Tanggal 2 Mei datang lagi. Bangsa ini kembali memperingatinya sebagai “hari Pendidikan Nasional (Hardiknas)”. Memang ada yang sedikit berbeda. Hardiknas tahun ini bersamaan dengan ujian nasional tingkat SD. Jadi, nampaknya tidak semua sekolah memperingati dengan melaksanakan upacara bendera.
Pertanyaannya, apakah semua warga Negara penyandang disabilitas menjadi bagian dari peringatan Hardiknas? Menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang disampaikan pada tahun 2016, jumlah anak Penyandang disabilitas yang bersekolah baru 18%. Di mana 82% sisanya? Tinggal saja di Rumah; Tidak bersekolah; Kelak saat mereka dewasa mereka menjadi Penyandang disabilitas yang tidak berdaya, yang senantiasa mengharapkan bantuan social dari pemerintah.
Bagaimana dengan yang 18%, yang menurut data kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah bersekolah; Apakah mereka telah menikmati pendidikan yang berkualitas? Yang dapat mengantarkan mereka kelak menjadi penyandang disabilitas dewasa yang berdaya?
Mari kita simak sedikit fakta yang dapat Penulis himpun dari pengalaman sehari-hari melayani tunanetra. Fakta tersebut semuanya terjadi di kota besar, Jakarta.
Di Jakarta, Ibu Kota Negara kita, Yayasan Mitra Netra yang sejak tahun 1991 memusatkan perhatian pada pelayanan untuk siswa tunanetra dengan disabilitas tunggal, sejak tahun 2010 mulai didatangi oleh orang tua yang memiliki anak tunanetra plus disabilitas lainnya, terutama adalah disabilitas intelektual. Anak-anak tersebubt adalah siswa dari sebuah sekolah luar biasa (SLB) milik Pemerintah propinsi DKI Jakarta, yang sudah lama berdiri, bahkan sebelum Yayasan Mitra Netra didirikan. Para orang tua yang datang ke Mitra Netra tersebut menginginkan anak-anak tunanetra mereka yang juga menyandang disabilitas intelektual, atau gangguan konsentrasi, atau gangguan perilaku, juga mendapatkan pendidikan berkualitas. Mereka tentu merasakan ada yang kurang dengan sekolah di mana anak-anak mereka berada.
Sebagai lembaga penyedia layanan yang hanya memiliki keahlian dalam melayani tunanetra dengan disabilitas tunggal, kehadiran anak-anak tunanetra plus disabilitas lainnya tentu membuat tim lembaga ini harus belajar dari awal bagaimana berinteraksi dan melayani anak-anak tunanetra dengan tantangan tambahan tersebut. Mitra Netra tentu tidak dapat menolak. Kehadiran mereka ke Mitra Netra adalah bukti kongkrit bahwa anak-anak tersebut tidak mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapat dari SLB tempat mereka belajar. Pertanyaannya: Mengapa? Bukankah SLB tersebut adalah sekolah negeri, yang terletak di Jakarta, yang dibiayai dengan anggaran Negara, dll… .dll….? Kalau di Jakarta saja sekolah untuk anak penyandang disabilitas begitu memprihatinkan kualitasnya, bagaimana dengan sekolah di kota-kota kecil di luar Jakarta atau bahkan yang jauh dari Jakarta?
Anak-anak yang menyandang disabilitas ganda atau multi membutuhkan layanan terapi untuk meminimalkan dampak disabilitas yang mereka alami. Untuk mengetahui layanan terapi apa yang diperlukan, perlu ada assessment dari psikolog ahli tumbuh kembang anak. Layanan terapi yang diperlukan pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga, yaitu terapi fisik, terapi okupasi, dan terapi social dan perilaku. Assessment dan Terapi ini harus dilakukan sejak anak usia dini, dilakukan oleh tenaga ahli, dilakukan secara berkesinambungan, sehingga anak-anak yang menyandang disabilitas ganda dan multi tersebut dapat tumbuh dan berkembang secara lebih maksimal.
Pertanyaannya, sudahkah pemerintah memfasilitasi ketersediaan layanan-layanan tersebut? Di masyarakat memang ada, namun, dilakukan oleh Klinik-klinik swasta yang mematok biaya tinggi; Tentu ini tidak dapat dijangkau oleh keluarga dengan kemampuan ekonomi terbatas.
Fakta lainnya; Beberapa Anak-anak tunanetra kategori disabilitas tunggal yang telah lulus dari SLB dan telah diterima di sekolah regular, kembali ke SLB, karena di sekolah regular yang menerima siswa penyandang disabilitas, yang di Indonesia sering disebut dengan “sekolah Inklusi” – ini adalah pelabelan yang keliru -, tidak dilengkapi dengan “guru pembimbing khusus (GPK”, yang bertugas mendampingi guru-guru sekolah regular dalam menangani dan melayani siswa penyandang disabilitas. Kejadian itu pun – sekali lagi – juga di Jakarta.
Pembangunan system pendidikan inklusif di Indonesia memang tidak ke mana-mana. Sejak terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif, yang memberikan banyak mandate kepada pemerintah daerah, di antaranya adalah untuk membentuk pusat sumber yang mendukung layanan pendidikan inklusif dan merikrut guru pembimbing khusus (GPK) sekurang-kurangnya satu GPK untuk tiap sekolah yang menerima siswa Penyandang disabilitas tidak pernah dapat dilaksanakan di daerah. Hal ini karena aturan setingkat peraturan menteri pendidikan tersebut tidak punya daya tekan ke pemerintah daerah. Pemerintah daerah tidak mau tunduk pada Menteri Pendidikan. Pemerintah Daerah tunduk pada Menteri Dalam Negeri. Meski mengetahui hal ini terjadi, tak ada satu langkah afirmatif pun yang dilakukan Kementerian Pendidikan untuk membuat Permendiknas No. 70 tahun 2009 itu dapat dilaksanakan di daerah; Misalnya, dengan melakukan rapat koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri, meminta dukungan untuk Implementasi Permendiknas No. 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif tersebut.
Bahkan, mengetahui jumlah anak Penyandang disabilitas yang bersekolah baru 18% pun Pemerintah tetap tenang dan tidak menganggap itu persoalan serius. Bandingkan dengan Vietnam, yang baru selesai dengan perang yang mengkoyak-koyak negeri itu di tahun 1975 – di saat kita telah merdeka selama 20 tahun. Saat ini bahkan telah dapat melahirkan programmer tunanetra yang diterima bekerja di perusahaan penyedia jasa transportasi dalam jaringan di Asia. Pemerintah Vietnam bersama dengan pemangku peran terkait, termasuk sector masyarakat, melakukan langkah afirmatif mencari anak-anak tunanetra ke seluruh pelosok desa di tahun 2008, dan ahsilnya ribuan anak-anak tunanetra dari seluruh pelosok negeri dibawa ke sekolah. Hal serupa juga dilakukan oleh Pemerintah India di awal tahun 2000. Pemerintah India bahkan bersedia mengalokasikan hadiah uang bagi keluarga miskin yang bersedia membawa anak Penyandang disabilitas mereka ke sekolah.
Sikap Pemerintah Indonesia yang demikian menunjukkan bahwa mereka tidak menganggap warga Negara penyandang disabilitas adalah asset bangsa. Warga Negara Penyandang disabilitas diketahui ada, namun dianggap tidak ada. Saat membangun system pendidikan, Pemerintah tidak sungguh-sungguh memperhitungkan keberadaan siswa Penyandang disabilitas. Hal ini terbukti saat Pemerintah memulai “ujian nasional berbasis computer (UNBK)”. Dengan inisiatif yang dilakukan Mitra Netra, tunanetra di Indonesia telah mengenal penggunaan computer sejak tahun 1991. Dengan Inisiatif Mitra Netra pula, ide pembelajaran computer untuk anak-anak tunanetra disebarluaskan ke daerah-daerah lain di Indonesia; – jadi tidak hanya Jakarta. Namun, saat Kementerian Pendidikan memulai pelaksanaan UNBK, Kementerian Pendidikan tidak memperhitungkan keberadaan siswa tunanetra yang juga telah mampu menggunakan computer dengan bantuan software pembaca layar, yang saat ini bahkan telah berbasis open source. Menurut kesaksian seorang siswa tunanetra dari sebuah SMA Negeri di Jakarta, saat sekolah melakukan uji coba UNBK dan siswa tunanetra tidak dapat melakukannya karena aplikasi yang dikembangkan tidak aksessibel untuk tunanetra yang menggunakan aplikasi pembaca layar, tak ada langkah apa pun yang dilakukan oleh sekolah.
Pembiaran terus dilakukan. Negara tidak pernah hadir dengan sungguh-sungguh untuk anak-anak penyandang disabilitas.
*Aria Indrawati.