yang layak”.
Di samping itu, untuk proses modifikasi pembelajaran yang sehari-hari harus dilakukan, sekolah membutuhkan kehadiran “Guru Pembimbing Khusus (GPK)”. Mandat ini sebenarnya telah ada di Peraturan Menteri Pendidikan no. 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif, namun tidak pernah dilaksanakan. Pemerintah tidak pernah melakukan perekrutan GPK. Akibatnya, sekolah regular yang menerima peserta Didik Penyandang disabilitas tidak memiliki tenaga ahli yang membantu mereka bagaimana mengadaptasi proses pembelajaran untuk peserta Didik penyandang disabilitas.
Undang-Undang Penyandang Disabilitas juga memandatkan terbitnya Peraturan Pemerintah yang mengatur pemenuhan akomodasi yang layak bagi peserta Didik Penyandang disabilitas yang menempuh pendidikan secara Inklusif, namun peraturan tersebut hingga kini masih dalam proses.
Mencermati pengaturan sistem pendidikan di Indonesia saat ini, bahwa, sekolah dan guru merupakan domain “Pemerintah Daerah”, bukan lagi domain “Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan”, maka, Dinas Pendidikan yang ada di pemerintah daerah harus memiliki pemahaman yang baik dan benar tentang “sistem pendidikan Inklusif”. Namun, faktanya, masih jauh panggang dari api. Kasus yang terjadi di Jakarta dan Makasar sebagaimana disebutkan di atas adalah bukti nyatanya. Pemerintah daerah telah mewajibkan sekolah negeri untuk menerima siswa Penyandang disabilitas, namun, sekolah negeri belum didukung dengan kehadiran GPK dan ULD. Bagaimana sekolah mampu menjalankan tugasnya tanpa dukungan supporting sistem – (sistem pendukung) tersebut?
Jika terjadi hal-hal demikian, maka, komentar bermunculan; Komentator itu bilang: “pendidikan Inklusif gagal diterapkan di Indonesia”. Padahal, yang terjadi adalah, sistem pendidikan Inklusif memang belum pernah dibangun secara sistematis. Yang ada hanyalah “proyek-proyek” yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan. Dan ini terjadi biasanya saat mereka menjalin kerja sama hutang atau mendapat bantuan dari Negara sahabat. Setelah proyek selesai, maka, selesailah semuanya. Keadaan kembali seperti semula. Tidak ada perubahan apa pun.
Tidak ada yang salah dengan membuat proyek. Proyek dimaksudkan untuk menciptakan percontohan, yang selanjutnya dilembagakan dalam system, dan didanai dengan anggaran Negara.
Benarkah orang Indonesia “tidak mampu membangun system”? Dalam banyak hal, Pemerintah selalu kesulitan jika harus membangun system. Salah satu kendalanya adalah lemahnya koordinasi antar sektor. Dengan sistem pendidikan saat ini, di mana peran pemerintah daerah begitu besar, untuk membangun sistem pendidikan Inklusif, Kementerian Pendidikan harus bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri, bahkan Kementerian Desa, karena sekolah juga ada di desa, begitu juga dengan anak Penyandang disabilitas. Belum lagi lembaga pendidikan yang berada di bawah koordinasi Kementerian Agama. Mereka masih jauh dari sentuhan pembinaan tentang “pendidikan Inklusif”.
Apakah kondisi ini akan dibiarkan terus?
Belum lagi, masih rendahnya partisipasi anak Penyandang disabilitas di bidang pendidikan. Menurut data Kementerian Pendidikan tahun 2016, anak Penyandang disabilitas yang bersekolah baru 18%.
Pendidikan Inklusif itu dapat kita wujudkan. Itu bukan hanya angan-angan. Namun, butuh komitmen dan konsistensi tinggi, kerja keras, kerja cerdas dan kerja sama untuk mewujudkannya. Pemerintah pun tidak bekerja sendirian. Masyarakat yang berkecimpung dalam bidang pendidikan anak disabilitas juga merupakan partner penting pemerintah. Seharusnyalah pemerintah juga memperhitungkan kontribusi dan keberhasilan mereka selama ini. *Aria Indrawati.