I. DASAR PEMIKIRAN

Akses ke lapangan kerja bagi tunanetra di Indonesia hingga kini masih terbatas. Hal ini antara lain disebabkan: .

  1. Masyarakat dan pemerintah sebagai pemberi/penyedia lapangan kerja belum memahami kemampuan dan bagaimana tunanetra bekerja;
  2. Tunanetra masih menghadapi persoalan dengan dirinya sendiri dan pemahaman yang masih terbatas tentang pilihan karir dan pekerjaan.
  3. Pendidikan dan ketrampilan yang dimiliki sebagian besar tunanetra belum atau tidak sesuai dengan ketersediaan pilihan pekerjaan yang ada.

Menjadi tunanetra tidak selalu sejak lahir. Sebagian orang menjadi tunanetra pada usia remaja atau dewasa; pada saat sedang menempuh pendidikan atau saat sudah bekerja. Persoalan yang dihadapi mereka yang menjadi tunanetra sejak lahir berbeda dengan mereka yang menjadi tunanetra di usia dewasa. Demikian pula dengan mereka yang menjadi tunanetra saat sedang menempuh studi berbeda dengan yang sudah bekerja; yang menjadi tunanetra saat belum menikah berbeda dengan yang menjadi tunanetra setelah menikah. Ini berarti, pada saat-saat tertentu, intervensi yang harus dilakukan antara kelompok satu dengan yang lainnya pun berbeda.

Sebagian tunanetra memiliki kemampuan untuk menyiapkan diri terjun ke masyarakat. Pada kelompok ini, mereka secara pro aktif dan bertahap membekali dan melengkapi dirinya dengan pelbagai ketrampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk berkarya di masyarakat. Namun, ada sebagian lain tunanetra yang kurang atau bahkan tidak pro aktif. Kelompok ini biasanya cenderung menunggu peluang, atau menunggu bantuan.

Sebagai lembaga pengembang dan penyedia layanan pendukung pendidikan bagi tunanetra, Mitra Netra bangga, karena apa yang telah dilakukan selama ini telah berdampak. Secara perlahan jumlah tunanetra yang menyelesaikan pendidikan tinggi terus bertambah. Bahkan, mereka yang menjadi tunanetra di usia remaja dan sempat putus sekolah pun dapat dibantu kembali bersekolah dan melanjutkan ke perguruan tinggi hingga selesai menjadi sarjana.

Tantangan berikutnya adalah menyiapkan dan mengupayakan agar semua tunanetra yang telah menyelesaikan pendidikan dapat berkarya di masyarakat. Beberapa langkah yang telah Mitra Netra lakukan dan akan terus dikembangkan adalah:

  1. Mengupayakan diversifikasi atau penganekaragaman peluang kerja bagi tunanetra, termasuk peluang kerja yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Selama berdekade-dekade, masyarakat dan pemerintah memahami tunanetra hanya dapat bekerja menjadi pemijat, bidang pekerjaan yang hanya menggunakan indera perabaan. Pemahaman ini akhirnya menjadi stigma bagi tunanetra; stigma yang menyakitkan. Dengan meningkatnya kualitas pendidikan tunanetra, mereka mulai memasuki bidang pendidikan dengan menjadi guru atau dosen di perguruan tinggi. Fakta menunjukkan bahwa minat tunanetra dalam menempuh studi sebenarnya beragam sama seperti mereka yang bukan tunanetra. Ini berarti, bidang pekerjaan yang seharusnya dapat dilakukan tunanetra juga beragam. Mempertimbangkan itu, sejak tahun 1994 Mitra Netra merintis dan mengembangkan program diversifikasi peluang kerja bagi tunanetra. Mulai dari bidang yang sederhana, yaitu operator telepon, – pekerjaan yang cenderung rutin, hingga kini terus mengupayakan peluang kerja yang memanfaatkan teknologi komputer.
  2. Menyiapkan tunanetra bekerja, dengan membekali dengan ketrampilan, baik hard skill maupun soft skill. Hard skill di antaranya adalah mendorong mereka menempuh pendidikan setinggi mungkin sesuai minat masing-masing, memiliki ketrampilan kemandirian dalam bermobilitas, serta memiliki ketrampilan menggunakan teknologi komputer / teknologi informasi dan komunikasi. Sedangkan soft skill baik meliputi ketrampilan inter personal maupun intra personal.
  3. Melaksanakan kegiatan sosialisasi, promosi dan penempatan tunanetra bekerja. Bidang yang telah dicapai adalah operator telepon, instruktur kursus komputer, konselor, custummer service di hotel, tele marketing di bank, dan masih akan ada peluang-peluang lain yang akan dikembangkan.

Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, Mitra Netra menangani lebih banyak mereka yang menjadi tunanetra di usia dewasa. Di samping itu, ada juga kelompok yang menjadi tunanetra sejak lahir, namun, belum mendapatkan pendidikan atau belum mendapatkan pembinaan dari Mitra Netra. Setelah atau sambil mereka mengikuti serangkaian pelatihan hard skill, Mitra Netra juga memandang perlu untuk memberikan bekal “soft skill” agar setelah menyelesaikan seluruh pelatihan di Mitra Netra, mereka siap berkarya di masyarakat.

Mempertimbangkan hal tersebut, pada akhir bulan Maret 2016, Mitra Netra telah menyelenggarakan “pre employment soft skill training” bagi mereka yang menjadi tunanetra di usia remaja dan dewasa, serta mereka yang menjadi tunanetra sejak lahir yang baru menempuh pendidikan kesetaraan setelah dewasa.

II. TUJUAN

Tujuan penyelenggaraan pre employment soft skill training ini adalah:

  1. Memberikan pengetahuan dan ketrampilan intra personal yang meliputi:
    * Memahami diri sendiri, identifikasi kekuatan dan kelemahan dan bagaimana memaksimalkan kekuatan serta meminimalkan kelemahan;
    * Menentukan tujuan, termasuk tujuan dan pilihan karir yang tepat, yang sesuai dengan kekuatan pribadi yang dimiliki;
    * Menyusun rencana tindakan untuk mencapai tujuan;
    * Mengelola waktu yang efektif dan efisien dalam rangka mencapai tujuan;
  2. Memberikan bekal pengetahuan dan ketrampilan inter personal, meliputi:
    * Menyiapkan diri untuk memasuki peluang kerja, baik formal maupun berwirausaha;
    * Ketrampilan berkomunikasi secara verbal dan non verbal;
    * Asertifitas; kemampuan menyatakan pendapat dan pikiran dengan cara yang baik;
    * Simulasi wawancara.

III. URAIAN KEGIATAN

A. Waktu dan Tempat.
Pelatihan dilaksanakan pada tanggal 28-31 Maret 2016, bertempat di Wisma Tani, jl Margasatwa Raya, Jakarta Selatan. Mengingat kemampuan mobilitas peserta yang masih dalam proses kemandirian, demi memudahkan peserta mengikuti seluruh kegiatan pelatihan, seluruh peserta dan trainer serta fasilitator menginap di tempat pelatihan.

B. Peserta.
Kriteria peserta yang menjadi target pelatihan ini adalah:

  1. Mereka yang menjadi tunanetra di usia dewasa, baik saat kuliah, setelah kuliah, maupun setelah bekerja;
  2. Mereka yang menjadi tunanetra sejak lahir namun belum mendapatkan pendidikan formal, dan sedang menempuh pendidikan kesetaraan;
  3. Kedua kelompok sebagaimana disebutkan pada nomor 1 dan 2 Yang sedang mengikuti pelatihan kemandirian dan pengembangan diri di Yayasan Mitra Netra.

Adapun prosedur perikrutan peserta adalah sebagai berikut:

  1. Bagian tenaga kerja Yayasan Mitra Netra menyampaikan pengumuman akan adanya pre employment soft skill training kepada tunanetra yang sedang belajar di Mitra Netra;
  2. Tunanetra calon peserta pelatihan menyampaikan permohonan kepada Kabag Humas & Naker dengan menggunakan template yang sudah ditetapkan;
  3. Kabag Naker melakukan seleksi untuk memilih peserta yang memenuhi kriteria sebagaimana diuraikan di atas.

Dari proses perikrutan, ada 12 orang tunanetra mendaftar, dan terpilih 10 orang. Namun, saat pelaksanaan pelatihan, satu orang mengundurkan diri, karena sedang ujian tengah semester.

C. Materi Pelatihan.
Materi yang terkait pengetahuan dan ketrampilan intra personil, meliputi:

  1. Memahami diri sendiri, identifikasi kekuatan dan kelemahan dan bagaimana memaksimalkan kekuatan serta meminimalkan kelemahan;
  2. Menentukan tujuan, termasuk tujuan dan pilihan karir yang tepat, yang sesuai dengan kekuatan pribadi yang dimiliki;
  3. Menyusun rencana tindakan untuk mencapai tujuan;
  4. Mengelola waktu yang efektif dan efisien dalam rangka mencapai tujuan;

Materi yang terkait pengetahuan dan ketrampilan inter personal, meliputi:

  1. Menyiapkan diri untuk memasuki peluang kerja, baik formal maupun berwirausaha;
  2. Ketrampilan berkomunikasi secara verbal dan non verbal;
  3. Asertifitas; kemampuan menyatakan pendapat dan pikiran dengan cara yang baik;
  4. Menyiapkan diri mengikuti wawancara dan Simulasi wawancara.

D. Metode Pelatihan.

  1. Belajar mandiri,
    Peserta diminta membaca dan mempelajari materi yang disiapkan oleh trainer.
  2. Ceramah dan diskusi:
    Trainer menjelaskan hal-hal penting yang perlu diperhatikan, dan memberikan kesempatan pada peserta untuk bertanya dan berpendapat.
  3. Tugas kelompok dan diskusi kelompok;
    Peserta dibagi dalam kelompok untuk mengerjakan tugas-tugas tertentu, mendiskusikannya, dan menunjuk juru bicara kelompok untuk mempresentasikan dalam diskusi kelompok besar.
  4. Simulasi dan permainan;
    Agar materi yang disampaikan dapat dipahami dengan lebih maksimal, materi juga disampaikan dalam bentuk simulasi dan permainan yang mencerminkan atau merefleksikan materi yang sedang dibahas. Misalnya,
    * untuk mempratikkan asertifitas, dilakukan permainan dalam bentuk “debat” tentang topik-topik menarik;
    * Untuk memahami bagaimana situasi wawancara kerja, dilakukan “simulasi wawancara”, dll.

IV. HASIL DAN DAMPAK
Hasil yang dicapai dari pelatihan pre employment soft skill ini adalah: Peserta memahami pentingnya memiliki ketrampilan intra personal dan inter personal, sebagai bekal untuk menyiapkan diri bekerja, menuju kemandirian sebagai sumber daya manusia.

Sedangkan dampak dari pelatihan pre employment soft skill ini adalah:

  1. Peserta memiliki kemampuan memilih, di bidang mana mereka akan berkarir, yaitu bidang pekerjaan sektor formal atau berwirausaha;
  2. Peserta lebih siap mengikuti pelatihan-pelatihan inter personal yang lebih detail, terutama komunikasi, orientasi kerja, magang kerja, dll.

V. CERITA DARI PESERTA

Apriyana Firdaus
Ia menjadi tunanetra saat dewasa awal, kala itu ia telah bekerja di sebuth perusahaan produsen ice cream. Saat ini, Firdaus mengikuti beberapa pelatihan di Mitra Netra, yaitu kursus komputer, bahasa Inggris, Bahasa Jerman dan pelatihan orientasi & mobilitas. Firdaus sangat antusias saat mengetahui ada pelatihan yang mengajarkan persiapan bekerja. Keinginan besarnya adalah dapat kembali bekerja sesuai kondisi tunanetranya, dan mencapai kemandirian finansial. Firdaus lebih memilih menjadi wirausahawan.

Citra Wiridina Putri
Citra adalah peserta pelatihan yang sangat aktif, baik berinteraksi dengan para trainer maupun dengan sesama peserta. Dalam beberapa permainan, Citra cukup taktis dalam menyusun strategi untuk mencapai tujuan yang ditugaskan pada para peserta. Citra juga sering mewakili kelompoknya dalam mempresentasikan hasil diskusi kelompok. Salah satu kelemahannya adalah “Citra berbicara terlalu cepat”. Pelatihan ini, khususnya materi komunikasi verbal, telah mengajarkan padanya bagaimana berkomunikasi dengan baik dan menarik. Ia sadar, ketrampilan ini sangat penting untuk kemajuan dirinya, yang memilih menjadi wirausahawan.

Desha Novanto
Desha memiliki latarbelakang pendidikan diploma 3 bahasa Inggris. Ia menjadi tunanetra di awal memasuki usia dewasa. Selama bertahun-tahun ia tinggal saja di rumah. Sejak tahun 2015 Desha bergabung di Mitra Netra, mengikuti beberapa pelatihan. Orientasi & mobilitas, Bahasa Inggris, Bahasa Jerman dan komputer. Di usiana yang telah mencapai 30, Desha ingin sekali segera bekerja dan mandiri. Pelatihan pre employment soft skill telah membantu Desha lebih memahami, apa yang harus ia persiapkan untuk bekerja. Setelah mengikuti pelatihan, Desha menyatakan bahwa, ia tidak lagi ragu-ragu mengatakan bahwa dirinya seorang tunanetra. Saat pelatihan dilaksanakan, sebenarnya kondisi kesehatannya sedang kurang baik. Ia mengalami tipus, dan dokter meminta ia beristirahat saja di rumah selama beberapa hari. Namun, karena semangatnya yang begitu besar untuk mengikuti pelatihan, Desha tetap hadir. Dan sungguh menggembirakan, kesehatannya justru membaik, dan Desha dapat mengikuti pelatihan dengan maksimal. Saat ditanya ingin berkarir di bidang apa, Desha menyampaikan ingin belajar menjadi “custummer service atau bekerja di bidang marketing”.

Hermanto
Pria asal Kalimantan Barat ini menjadi tunanetra sejak lahir. Namun, hingga usianya menjelang 30 tahun, ia belum pernah bersekolah. Dua tahun lalu ia datang ke Mitra Netra, dan Mitra Neta membantunya mengikuti pendidikan kesetaraan. Saat ini Hermanto telah menyelesaikan Kejar Paket A, pendidikan kesetaraan tingkat SD, dan hermanto terus menempuh jenjang yang lebih tinggi, yaitu paket B. Di Mitra Netra, Hermanto aktif mengikuti kursus komputer, Bahasa Inggris dan Bahasa Jerman. Ia juga senang membaca buku, olehkarenanya Hermanto aktif berkunjung ke perpustakaan Mitra Netra, meminjam dan membaca buku. Meski Hermanto kurang berpendidikan, tapi kemampuan berpikirnya terbilang baik. Dalam pelbagai diskusi saat pelatihan, Hermanto dapat menyampaikan pendapat dengan sangat lancar. Pelatihan pre employment soft skill ini telah menuntun Hermanto, bagaimana menyiapkan masa depan dengan lebih baik, dan lebih cepat, mengingat ia sudah tertinggal di aspek pendidikan.

Laelly Muminah
Lelly mengalami gangguan penglihatan sejak kecil. Kondisi ini makin menurun saat ia menempuh pendidikan tinggi di sekolah tinggi ilmu ekonomi. Saat penurunan penglihatan yang dialami dirasakannya lebih drastis, Leilly sempat masuk ke panti rehabilitasi tunanetra yang dikelola oleh dinas sosial pemda DKI Jakarta. Namun, di panti tersebut, Leilly tidak mendapatkan yang ia perlukan. Leilly ingin belajar komputer, dan tak ada seorang pun staf di panti rehabilitasi itu yang mampu mengajarkan komputer untuk tunanetra. Salah satu staff panti yang mengenal Mitra Netra kemudian merujuk Leilly ke Mitra Netra. Di Mitra Netra Leilly belajar komputer, Bahasa Inggris dan Bahasa Jerman. Saat pertama kali berkonsultasi dengan Mitra Netra, Leilly telah menyampaikan keinginannya untuk bekerja. Olehkarenanya, ia sangat antusias saat Mitra Netra mengumumkan akan mengadakan pelatihan pre employment soft skill. Kemampuan Leilly memang masih sangat terbatas. Namun, pelatihan ini telah membimbing dia menemukan dirinya sendiri. Leilly ingin mencoba bekerja sebagai operator telepon.

Muhammad Ridho
Ridho menjadi tunanetra sejak kecil. Namun masih minim pembinaan dari lembaga pemberdayaan tunanetra. Saat datang ke Mitra Netra 3 tahun lalu, Mitra Netra mendampingi Ridho mengikuti pendidikan kesetaraan kejar paket C — setara SMA, dan Ridho berahsil lulus. Selama ini, Mitra Netra mengamati, Ridho kurang diperlakukan dengan tepat oleh keluarganya. Ia tidak diberi banyak kesempatan mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Oleh keluarganya, Ridho diberi pemahaman bahwa tunanetra adalah orang yang memiliki keterbatasan, itu saja. Dari cara Ridho berkomunikasi menunjukkan bahwa Ridho sosok yang sangat tidak percaya diri. Saat Bicara, suaranya sangat pelan. Saat mendengar akan ada pelatihan persiapan bekerja, Ridho mendaftarkan diri. Memang belum banyak kemajuan yang dicapai. Namun, untuk seorang Ridho, itu sudah luar biasa. Ia mampu memimpin kelompoknya dalam sebuah simulasi permainan “strategi mencapai tujuan”, dan kelompok Ridho berhasil mencapai tujuan dalam waktu tersingkat. Setelah menyelesaikan pelatihan, Ridho tampak lebih ceria dan lebih percaya diri. Ia tahu bahwa masih ada banyak hal yang harus ia pelajari.

Lia menjadi tunanetra saat SMA. Saat ini ia masih punya sisa penglihatan. Sejak mengalami penurunan penglihatan seusai SMA, Lia tinggal saja di rumah. Lia menjadi lebih sensitif, mudah tersinggung dan mudah marah. Sejak mengenal Mitra Netra, Lia merasa menemukan keluarga baru. Lia tidak lagi merasa sendiri. Di Mitra Netra, saat ini Lia belajar komputer dan Bahasa Inggris. Selama beberapa tahun terakhir, Lia mencoba belajar memiliki usaha sendiri. Mulai dari menjual barang-barang, hingga menjual pulsa. Kondisi emosinya yang cendrung sensitif ia rasakan cukup mengganggu. Setelah mengikuti pelatihan, Lia makin menyadari bahwa ia harus segera memperbaiki diri. Di samping melanjutkan belajar berwirausaha, Lia juga ingin mencoba bekerja di sektor formal. Olehkarenanya, Lia ingin terus mengikuti pelatihan persiapan bekerja tahap berikutnya.

Karina Handoko
Karina menjadi tunanetra di usia dewasa. Setelah menyelesaikan pendidikan tinggi, Karina sempat bekerja di sebuah hotel di Jakarta sebagai kasir. Mengalami kebutaan merupakan pukulan baginya. Di samping kehilangan penglihatan, Karina juga mengalami gangguan dengan telinga kanannya. Semangat hidupnya bangkit kembali setelah mengenal Mitra Netra. Di lembaga ini, Karina belajar banyak hal. Orientasi & mobilitas, Musik, komputer, bahasa Inggris dan bahasa Jerman. Karina juga suka teater, dan bergabung dalam sebuah kelompok teater. Keinginannya untuk kembali bekerja sangat kuat. Itu ia tunjukkan dengan sangat jelas saat mengikuti pre employment soft skill training. Sikapnya sangat terbuka pada para trainer, bertanya dan berkonsultasi. Karina ingin kembali bekerja, dan mencapai kemandirian finansial.

Meirlinastasari Dewi
Merlin adalah perempuan tunanetra yang sudah menetapkan keinginannya untuk berwirausaha. Ia pandai membuat accessory, seperti gelang, kalung, perhiasan jilbab, dan sebagainya. Di Mitra Netra, Merlin mengikuti pelatihan bahasa Inggris, cooking class, musik dan belajar membaca Al Qur’an Braille. Merlin agak pemalu. Dan itu tampak saat ia harus menyampaikan pendapat, atau saat presentasi, atau saat simulasi wawancara. Kondisi itu yang terutama direkomendasikan oleh trainer kepadanya untuk diperbaiki. Dan Merlin menyadari itu. Bagaimanapun, niatnya untuk berwirausaha dan menjadi wirausahawan yang berhasil membutuhkan keberanian dan kepercayaan diri.

VI. LANGKAH TINDAK LANJUT
Mengingat peserta pre employment soft skill training pada bulan Maret lalu adalah tunanetra yang sedang menjalani proses pelatihan kemandirian di Mitra Netra, setelah pelatihan, masih diperlukan langkah tindak lanjut. Kepada ex peserta pelatihan, khususnya yang berminat bekerja di sektor formal, akan diberikan pelatihan tambahan, di antaranya:

  1. CV writing; bagaimana menulis CV yang menarik;
  2. Telephone communication; bagaimana berkomunikasi di telepon dengan baik;
  3. Presentation skill; bagaimana melakukan presentasi dengan baik.

Untuk beberapa peserta, juga masih diperlukan konseling secara individu, baik konseling terkait mengatasi dampak ketunanetraan maupun konseling bimbingan karir.

Leave Comment