Bayangkan, bagaimana rasanya jika karena suatu penyakit, mendadak kita kehilangan seluruh kemampuan panca indera dan mengalami kelumpuhan total? Perasaan sedih dan menderita tentunya yang akan melanda hati kita. Mungkin juga memilih menyerah, marah pada Tuhan, atau yang lebih ekstrim, mencoba mengakhiri hidup saja. Namun berbeda dengan apa yang dirasakan Adinda Luna Maharani. Gadis tunanetra ini selalu berusaha untuk tidak bersedih hati demi menguatkan orang-orang di sekitarnya. Penasaran? Ikuti cerita hidupnya berikut!
Luna, begitu biasa ia disapa, terlahir sebagai anak perempuan yang sehat dan tak kurang suatu apapun. Layaknya anak seusianya, Luna menempuh bangku sekolah dasar di sebuah sekolah terkemuka di Jakarta hingga hari itu tiba– hari terburuk dalam hidupnya. Pada saat dia menginjak usia 12 tahun, dokter memberikan diagnosa bahwa Luna mengalami syndrome multiple sclerosis dan efek virus tokso rubella. Dampak dari virus tersebut adalah Luna mengalami kelumpuhan dari leher hingga kaki, serta kehilangan sebagian besar kemampuan panca inderanya. Sedih? Tentu saja itulah yang dirasakan Luna dan keluarga besarnya. Ditambah lagi saat itu dokter juga menyatakan “angkat tangan” dengan kondisi gadis kelahiran Oktober 2000 itu. Lantas apakah kesedihan itu terus berlarut-larut dalam hati Luna?
“pikiranku waktu itu ya dengan terus bersedih tidak mengubah apapun. Kalau aku sedih, keluargaku juga sedih. Jadi, aku memutuskan untuk menerima kondisiku dan terlihat baik-baik saja”, kata Luna menggambarkan perasaannya saat itu.
Di tengah perjuangan batin untuk menerima keadaannya, anak perempuan dari Januar Budiman dan Wanda Chandrayani ini juga terus berjuang menggapai kesembuhan dari kelumpuhan. Dengan tekad baja karena ingin kembali bersekolah, Luna yang rutin melakukan fisioterapi secara mandiri bersama sang ayah, berangsur mengalami perkembangan. Namun, harapan untuk kembali bersekolah kandas. meski hampir seluruh tubuhnya perlahan dapat bergerak kembali, kemampuan penglihatannya justru menjadi satu-satunya indera yang tak kunjung membaik. Kondisi barunya yang menjadi seorang penyandang tunanetra itulah yang akhirnya mengantarkan Luna mengenal Yayasan Mitra Netra di tahun 2013.
Baca juga: Catatan Cerita Di Bulan Kartini
Menurut Luna, tahun-tahun awal di Mitra Netra merupakan masa yang sulit baginya. Menjadi seorang tunanetra total membuatnya minder, sehingga dia memilih untuk menarik diri dan tidak mau bicara dengan orang lain, bahkan dengan sesama tunanetra. Hal ini ditegaskan oleh Irma Hikmayanti, salah satu sahabat Luna di Mitra Netra.
“luna itu kalau ditanya atau diajak ngobrol selalu diam aja, yang jawab kalau bukan neneknya , ya mamanya. Nggak pernah jawab sendiri”, tutur Irma mengenang pertemuan pertamanya dengan Luna di saung Mitra Netra.
Luna sering merasa tidak nyaman dan risih ketika berada di tempat umum dan menarik perhatian orang karena kondisinya yang berbeda. Selain itu, anak kedua dari 3 bersaudara ini juga menuturkan bahwa dia juga mengalami perundungan dari bebberapa teman sekolahnya. “ada beberapa teman yang sering mengucapkan kata-kata pedas, ucapan yang menyinggung hati, dan pertanyaan yang membuat kepercayaan diriku turun”, ungkap Luna terus terang.
Baca juga: Ikuti Layanan Fisioterapi, Daffa Alami Perkembangan Pesat
Namun, Tuhan pasti memiliki rencana baik untuk Luna agar terus aktif belajar di Mitra Netra. Luna bertemu dengan Karina Handoko, yang dalam pandangan Luna sangat percaya diri dalam menghadapi situasi ketunanetraannya di usia dewasa. “mbak Karina beda banget sama aku waktu itu. Dia cuek aja meskipun jadi tunanetra, cepet akrab sama teman-teman di Mitra Netra, sedangkan aku udah lebih dulu di Mitra Netra tapi tetap nggak punya banyak teman. Jadi ya aku mulai berpikir, kok aku nggak bisa kayak dia aja gitu”
Perkenalannya dengan Karina itulah yang kemudian mengantarkan Luna mengenal dunia seni peran. Karina yang merupakan anggota sanggar teater di Jakarta, menampilkan sebuah peran di acara ulang tahun Mitra Netra. Dari penampilan tersebut, tercetuslah ide untuk membentuk kelompok teater yang terwujud pada November 2016. Nama kelompok itu adalah teater VIP (Visual Impairment People), yang berarti juga kelompok teater yang beranggotakan orang-orang dengan keterbatasan penglihatan. Di sinilah Luna memupuk kembali rasa percaya dirinya.
“awalnya rasanya ya takut dan ragu-ragu. Takut jatuh, takut nggak bisa ngikutin. Tapi karena Kak Ari selalu membantu dan teman-temannya asik-asik, ya aku mulai nyaman dan bisa mengikuti kelas teater”, ujar gadis yang hobi nonton film ini.
Luna mengatakan bahwa Kak Ari adalah pengajar teater yang sangat sabar dan kreatif saat mengajar mereka yang tunanetra. materi seperti mengenal ekspresi wajah, melatih intonasi suara, dan cara merubah keterbatasan sebagai keunikan adalah beberapa hal yang diajarkan di teater. Luna merasakan perubahan positif pada dirinya, mulai dari lebih nyaman membawa diri dalam pergaulan, lebih berani mengungkapkan pendapat, dan mengetahui bagaimana harus bersikap dalam beberapa situasi.
“ada satu materi di kelas teater yang berkaitan dengan kepercayaan diri. Materinya tentang bully mem-bully. Jadi kita dipasangkan berdua-dua dan berperan secara bergantian menjadi si pem-bully dan yang di-bully. Kita bebas menghina-hina gitu… hahaha… dan sama Kak Ari, kita dikasih kiat menghadapi bully–bully itu” cerita Luna sambil tertawa.
Baca juga: Sigit Radityo Nugroho, Temukan Passion Bermusik Di Mitra Netra
Kini Luna telah bertransformasi menjadi sosok yang kuat, ceria dan inspiratif. Bagi teman-temannya di kelompok teater, Luna dikenal juga sebagai sosok yang dewasa dan dapat diberikan tanggung jawab sebagai person in-charge (PIC) kelompok teater. Penyuka novel seri Harry Potter ini bertugas sebagai narahubung antara kelompok teater kepada pihak Mitra Netra dan pihak luar yang ingin memberikan kesempatan kelompok teater untuk menunjukkan kebolehan mereka dalam seni peran.
“ luna itu anaknya memiliki pola pikir yang dewasa dibanding anak seumur dia di Mitra Netra. Cara dia memandang suatu permasalahan juga cukup baik dan dapat memberikan pertimbangan sesuai dengan permasalahan yang ada. Nah, karena itu kita mendukung Luna untuk menjadi koordinator di teater dan belajar bertanggung jawab menjalankan perannya. Alhamdulillah, ternyata dia memang membuktikan kalau dia bisa”, ujar Irma menyampaikan pendapatnya.
Bukan hanya Irma, teman-teman lainnya di Kelompok Teater VIP juga memiliki kesan yang positif pada Luna. “aku beruntung kenal Luna. Dia baik hati dan punya potensi untuk berkembang di usianya yang masih muda. Meski begitu, Luna nggak sombong, soalnya dia mau ngajarin aku belajar bahasa inggris” ucap Rian, salah satu tunanetra anggota baru teater VIP
Bukan hal yang mudah ketika Luna mencapai sisi kedewasaannya pada titik kehidupannya saat ini. Banyak pengalaman, tantangan, serta pergolakan batin yang mungkin akan dihadapinya nanti. Namun, dukungan keluarga serta teman-temannya di Mitra Netra merupakan semangat yang luar biasa bagi gadis yang hobi menulis ini. Harapannya, kelompok Teater VIP Mitra Netra akan tetap solid seperti keluarga dan bisa tampil di panggung internasional.
Berkat dukungan itu juga, kini Luna memandang segala sesuatu menjadi lebih positif. Meskipun pernah mengalami perundungan, tetapi Luna kini memilliki cara untuk menghadapinya dengan lebih percaya diri. “yah, untuk orang-orang yang kurang percaya diri, pesanku ya jadi diri sendiri aja. Jangan gampang jatuh kalau dihina orang. Lebih baik denger diri sendiri daripada mendengarkan kata orang yang menjatuhkan kita”, tandasnya.
*Juwita Maulida