Setelah vakum selama 6 tahun, akhirnya tahun ini Mitra Netra kembali menggelar Mitra Netra English Contest pada bulan November mendatang. Saat pendaftaran kompetisi bahasa inggris yang diperuntukkan khusus bagi Tunanetra tersebut mulai dibuka, banyak Sahabat Tunanetra antusias untuk menjadi kontestan. Tentu saja, para peserta memiliki motivasi masing-masing untuk mengikuti lomba ini. Mulai dari menguji kemampuan bahasa inggris, meningkatkan kepercayaan diri, mendapatkan hadiah atau sekedar untuk memeriahkan acara.
Di balik semua tujuan tersebut, aku jadi bertanya-tanya, sebenarnya seberapa penting menguasai bahasa asing bagi Sahabat Tunanetra? Seperti apa kaitannya penguasaan Bahasa Inggris dengan berbagai tantangan dan kompetisi sesungguhnya yang akan dihadapi oleh Sahabat Tunanetra di tengah masyarakat? Penasaran, lantas kuputuskan untuk berbincang dengan dua senior sekaligus sahabat akrabku di Mitra Netra, yakni Irma Hikmayanti dan Cheta Nilawaty.
“Itu karena aku waktu kecil ingin punya sahabat pena (surat menyurat) orang bule hahaha…”. Tawa renyah Miss Irma, panggilan akrab Instruktur English Club Mitra Netra itu terdengar lewat ponselku. Suatu siang di hari Sabtu, aku sengaja menghubungi ppenggagas sekaligus pelaksana English Contest itu untuk berbincang ringan. Saat kutanya apa motivasinya belajar Bahasa Inggris, ia pun mengawali ceritanya.
Dengan sisa-sisa tawa, Irma lanjut bercerita. Sejak kecil dia memiliki kecintaan pada bahasa inggris dan selalu ingin mempelajarinya. Irma mengikuti kursus bahasa inggris sejak usianya masih sekolah dasar hingga di bangku kuliah. Bahkan lulusan hukum Universitas Padjajaran ini merasa les bahasa inggris menjadi waktu yang dinantikan saat didera kejenuhan mempelajari undang-undang di kampus. Berawal dari kecintaannya tersebut, kini Irma telah menjadi instruktur bahasa inggris yang berpengalaman bagi Sahabat Tunanetra maupun orang non-tunanetra.
Baca juga: Tunanetra Unjuk Kemampuan Berbahasa Inggris dalam Mitra Netra English Contest 2013
Kegemaran Irma mempelajari Bahasa Inggris bukan sekadar menjadi tambahan kompetensi baginya, tetapi juga mengantar sulung dari dua bersaudara itu untuk memiliki berbagai pengalaman tak terlupakan. Irma pernah menjadi salah satu utusan Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia) untuk menghadiri sebuah pertemuan di Bangkok dan berjumpa dengan delegasi dari 100 negara lebih. Selain itu, Irma juga pernah berhasil mendapatkan pelatihan singkat ke Australia selama 40 hari bersama beberapa Sahabat Tunanetra lainnya. Irma percaya, jika dirinya tidak memiliki kemampuan bahasa inggris, dia mungkin tak akan berada di titik kehidupannya sekarang. Bisa memiliki pekerjaan yang disukainya, menjadi penerjemah, pergi keluar negeri serta berbagi ilmu kepada Sahabat Tunanetra lainnya.
Semakin penasaran dengan pengalaman seru yang diceritakan Irma, aku pun melontarkan pertanyaan berikutnya, tentang seberapa penting sebenarnya penguasaan Bahasa Inggris oleh Sahabat Tunanetra. Menurut Irma, bahasa adalah tools atau alat berkomunikasi, dan karena tunanetra sangat sering berkomunikasi secara verbal, maka menguasai bahasa asing itu amat sangat penting.
“Banyak kok contoh nyata teman-teman tunanetra yang karena kemampuannya menguasai bahasa inggris atau bahasa asing lainnya, membuat orang lain memandang mereka tidak dengan disabilitasnya atau ketunanetraannya, melainkan dari kemampuannya itu”, tutur alumni program magister University of Saint Thomas, Houston , Amerika Serikat ini.
Irma menambahkan, ketika seorang tunanetra menguasai bahasa asing , maka akan banyak kesempatan yang terbuka bagi mereka, sehingga bukan sekadar menjadi “jago kandang” di negaranya. Irma juga menyebutkan jika tunanetra menguasai bahasa asing, maka bahasa tersebut dapat mendukung bidang lain yang menjadi keahliannya. “Contohnya, ada seorang tunanetra yang awalnya bekerja sebagai operator telepon atau jasa telemarketing dapat diangkat menjadi admin atau sekretaris ketika mampu menguasai bahasa inggris dengan baik. Ada juga seorang tunanetra yang jago di bidang teknologi, dapat dikirim ke luar negeri untuk menjadi pengajar. Banyak juga Sahabat tunanetra yang pada akhirnya memiliki kesempatan untuk meraih beasiswa di luar negeri atau mengikuti pelatihan singkat di Austrailia,” jelas Irma, bersemangat.
Baca juga: Dari Matematika Hingga Bahasa Inggris: Layanan Pendampingan Belajar Tunanetra di Mitra Netra
Penjelasan Irma itu membawa ingatanku melayang pada Sahabat Tunanetra lainnya. Cheta Nilawaty, salah seorang tunanetra yang telah terpilih sebagai salah satu penerima beasiswa Australia Awards Scholarship dan akan memulai petualangan barunya di Australia tahun 2020 mendatang. Jurnalis di salah satu media terkemuka di Indonesia ini membuktikan, bahwa kemampuan Bahasa Inggris yang dimilikinya yang pada akhirnya mengantarkan dia mewujudkan cita-citanya untuk melanjutkan pendidikan S2 di negeri Kanguru.
Bagi perempuan kelahiran Agustus 1982 ini, belajar bahasa asing merupakan hal yang sukar dan bukan subjek favoritnya. Meskipun bekerja sebagai jurnalis yang berurusan dengan tulis menulis dan menerjemahkan berita berbahasa inggris, Cheta tetap saja tidak berniat untuk menguasai bahasa inggris. Untuk menerjemahkan berbagai berita dengan bahasa asing, cheta biasanya dibantu dengan aplikasi Google Translate. Hingga pada suatu masa, Cheta diutus untuk pergi belajar ke negeri ginseng, Korea Selatan.
Cheta bercerita, ketika dia pergi ke Korea Selatan, bahasa inggrisnya sungguh payah dan sama sekali tidak bisa bahasa korea. “Saat bertemu dengan banyak orang dari negara asing, aku terpaksa menggunakan bahasa inggris patah-patah dan membawa kamus tebal kakekku kemana-mana,” katanya sambal tertawa.
Beberapa waktu berselang sejak kembali dari Korea Selatan, daya pengelihatan Cheta tiba-tiba saja menurun hingga menjadi tunanetra. Saat itulah, ia mulai menyadari betapa pentingnya penguasaan Bahasa Inggris untuk menunjang karirnya sebagai jurnalis. Perempuan yang juga lulusan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran ini, merasa perlu meningkatkan tingkat pendidikannya menjadi S2 untuk menunjang produktifitas pekerjaannya sejak menjadi penyandang tunanetra. untuk itu, mustahil jika Cheta tidak memiliki sertifikat TOEFL atau IELTS yang biasanya menjadi salah satu syarat berkuliah di luar negeri yang selalu dicita-citakannya.
“dan ternyata aku baru menyadari kalau di Jakarta ini, tunanetra sulit mendapatkan lembaga yang mengadakan tes TOEFL atau IELTS. Kalau pun ada, harus menggunakan braille atau large print (tulisan yang dicetak dengan ukuran huruf besar), sementara aku nggak bisa tes dengan cara itu karena aku tunanetra di usia dewasa” , ujar Cheta melanjutkan ceritanya.
Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Barangkali, pepatah inilah yang menjadi semangat bagi Cheta untuk menemukan jalan mewujudkan cita-citanya. Kesungguhan Cheta untuk memperdalam kemampuan Bahasa Inggris tak padam hanya karena kesulitan teknis yang dihadapinya. Setelah menggali informasi dari berbagai sumber, akhirnya Cheta menemukan sebuah lembaga pelatihan bahasa inggris bernama IALF (Indonesia Australia Language Fondation) yang berlokasi di Bali.
Dengan sabar Cheta menjelaskan kepadaku tentang seluk beluk IALF dan program ELTA yang dijalaninya. IALF memiliki program bernama ELTA (English Language Training Assistant) yang diperuntukkan pemerintah Australia khusus bagi penyandang tunanetra dan masyarakat Indonesia Timur untuk belajar bahasa inggris. Saat aku bertanya pada Mbak Cheta, sapaanku padanya, tentang tahapan apa saja yang dilalui dari kursus di ELTA hingga kini dia dapat meraih beasiswa kuliah di negeri kanguru, dia menyahut dengan tawanya, “wah panjaaaaang tahapannya haha… bisa dibilang lebih dari setahun “,.
Ada sangat banyak tahapan yang harus dilewatinya untuk lolos sebagai salah satu peserta program ELTA hingga menjadi penerima beasiswa Australia Awards Scholarship. Proses demi proses harus Cheta lewati, mulai dari mengisi formulir pendaftaran, menjalani tes seleksi, hingga mengikuti program ELTA selama 3 bulan di Bali. Pasca mengikuti program pelatihan, maka perjuangan Cheta merebut beasiswa pun dimulai. Bersama beberapa Sahabat Tunanetra lainnya, Cheta mengikuti ujian untuk mendapatkan skor IELTS yang menjadi standar pendaftaran program beasiswa Australia Awards Scholarship. Sepulang dari Bali, Cheta masih harus berkutat dengan formulir, esai dan wawancara yang dikerjakan di tengah-tengah menjalankan tugas sebagai jurnalis.
Hasil memang tak pernah mengkhianati usaha. Perjuangan Cheta pun akhirnya berbuah manis. Cheta telah dinyatakan lulus dan mendapatkan beasiswa kuliah di australia tahun depan. Sebagai persiapan keberangkatannya ke Australia Agustus 2020, Cheta diwajibkan mengikuti program PDT (Pre-Departure Training) selama 4,5 bulan di IALF Bali akhir tahun 2019 ini. “benar-benar bersuyukur, meskipun rasanya masih harus berjuang di Aussie sana dan banyak belajar bahasa inggris, masih jauh kemampuanku dibanding teman-teman tunanetra lain seperti mbak Irma”, canda Cheta.
Dari cerita kedua sahabatku ini, ada pesan yang mereka sampaikan untuk semua Sahabat Tunanetra yang ingin belajar bahasa asing. Sebelum benar-benar belajar bahasa asing, sahabat tunanetra harus memperkuat fondasi dengan menguasai bahasa indonesia dengan baik dan benar terlebih dahulu. “Karena pada dasarnya setiap bahasa memiliki pola yang sama, sehingga dengan menguasai bahasa indonesia dengan baik, maka konsep mempelajari bahasa asing pun akan lebih mudah dipahami”, pesan Irma sungguh-sungguh.
Senada dengan Irma, Cheta mengungkapkan persetujuannya tentang pentingnya menjaga dan bangga menggunakan bahasa indonesia sebagai generasi penerus bangsa. Cheta menjelaskan bahwa belajar bahasa apapun pada dasarnya sama, seperti dapat dilihat dari sebuah susunan kalimat yang mengandung subyek predikat dan obyek. Bersama itu, Cheta kemudian menyampaikan harapannya.”Semoga di masa-masa yang akan datang kesempatan, lembaga, fasilitas dan media pendukung pembelajaran bahasa bagi Sahabat Tunanetra akan semakin banyak dan terbuka”, pungkas Cheta.
Irma dan Cheta adalah teladan yang nyata bahwa seorang tunanetra sesungguhnya mampu berkompetisi di tengah masyarakat yang inklusif. Mereka adalah sosok tunanetra yang terus menggali potensi dan meningkatkan kemampuannya, sehingga orang lain tidak memandang mereka sebagai individu yang memiliki disabilitas, melainkan kemampuan dan keahlian yang dikuasainya.
**Juwita Maulida