Memasuki bulan Agustus, suasana peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI mulai terasa. Meski saat ini kita ada di masa pandemi, semangat peringatan hari kemerdekaan harus tetap membara di dada. Namun, itu saja belum cukup. Yang tidak kalah pentingnya adalah, bagaimana kita semua, termasuk para penyandang tunanetra di Indonesia, memaknai peringatan hari kemerdekaan negara kita; Makna untuk diri sendiri dan lingkungan.
Bagaimana memaknai hari kemerdekaan ini untuk diri sendiri bagi penyandang tunanetra?
Secara bebas, “merdeka” dapat kita artikan “bebas, tidak terikat, tidak terbelenggu, dapat mengambil keputusan sendiri, dapat menentukan pilihan sendiri”.
Pertanyaan selanjutnya, Apakah tunanetra di Indonesia sudah menjadi manusia yang “merdeka”? Atau, apakah tunanetra di Indonesia sudah memiliki “kemerdekaan” itu?
“Apakah lingkungan di mana penyandang tunanetra berada sudah memberikan dukungan agar mereka tumbuh menjadi manusia yang merdeka?”
Pertanyaan-pertanyaan itu harus kita jawab bersama-sama; Penyandang tunanetra itu sendiri, keluarga mereka, masyarakat dan juga tentunya pemerintah.
Menjadi manusia yang merdeka, dalam arti dapat menentukan pilihan sendiri, dapat mengambil keputusan sendiri, tentu sangat menyenangkan. Bagaimana agar para tunanetra dapat tumbuh menjadi manusia yang “merdeka”?
Ada peran banyak pihak hingga akhirnya seorang penyandang tunanetra tumbuh menjadi manusia yang merdeka.
Pertama, tentu “peran keluarga”. Di dalam keluargalah seorang anak tunanetra mendapatkan pendidikan tahap awal, sama seperti anak-anak lainnya. Jika keluarga memperlakukan anak penyandang tunanetra dengan tepat, menyayangi, menerima, mengasuh sesuai dengan kondisi disabilitas yang dialami, semua pengalaman menjalani proses pendidikan di dalam keluarga itu akan berperan penting membentuk seorang anak tunanetra kelak tumbuh menjadi manusia yang merdeka.
Berikutnya adalah lembaga pendidikan di mana anak tunanetra tersebut belajar; Sekolah khusus kah? Atau sekolah reguler? Atau kombinasi keduanya, berawal di sekolah khusus sebagai fase persiapan, kemudian melanjutkan ke sekolah reguler. Apakah ia melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi, atau berhenti di kelas XII.
Pihak yang lain adalah lembaga penyedia layanan pendukung pendidikan anak tunanetra; Dalam contoh uraian ini adalah “Yayasan Mitra Netra”. Mitra Netra berperan menyediakan layanan pendukung pendidikan untuk tunanetra, yang tidak dapat disediakan oleh sekolah reguler dan keluarga. Dengan adanya layanan pendukung yang dibutuhkan, yang dapat diakses penyandang tunanetra dengan mudah, akan mendukung proses pemberdayaan para penyandang tunanetra sehingga tumbuh menjadi “manusia yang merdeka”. Sebagai contoh, untuk belajar, siswa tunanetra membutuhkan buku, baik buku pelajaran atau referensi, buku-buku pengayaan, serta buku-buku pengetahuan umum. Buku-buku tersebut disediakan dalam pelbagai format yang dapat diakses tunanetra secara mandiri, baik dalam bentuk buku Braille, buku audio digital dan buku e-pub, sehingga tunanetra dapat “merdeka memilih dan membaca buku yang mereka butuhkan”.
Di Mitra Netra, para penyandang tunanetra pun diajarkan bagaimana menggunakan teknologi komputer, baik untuk mendukung kegiatan belajar sehari-hari, untuk mendapatkan informasi dan bergaul di dunia maya, maupun untuk mendukung kelak saat mereka mulai membangun karir. Dengan memiliki ketrampilan menggunakan teknologi komputer, para penyandang tunanetra menjadi “manusia yang merdeka” dalam memasuki “era digital”.
Melalui layanan pendampingan pendidikan, anak-anak tunanetra diberikan wawasan serta pengetahuan sehingga mereka dapat “merdeka” menentukan pilihan bidang studi yang akan ditempuh saat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Melalui layanan bimbingan karir, baik dalam bentuk konseling maupun pelatihan, generasi muda tunanetra dibantu agar dapat menyusun rencana masa depan sesuai dengan minat dan kemampuan mereka, sesuai dengan kelebihan dan kekurangan yang mereka miliki; Dengan demikian, para tunanetra akan tumbuh menjadi “manusia yang merdeka” dalam memilih dan membangun karir masa depan mereka. Pada saat bersamaan, Mitra Netra pun terus mengembangkan ide-ide “diversifikasi peluang kerja untuk tunanetra; Hal ini dilakukan agar para tunanetra memiliki lebih banyak pilihan dalam membangun karir masa depan.
Informasi tentang potensi dan kemampuan penyandang tunanetra sebagai sumber daya manusia serta dukungan apa saja yang perlu disediakan oleh lingkungan pun disediakan secara rutin dan luas kepada publik; Dengan demikian diharapkan saat para tunanetra berkiprah dan berinteraksi dengan masyarakat, lingkungan di mana tunanetra berada secara bertahap memahami bagaimana harus memberikan dukungan pada para penyandang tunanetra tersebut.
Kegiatan penelitian dan pengembangan pun terus berkelanjutan, baik penelitian berbasis teknologi maupun yang tidak berbasis teknologi, dengan satu tujuan, mengembangkan dan menyediakan fasilitas pendukung yang komprehensif guna mendukung pemberdayaan tunanetra “menjadi manusia yang merdeka”.
Bagaimana dengan peran pemerintah?
Peran Pemerintah sebagai penyelenggara negara baik di tingkat pusat maupun daerah hingga desa tentu sangat penting guna membangun sistem dukungan kebijakan dan anggaran, sehingga warga negara penyandang disabilitas termasuk penyandang tunanetra dapat berdaya menjadi manusia “yang merdeka”. Dukungan tersebut wajib dibangun secara berkelanjutan, tidak hanya berbasis projek yang insidental, sehingga dampaknya dapat dirasakan oleh masyarakat penyandang disabilitas secara luas dari generasi ke generasi. Pemerintah perlu menyadari dan memahami bahwa isu disabilitas bukan lagi hanya “isu sosial yang berbasis karitatif”; Isu disabilitas kini telah menjadi “isu pembangunan” di semua aspek kehidupan dan berbasiskan hak asasi manusia. Olehkarenanya seluruh sektor pemerintahan baik di tingkat pusat, tingkat daerah hingga desa memiliki tanggung jawab sesuai tugas dan fungsi masing-masing dalam pemberdayaan penyandang disabilitas.
75 tahun sudah Indonesia merdeka. Namun, perjalanan para penyandang tunanetra untuk tumbuh menjadi “manusia yang merdeka” masih panjang. Baru sekelompok kecil saja yang telah menikmati kemewahan menjadi “manusia yang merdeka”; Sebagian besar sisanya “masih terbelenggu”; Terbelenggu dengan stigma bahwa di perguruan tinggi tunanetra hanya dapat belajar “pendidikan khusus untuk menjadi guru di sekolah khusus”; Terbelenggu bahwa tunanetra tidak dapat belajar matematika karena matematika adalah pelajaran yang visual; Terbelenggu dengan pemikiran bahwa tunanetra hanya dapat bekerja sebagai pemijat; Terbelenggu tidak dapat mengakses layanan keuangan karena dianggap tidak cakap hukum untuk melakukan transaksi; Dan masih banyak belenggu-belenggu yang lain, yang hingga kini sebagian besar tunanetra yang “belum merdeka” itu belum dapat melepaskan diri.
Meski jumlahnya baru sebagian kecil, diharapkan para penyandang tunanetra yang telah menjadi “manusia yang merdeka” dapat menginspirasi dan berperan sebagai “motor penggerak perubahan”, sehingga secara bertahap akan ada lebih banyak penyandang tunanetra menjadi “manusia yang merdeka”.
*Aria Indrawati.