Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga jam dari Jakarta, akhirnya rombongan kami tiba di Banten Rafting Ciberang. Bagi kami tiga jam itu terasa lama sekali. Tak sabar rasanya, ingin segera mendengarkan suara arus sungai, merasakan sejuknya air sungai, serta mencium aroma segar dedaunan.
Menjalani kegiatan di alam terbuka bagi tunanetra hingga kini merupakan hal yang masih sangat jarang dilakukan. Ini dikarenakan tunanetra membutuhkan pendamping- yaitu mereka yang tidak tunanetra – yang bersedia mendampingi mereka saat melakukan kegiatan di alam terbuka. Fungsi pendamping ini tidak hanya sebagai pemandu yang menggandeng tunanetra saat melakukan mobilitas di alam terbuka tersebut. Namun, Mereka juga harus dapat berfungsi sebagai “mata” bagi para tunanetra. Menjelaskan apa saja yang ada di alam terbuka tersebut, sehingga, meski tunanetra tidak dapat atau kurang dapat melihat dengan baik, mereka juga bisa menikmati kegiatan di alam terbuka itu, serta merasakan kegembiraannya.
Menyadari kebutuhan serta pentingnya tunanetra dapat melakukan aktivitas di alam terbuka, Mitra Netra bersama FENCY – Fellowship of Netra Community – telah menyelenggarakan kegiatan “arung jeram bersama tunanetra”. Kegiatan ini dilaksanakan pada hari Sabtu, 6 april lalu, bertempat di Banten Rafting Ciberang, Kampung Muhara, Desa Ciladaeun, Kecamatan Lebak Gedong, Kabupaten Lebak, Banten.
Tiga orang tunanetra turut serta dalam kegiatan ini, Adi Arianto, Melisa dan saya sendiri – Aria Indrawati. Sementara, dari FENCY, ada 13 relawan, yang berasal dari kalangan beragam. /Ada guru, karyawan Bapenas, speech therapist, dan sebagainya. Tak ketinggalan, tiga orang wartawan media on line juga turut dalam rombongan. Mereka ingin mengabadikan kegiatan yang unik ini.
Setelah seluruh peserta mengenakan perlengkapan yang harus dipakai; baju pelampung dan helem, serta masing-masing mendapatkan jatah dayung, – dayung untuk peserta laki-laki lebih berat daripada perempuan -,peserta kemudian dibagi dalam kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari lima atau enam orang. Ketiga tunanetra menyebar di setiap kelompok. Dalam setiap kelompok, ada seorang pemandu, yang akan membantu peserta menjalani kegiatan arung jeram, termasuk memberikan arahan yang diperlukan.
Setiap kelompok kemudian berjalan mengikuti pemandu masing-masing, menuju perahu yang telah disiapkan. Saat para tunanetra memasuki perahu, sang pemandu bersama seorang relawan FENCY membantu. Sang pemandu menjelaskan bagaimana cara mendayung. Mendayung maju, berarti kita menggerakkan dayung ke belakang. Sedangkan mendayung mundur berarti kita menggerakkan dayung ke depan. Jika y berkata “stop”, kita harus meletakkan dayung di atas paha kita. Yang juga perlu diperhatikan adalah aba-aba untuk “geser kiri atau kanan”, ini dilakukan jika perahu dalam kondisi miring ke kiri atau ke kanan. Atau “menunduk”! Berarti kita melewati ranting-ranting.
Menyertai para peserta, ada juga perahu tim resque. Mereka terdiri dari tiga orang.
Setelah seluruh peserta di setiap perahu menyatukan tangan sambil meneriakkan yel yel “yes”!, kami pun mulai mendayung, dan perahu pun mulai bergerak.
“Majuuuuuu”! “satu, dua, tiga, empat, lima, enam”. “Stoooop”!….dan, kami pun meletakkan dayung di atas paha masing-masing…Begitu seterusnya…”munduuuur”!….Satu, dua, tiga…..”Stoooop”!…..”Maju lagiiii”…… Hingga kemudian,……awaaaaaaas…….wwoooooooooo! Jeram pertama menghempas perahu kami…..
Aduuuuuuh, senangnyaaaaa….. Mendayung……dan…… wooooooow…. terhempas jeram….dan…basahlah kami semua….
Tak hanya jeram yang membasahi kami. Kejailan sesama peserta yang berada di perahu lain pun juga tak kalah serunya. Saat mendayung, kami tak hanya membuat perahu bergerak maju dan mundur, namun juga mencipratkan air sungai ke perahu lain yang berdekatan. Bahkan, ada seorang peserta yang tak puas hanya menciprati teman-teman dengan dayung. Ia melepas helemnya, mengisi helm itu dengan air, dan….byuuuur!…..mandilah seluruh rafter yang berada di perahu berwarna kuning, satu di antaranya saya…
Kami mendayung sepanjang dua kilometer. Sepanjang jalur itu, ada tiga kali pemberhentian untuk sekedar beristirahat. Di posko pertama, pemandu meminta kami semua turun. Kami memanfaatkan saat itu untuk merasakan sejuknya air sungai yang bening. Aduuuuh…nikmatnya…bisa duduk di dalam sungai, sambil merasakan arus sungai terus-menerus mendorong kami….
Berarung jeram memang kegiatan yang cukup menantang. Bagi tunanetra yang tak dapat melihat atau kurang dapat melihat dengan baik, pada saat awal merasakan hempasan jeram, ada sedikit rasa takut. Namun, rasa takut itu hanya sebentar sekali. Selanjutnya, yang terasa hanya kebahagiaan dan kegembiraan. Merasakan hempasan jeram. Ada jeram kecil, ada pula yang besar. Suaranya pun terdengar sangat menggairahkan. Sayaaaa mauuu lagiiii……
berada di alam terbuka memang menyenangkan. Meski kadang-kadang harus melewati tempat-tempat yang sedikit berbahaya. Menuruni bebatuan, berjalan di tanah yang miring dan sedikit licin. Di sinilah peran para relawan pendamping. Membantu tunanetra dapat melalui proses itu dengan aman. Seusai berarung jeram kami menuju pemandian air hangat. Berendam di sana beberapa saat. Kegiatan berarung jeram hari itu diakhiri denan makan siang bersama. Sambil makan, kami membicarakan kegiaitan apa lagi yang akan dilakukan bersama. Para layang? Terjun payung? Menikmati keindahan laut, hingga napak tilas Louis Braille ke Prancis.
Fellowship Of Netra Community (FENCY), adalah kelompok relawan sahabat para tunanetra. FENCY didirikan pertengahan tahun 2012 lalu. Tujuan utama pembentukan FENCY adalah menemani tunanetra berwisata dan melakukan kegiatan di alam terbuka. Yang telah dilakukan sebelumnya adalah, jalan-jalan ke musium kota tua, dan menikmati pantai di Ancol.
Tak hanya itu, FENCY juga membantu Mitra Netra dalam kegiatan pengetikan ulang buku untuk diproses menjadi buku Braille. Pada akhir bulan Januari lalu, FENCY bekerja sama dengan Mal Citraland, menyelenggarakan kegiatan pengetikan ulang buku untuk tunanetra (PUBT). Event ini berhasil mengumpulkan 600 relawan, dan mengetik sekurang-kurangnya 200 judul buku, yang selanjutnya akan diproses menjadi buku Braille oleh Yayasan Mitra Netra. FENCY juga berencana melakukan kegiatan penggalangan dana bertajuk “galibu” – gerakan limapuluh ribu. Dana yang terkumpul akan disumbangkan ke Mitra Netra, agar Yayasan ini dapat terus memproduksi dan mendistribusikan buku untuk tunanetra di Indonesia. *Aria Indrawati.