Jumat sore itu saya meninggalkan sebuah hotel berbintang lima di kawasan Sudirman Jakarta selatan, setelah empat hari mengikuti pelatiahn judicial review yang diselenggarakan Jimly School of Law And Government JSLG bekerja sama dengan Australia Indonesia Partnership For Access to Justice AIPJ. Seperti biasa, saya pulang ke rumah menggunakan taksi. Dan salah satu kebiasaaan saya adalah menggunakan jasa taksi berlebel “burung biru”.
Namun, kali ini tak seperti biasa, saya mengalami kejadian yang tak menyenangkan dengan taksi ini. Setelah petugas hotel membantu menyimpan traveling bag saya di bagasi, ia membukakan pintu untuk saya. Dan, seusai mengucapkan terima kasih pada petugas hotel, saya masuk ke taksi, duduk lalu melipat tongkat saya, sambil mengatakan bahwa saya mau diantar ke jalan Pertanian Raya Lebak Bulus Jakarta Selatan.
Namun, saya sangat terkejut mendengar jawaban pak supir taksi. Dengan tegas ia bilang: “waduh, bu, saya ngga tahu jalannya”. Tentu saja saya keheranan, karena biasanya, jika supir taksi merasa tidak tahu atau ia sedang pura-pura tidak tahu, ia akan bilang bahwa ia tidak tahu jalannya, dan meminta saya memberikan arahan. Tapi, supir taksi yang ini hanya bilang kalau dia tidak tahu jalannya, bahkan mengatakannya hingga dua kali, dan saya merasakan ada keengganan di nada suaranya untuk mengantar saya.
Saya segera menangkap pesan di balik kata-kata dan sikapnya itu. Ia tak mau mengantar saya karena saya tunanetra. “OK, tak apa, saya ganti taksi yang lain”, jawab saya. “Ya, sebaiknya begitu Bu”, tuturnya kembali pada saya.
Sebagai orang yang selama 12 tahun membangun komunikasi publik guna menyajikan informasi yang benar tentang tunanetra, membangun persepsi masyarakat yang tepat tentang tunanetra, sikap supir taksi tersebut telah memberitahu saya, bahwa, saya masih harus lebih banyak bicara pada publik. Lebih banyak memberi informasi. Lebih banyak mengajak. Lebih banyak memberikan pemahaman dan penyadaran.
Bagaimana cara mengajak para supir taksi dan angkutan umum lain agar mereka tidak menolak mengantar atau membawa tunanetra dan penyandang disabilitas lainnya? Tentu harus melalui perusahaan dengan siapa mereka bekerja. Penyadaran ini telah diupayakan kepada perusahaan penerbangan, saat mereka menolak mengangkut tunanetra yang terbang sendiri, dan mengharuskan tunanetra dan penyandang disabilitas lain menandatangani pernyataan yang berisi jika terjadi hal-hal tidak diingingkan, perusahaan penerbangan tidak mau menanggung kerugian yang ditanggung penumpang penyandang disabilitas. Meski penyadaran pada pimpinan perusahaan telah dilakukan, namun persoalan – sikap yang kurang benar – masih saja terjadi di lapangan.
Apa yang dipikirkan oleh pak supir taksi itu sehingga ia enggan mengantar saya pulang? Mungkin ia takut kalau saya tak bisa menunjukkan jalan ke rumah saya sendiri? Atau, ia khawatir saya tak akan membayarnya? Atau, ia menganut keyakinan jika membawa tunanetra atau orang dengan disabilitas ia akan mendapatkan kesialan? Atau, ia takut tertular menjadi tunanetra seperti saya?
Apa pun alasannya, hal ini tak boleh dibiarkan. Saya belum pernah mendengar ada penumpang yang tidak menyandang disabilitas ditolak oleh supir taksi. Kalaulah supir taksi menolak, biasanya disebabkan jarak yang terlalu dekat.
Perjalanan memang masih panjang. Tak cukup satu generasi untuk menyelesaikan tantangan yang dihadapi penyandang disabilitas Indonesia. *Aria Indrawati