Tidak ada seorang pun yang ingin menjadi seorang penyandang tunanetra dalam hidupnya, tak terkecuali Nina. Kehidupan masa kecilnya yang menyenangkan menjadi berubah dalam sekejap karena penyakit bernama glaukoma. Akibat gangguan penglihatannya tersebut Nina harus putus sekolah, mengurung diri tanpa keluar rumah selama 11 tahun dan kehilangan teman-temannya.
Nina mulai merasakan gejala glaukoma pada saat duduk di kelas 4 sekolah dasar. Glaukoma merupakan kerusakan saraf mata yang menyebabkan gangguan penglihatan dan kebutaan. Umumnya kondisi ini disebabkan oleh tingginya tekanan bola mata karena terjadi penumpukan cairan di dalam mata yang lama-kelamaan menekan bola mata. Sakit kepala hebat, pandangan kabur dan pedih ketika melihat cahaya adalah gejala umum glaukoma yang dirasakan Nina waktu itu. Namun, perempuan bernama lengkap Nina Purwaningsih ini, justru mengabaikan gejala-gejala tersebut. Dia mengira itu adalah dampak karena matanya terkena shampo saat keramas.
“Selama dua hari itu, kepala pusing, mata rasanya sepet dan pandangan kabur. Tapi waktu itu mau bilang sama orang tua masih ragu-ragu dan takut” ceritaNina.
Tahun 2003 saat berada di kelas 6 SD, kondisi penglihatan Nina semakin memburuk. Mengeluh tak dapat melihat tulisan di papan tulis, orang tua segera membawa Nina untuk memeriksakan mata di optik. Orang tuanya berasumsi bahwa Nina mengalammi mata minus yang berarti harus memakai kacamata. Awalnya pemakaian kacamata cukup membantu. Akan tetapi, selang setahun, gadis berusia 28 tahun ini kembali mengalami kesulitan saat membaca di papan tulis. Saat diperiksa kembali, penglihatannya mengalami penurunan yang sangat drastis.
“pada saat kelas 6 SD mata kanan minus 1 dan mata kiri minus 4. Tapi setahun kemudian, mata saya jadi minus 4 di mata kanan dan mata kirinya malah jadi minus 10. Perubahannya drastis banget, tapi enggak mikir karena sakit Glaukoma” kenang Nina.
Saat Nina naik kelas 2 SMP, gejala glaukoma dan dampaknya sudah tak terhindarkan lagi. Setiap hari sepulang sekolah Nina mengalami sakit kepala yang tidak bisa hilang dengan minum obat pereda nyeri biasa. Sakit kepala tersebut diikuti dengan nyeri di mata dan pandangan yang semakin kabur. Pernah suatu kali Nina yang tinggal di Tanjung Priok, berjalan kaki ke sekolah dan mendapati suasana jam 7 pagi masih gelap layaknya jam 5 subuh. Selama perjalanan Nina terus menerus menabrak sesuatu seperti, gerobak pedagang kaki lima, orang di jalan, guru di sekolah bahkan tiang pilar gedung sekolahnya. Tentu saja pengalaman tersebut membuat Nina bergegas menyampaikan kepada kedua orang tuanya. Tanpa pikir panjang, Nina dan Orang tuanya segera memeriksakan kondisi penglihatannya ke dokter.
Menurut dokter waktu itu, kondisi mata saya sudah parah karena glaukoma. Reaksi orang tua saat itu sangat terpukul. Bapak, mama dan saya langsung down, sedih dan menangis di rumah sakit” ujar Nina.
setelah divonis glaukoma oleh dokter, perempuan kelahiran Jakarta, 10 Februari 1991 ini segera melakukan tindakan operasi. Alih-alih membaik, kondisi penglihatannya makin parah. Mata kirinya gelap total, sedangkan mata kanannya memiliki 5 persen penglihatan. Hal ini tentu saja membuat Nina terpuruk. Bersamaan dengan itu, Nina harus menghadapi kenyataan tak dapat melanjutkan sekolahnya dan pertengkaran orang tuanya yang saling menyalahkan karena kondisi penglihatannya waktu itu. Kenyataan ini membuat Nina semakin sedih dan depresi, bahkan terbersit pikiran untuk mengakhiri hidupnya.
“ pada saat itu merasa sedih dan kacau. Merasa berbeda dan paling menderita. Sempat menyalahkan Tuhan juga karena keadaanku waktu itu” ungkap Nina.
Selama 6 tahun pasca operasi mata, Nina hanya mengurung diri di rumah. Karena telah berhenti sekolah, Nina pun tak memiliki teman. Jika ada satu dua teman yang menanyakan kabarnya, Nina menjadi lebih cepat tersinggung. Gangguan penglihatannya merubah Nina menjadi sosok yang lebih emosional pada saat itu. Minimnya kegiatan yang dilakukan di rumah pun membuat Nina merasa tidak berguna sebagai manusia. Kegiatan yang dilakukan Nina sehari-hari hanya membantu menyapu rumah, mendengarkan radio atau TV dan berobat. Kejenuhan dan rasa putus asa itulah yang membuat Nina sempat terserang sakit yang cukup parah.
Selang beberapa tahun kemudian, datang kabar dari Taufik, tetangga Nina yang juga mempunyai saudara seorang penyandang tunanetra. adik laki-lakinya yang mengalami ketunanetraan di usia dewasa ketika itu belajar di yayasan bernama Mitra Netra. Taufik menceritakan bahwa di sana adiknya mengikuti banyak kegiatan seperti baca tulis braille, komputer bicara dan orientasi mobilitas. Kabar baik tersebut segera menggugah hati Nina. Dengan berbagai usaha untuk meyakinkan orang tuanya, Nina akhirnya mendapatkan izin untuk berkunjung bersama adik perempuannya ke mitra Netra di tahun 2016. Di awal kunjungannya ke Mitra Netra, Nina merasa kagum serta terheran-heran. Dia tidak pernah membayangkan ada sebuah tempat di mana banyak sekali tunanetra seperti dirinya. Merasa senasib dan tidak sendiri, Nina kemudian mulai bersemangat berkegiatan sebagai klien aktif Mitra Netra.
“Awal datang ke Mitra, kaget, ternyata banyak teman senasib seperti saya. Jadi merasa punya banyak teman di sini” ucap Nina sambil tertawa.
Nina yang menyukai musik mulai mencoba kursus gitar dan bergabung dengan english club. Nina juga mengikuti konseling, belajar orientasi mobilitas, teater Mitra Netra serta mengikuti ujian kesetaraan paket B. Mengunjungi perpustakaan untuk meminjam buku atau novel juga telah menjadi hobi barunya. Semangat untuk belajar dan memiliki banyak teman di Mitra netra membuat Nina merasa kembali hidup dan bermakna.
Namun perjalanan hidup memang tak selalu mulus. 6 bulan pertama mengikuti program rehabilitasi di Mitra Netra, Nina harus menghadapi kendala yang cukup menantang. Tempat tinggal Nina di kawasan Jakarta Utara memerlukan biaya yang cukup besar untuk pergi ke Mitra Netra yang berlokasi di Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Setiap kali harus pergi belajar ke Mitra Netra, Nina harus mengeluarkan biaya sedikitnya Rp 200.000. tidak hanya itu, Nina juga sempat hampir berhenti untuk mengikuti kejar paket B yang biaya pendaftarannya dirasakan cukup berat bagi kondisi ekonomi keluarga Nina saat itu.
“Waktu itu paket B juga sempat hampir berhenti, karena terbentur biaya yang besar. Jadi kendalanya di situ, ongkos jalannya besar, biaya pendaftaran paket B juga lumayan mahal” ujar Nina.
Tak hilang akal, Nina beriniasiatif untuk berjualan kue hasil buatan adiknya di lingkup teman-teman Mitra Netra. Selain untuk menambah ongkos, Nina juga akhirnya dapat mencicil uang pendaftaran ujian kesetaraan paket B. Dengan banyak dukungan dari teman-temannya serta Mitra Netra, kini Nina dapat terus datang ke Mitra Netra untuk belajar komputer bicara dan melanjutkan usaha kecilnya berjualan kue.
“karena banyak dukungan dari beberapa pihak dan salah satunya Mitra Netra, akhirnya paket B-nya tetap berjalan” kata Nina senang.
Kini Nina berharap dapat lulus ujian kesetaraan paket C dan melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Jurusan pendidikan bahasa inggris menjadi minatnya agar kelak dia dapat menjadi guru bahasa inggris. Di samping itu, Nina juga ingin mendalami teater untuk meningkatkan kepercayaan dirinya dan belajar komputer bicara untuk skil mencari kerja serta mengembangkan usahanya. Nina menyatakan kesungguhannya untuk banyak menimba ilmu di Mitra Netra, agar kelak dirinya dapat membuka kesempatan bekerja di masa yang akan datang.
Dengan harapan itulah, Nina juga berharap agar Mitra Netra juga dapat terus menyediakan serta mengembangkan layanannya bagi tunanetra. di samping itu, Nina juga berharap Mitra Netra dapat menginformasikan kepada khalayak luas, baik untuk tunanetra maupun non-tunanetra, sehingga muncul pemahaman yang benar tentang tunanetra serta membuka banyak kesempatan belajar dan bekerja bagi tunanetra.*
Juwita Maulida