Setelah berhasil mengawal proses penandatanganan serta pengesahan konvensi PBB tentang hak penyandang disabilitas “United Nation Convention On The Rights of Persons With Disability (UN CRPD), masyarakat penyandang disabilitas di Indonesia melalui organisasi disabilitas tingkat nasional mengajukan draft rancangan undang-undang disabilitas baru ke DPR. Undang-undang baru ini akan menggantikan Undang-Undang nomor 4 tahun 1997 tentang “penyandang cacat”, yang sudah tidak sesuai lagi dengan semangat serta amanah Undang-Undang nomor 19 tahun 2011 tentang pengesahan UN CRPD.
Diawali dengan proses lobi ke fraksi-fraksi yang ada di DPR, Badan Legislasi Nasional (Balegnas), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) serta Sekjen DPR. Proses lobi ini memakan waktu lebih dari enam bulan, akhirnya pada bulan Desember tahun 2013 Undang-Undang Disabilitas detetapkan masuk ke program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2014, dengan nomor urut 57. Untuk memproses RUU disabilitas ini, beberapa organisasi penyandang disabilitas membentuk sebuah kelompok kerja, yang beranggotakan wakil-wakil dari organisasi disabilitas seperti Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni), Panitia Pemilihan Umum Akses Penyandang Disabilitas (PPUA), serta persatuan Jiwa Sehat (PJS). Disamping itu, kelompok kerja ini juga dilengkapi dengan representasi dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
Tugas kelompok kerja ini adalah menulis naskah rancangan undang-undang (RUU) disabilitas, yang akan disampaikan ke Balegnas dan Sekjen DPR RI. Dalam proses penulisan naskah RUU, kelompok kerja juga mengadakan proses sosialisasiRUU, dengan mengadakan empat kali pertemuan yang dihadiri oleh wakil organisasi disabilitas serta pemerhati masalah disabilitas dari berbagai daerah di Indonesia. Pertemuan pertama diadakan pada awal bulan Maret 2014 di Jakarta; Pertemuan kedua diselenggarakan pada pertengahan bulan Maret di Jakarta; Pertemuan ketiga dilaksanakan akhir bulan April di Jogjakarta; dan pertemuan keempat kembali diadakan di Jakarta pada tanggal 6-8 Mei 2014. Tujuan pertemuan-pertemuan tersebut adalah untuk menghimpun masukan dari berbagai kalangan untuk melengkapi naskah RUU disabilitas yang disusun oleh Kelompok Kerja.
Komunitas penyandang disabilitas Indonesia mengharapkan naskah RUU disabilitas akan mulai dibahas pada persidangan DPR yang akan dimulai pada tanggal 12 Mei, paska masa reses panjang pemilu legislatif lalu, dan disahkan pada akhir periode DPR RI masa bakti 2009-2014.
Undang-Undang Disabilitas merupakan sebuah kodifikasi hukum yang mengatur penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak warga negara penyandang disabilitas di semua aspek kehidupan. Olehkarenanya, komunitas penyandang disabilitas mengharapkan pembahasan dilakukan oleh sebuah “panitia khusus (Pansus)” yang dibentuk melalui sidang pleno DPR. Pansus beranggotakan wakil dari seluruh komisi yang ada di DPR. Usulan ini telah disampaikan kepada pimpinan fraksi serta wakil dari fraksi yang menemui saat Kelompok Kerja RUU disabilitas beraudiensi. Ketua MPR juga telah menyanggupi untuk menyanpaikan hal ini secara tertulis kepada Ketua DPR.
Setelah PBB melahirkan UN CRPD, dan konvensi ini telah ditandatangani dan diratifikasi oleh hampir seluruh anggota PBB,saat ini dunia mulai menerapkan paradigma pembangunan baru, yaitu “disability inclusive development”, yaitu paradigma yang memasukkan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam seluruh kegiatan pembangunan, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun sektor swasta.
Bagi Indonesia, Undang-Undang disabilitas yang baru akan menjadi “landasan hukum” bagi diterapkannya paradigma “disability inclusive development” di negeri ini.
WHO mencatat jumlah penyandang disabilitas di dunia terus meningkat. Salah satu “kontributor” meningkatnya jumlah penyandang disabilitas adalah pertumbuhan jumlah warga lanjut usia.
UN CRPD mengajak masyarakat dunia memaknai disabilitas sebagai bagian dari keberagaman manusia dan kemanusiaan, sama seperti perbedaan ras, agama, warna kulit, bentuk rambut, dan sebagainya. Yang perlu lebih dimengerti adalah perbedaan karena disabilitas berdampak pada munculnya kebutuhan khusus bagi orang yang menyandangnya. Menjadi tugas seluruh elemen bangsa dan negara, baik pemerintah maupun sektor swasta yang menyediakan layanan publik di semua aspek kehidupan untuk memenuhi kebutuhan khusus tersebut.
Hal penting yang diharapkan akan membawa perubahan berarti pada penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas di Indonesia adalah amanah untuk lahirnya Komisi Nasional Disabilitas Indonesia (KNDI). Lembaga ini diperlukan mengingat kurang efektifnya peran Komnas HAM dalam upaya pembelaan terhadap pelanggaran hak asasi dan perlakuan diskriminasi yang dialami penyandang disabilitas selama ini. Hal ini juga diakui oleh Pihak Komnas HAM. Ketidak efektifan tersebut terjadi karena luasnya bidang garapan Komnas HAM. Sebagai lembaga negara yang independen, KNDI akan memiliki fungsi yang sangat komprehensif. Mulai dari memonitor pemenuhan hak penyandang disabilitas, menerima pengaduan atas terjadinya pelanggaran hak asasi dan perlakuan diskriminasi, menindaklanjuti pengaduan tersebubt ke lembaga pemerintah terkait, hingga melakukan pengkajian guna pengembangan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pemenuhan hak penyandang disabilitas di semua aspek kehidupan. Hal baru lain yang juga diatur dalam Undang-Undang Disabilitas baru ini adalah adanya “kartu” identitas yang menyatakan bahwa seseorang menyandang disabilitas. Dengan memiliki kartu ini, seorang penyandang disabilitas berhak mendapatkan “konsesi atau potongan biaya” di beberapa bidang dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya transportasi, rekreasi, dan lain-lain. Adanya kartu tanda disabilitas ini juga sekaligus menjadi mekanisme pendataan jumlah penyandang disabilitas yang lebih akurat. Akurasi jumlah penyandang disabilitas diharapkan akan berdampak pada alokasi jumlah anggaran yang lebih proporsional guna pemenuhan hak mereka di semua aspek kehidupan.
Keberadaan penyandang disabilitas merupakan bagian tak terpisahkan dari seluruh warga negara Indonesia. Kini saatnya Indonesia memasuki era “human right based” dalam penanganan masalah penyandang disabilitas. Tingkat peradaban suatu negara antara lain dapat diukur dari bagaimana masyarakat dan pemerintah negara tersebut memperlakukan para penyandang disabilitas.
Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut, Silakan hubungi anggota Kelompok Kerja RUU Disabilitas:
– Aria Indrawati: 081511478478
– Yenny Rosa Damayanti: 081282967011
– Tigor Hutapea: 081287296684