Namanya Fauzi Mohamad Haidi, biasa dipanggil Fauzi. Ia sudah jadi tunanetra sejak lahir. Saat ini Fauzi bersekolah di SDN 02 Jakarta Selatan, tak lama lagi ia naik ke kelas lima. Sekurang-kurangnya dua kali seminggu Fauzi datang ke Mitra Netra, pusat sumber yang menyediakan layanan pendukung pendidikan bagi tunanetra yang sedang menempuh studi di sekolah umum dan perguruan tinggi.
Di Mitra Netra, saat ini Fauzi belajar abacus untuk menumbuhkan mental aritmatikanya serta belajar komputer. Kemampuannya menggunakan komputer tak kalah dengan tunanetra lain yang telah lebih dewasa; word, internet, excel. Beberapa kali kudapati ia asik di depan komputer di lantai dua kantor Mitra Netra, sedang serius mengerjakan tugas-tugas dari instruktur komputernya. Di rumah, orang tua Fauzi juga memfasilitasinya dengan laptop, fauzi memanfaatkannya untuk mengerjakan tugas-tugas dari guru; bahasa Indonesia, IPS, matematika dan lain-lain. Fauzi juga mulai pandai memainkan keyboard. Dalam beberapa acara di sekolahnya, ia acap kali ditugasi mengiringi teman-temannya menyanyi.
Tapi, berapa banyak anak tunanetra seperti Fauzi? Memiliki orang tua yang secara ekonomi memadai serta mengerti bahwa anak tunanetra juga harus mendapatkan pendidikan yang baik agar kelak bisa memiliki masa depan yang cerah. Ia juga tinggal di Jakarta, di mana ada institusi seperti Mitra Netra, yang secara intensif memberikan dukungan untuk pendidikannya.
Kita sering mendengar publikasi dilakukan untuk program “wajib belajar sembilan tahun” yang dicanangkan Pemerintah. Tapi, sudahkah “wajib belajar sembilan tahun” ini menyentuh anak-anak tunanetra? Jika ya, 200 sekolah luar biasa (SLB) untuk anak-anak tunanetra di Indonesia tidak akan cukup lagi menampung mereka. Atau, kita jumpai lebih banyak anak-anak tunanetra belajar di sekolah umum seperti Fauzi. Jika anak-anak tunanetra belajar di sekolah umum, berarti seharusnya ada lebih banyak lembaga seperti Mitra Netra di Indonesia, yang menyediakan layanan dan fasilitas khusus yang mereka butuhkan. Berarti pula, Pemerintah menyediakan lebih banyak buku-buku pelajaran dalam huruf Braille, agar siswa tunanetra juga membaca buku seperti teman-teman mereka lainnya saat belajar di kelas.
Beberapa fakta justru terjadi sebaliknya. Ada saja sekolah yang menolak menerima siswa tunanetra. Alas an yang diberikan antara lain sekolah belum siap, tidak punya fasilitas khusus, atau karena sekolah tersebut adalah “sekolah unggulan” atau “sekolah dengan standar nasional”. Sekolah-sekolah semacam ini berpendapat, kehadiran murid tunanetra dapat menurunkan “pamor mereka”.
Aku juga mengalaminya sendiri sekian tahun lalu saat mendaftar ke sebuah SMA unggulan di Semarang – SMA Negeri I. Orang tuaku memilihkan sekolah itu untukku karena lokasinya hanya kurang lebih 50 meter dari rumah, jadi aku bisa berangkat dan pulang sekolah sendiri tanpa harus diantar dan dijemput. Tapi, meski nilai yang kumiliki sesungguhnya memenuhi standar sekolah tersebut, Sang Kepala Sekolah awalnya bersikeras menolak, dengan alas an sekolah sedang melakukan pembenahan, dan kehadiran murid tunanetra sepertiku akan mengganggu proses pembenahan itu. Dibutuhkan usaha yang sangat keras kala itu, hingga akhirnya Kepala Sekolah menyetujui dan menerimaku; itu terjadi hanya satu hari sebelum sekolah mulai.
Sekian tahun kemudian setelah aku menjadi dewasa, aku masih saja menjumpai kejadian serupa.
Selain penolakan, fasilitas khusus yang dibutuhkan anak tunanetra pun masih sangat terbatas. Buku, yang merupakan pilar utama pendidikan, masih merupakan “barang mewah” bagi tunanetra di Indonesia.
Statistik memang persoalan besar di negeri ini. Tapi, kita dapat menjadikan hasil survey yang dilakukan Departemen Kesehatan di delapan propinsi tahun 1996 lalu sebagai acuan. Hasil survey itu mengatakan bahwa angka kebutaan di Indonesia adalah satu setengah persen dari jumlah penduduk, –berarti lebih dari tiga juta; Angka yang tidak sedikit. Kita juga tidak tahu persis, dari jumlah itu, berapa persen yang masuk kategori usia sekolah; mungkin 30% — berarti lebih dari satu juta, atau bahkan lebih.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) tahun 2000, tercatat jumlah anak tunanetra usia sekolah yang bersekolah hanyalah 0,87%. Jadi, selebihnya di mana? Tinggal saja di rumah tak memiliki akses ke pendidikan. Dan, sampai hari ini, belum pernah kudengar ada usaha-usaha secara sistematis yang dilakukan Pemerintah baik pusat maupun daerah untuk membawa lebih banyak anak tunanetra duduk dan belajar di kelas.
Jika memang “program wajib belajar sembilan tahun” ini berlaku untuk semua anak di Indonesia – termasuk anak-anak tunanetra, perlu ada usaha yang sungguh-sungguh, sistematis dan dengan target capaian yang jelas serta dibarengi monitoring dan evaluasi, agar “wajib belajar sembilan tahun” ini juga menyentuh anak-anak tunanetra.
Anak tunanetra memang butuh fasilitas khusus. Ini juga berarti membutuhkan biaya yang lebih dibanding anak-anak yang tidak tunanetra. contohnya, untuk membuat satu buku pelajaran dalam huruf Braille, kita membutuhkan biaya tiga sampai empat kali lipat biaya pembuatan buku biasa. Ini karena buku Braille membutuhkan kertas lebih tebal (minimal 120 gram), dan huruf Braille juga berukuran lebih besar. Untuk belajar komputer misalnya, anak tunanetra membutuhkan fasilitas tambahan berupa perangkat lunak pembaca layar. Semua fasilitas itu memang harus dipenuhi, agar anak-anak tunanetra memiliki kesempatan belajar yang sama dengan teman-teman mereka yang tidak tunanetra.
Saat aku mendengar bahwa Pemerintah menaikkan anggaran pendidikan hingga mencapai 20% dari keseluruhan APBN, sekilas aku gembira. Tapi, kemudian aku bertanya, apakah anggaran itu juga akan membawa kebaikan untuk anak-anak tunanetra? *Aria Indrawati
Yang menjadi pertanyaan juga, apakah lingkungan pendidikan kita siap untuk menerima kehadiran para tunanetra?