Siapa itu Mitra Netra?

Yayasan Mitra Netra adalah organisasi nirlaba yang memusatkan programnya pada upaya meningkatkan kualitas dan partisipasi tunanetra di bidang pendidikan dan lapangan kerja. Didirikan di Jakarta tanggal 14 Mei 1991, dan berstatus sebagai badan hukum dengan terdaftar pada Tambahan Berita Negara tanggal 14/12 tahun 2001 nomor 100.

Yayasan ini didirikan oleh beberapa orang tunanetra yang berhasil menyelesaikan studinya di perguruan tinggi bersama-sama dengan sahabat-sahabat mereka yang bukan tunanetra;mmereka adalah beberapa dari sangat sedikit orang yang memprihatinkan minimnya layanan dan fasilitas pendukung bagi tunanetra yang sedang menempuh pendidikan di sekolah umum dan perguruan tinggi.

Mitra Netra berarti sahabat tunanetra; sahabat yang senantiasa mendampingi tunanetra dalam upaya mereka menempuh pendidikan setinggi mungkin melalui penyediaan layanan khusus yang diperlukan, serta sahabat yang senantiasa mengupayakan agar tunanetra dapat berfungsi di masyarakat sesuai dengan minat dan kemampuan mereka masing-masing.

Mitra Netra juga bermakna kerja sama antara tunanetra dengan mereka yang bukan tunanetra. Hal ini tercermin dalam struktur organisasi Yayasan ini; hampir di setiap organ organisasi, senantiasa terdiri dari unsur tunanetra dan mereka yang bukan tunanetra. Mengapa demikian? Mitra Netra berprinsip bahwa, yang paling memahami masalah dan kebutuhan para tunanetra adalah tunanetra itu sendiri. Akan tetapi, untuk mengatasi masalah serta memenuhi kebutuhan tersebut, tunanetra tidak dapat melakukannya sendirian; tunanetra harus bermitra dengan mereka yang tidak tunanetra.

Semangat kemitraan ini tidak hanya berlangsung di dalam institusi Mitra Netra saja, tetapi juga diaktualisasikan pada kiprah Yayasan ini di masyarakat. Dalam menyelenggarakan dan mengembangkan layanan untuk tunanetra, Mitra Netra senantiasa bekerja sama dengan lembaga atau organisasi lain baik pemerintah maupun swasta, dengan maksud untuk membangun sinergi.

Siapa pendiri Mitra Netra?

Di bawah ini adalah cerita singkat tentang sebagian dari mereka yang telah berjasa mendirikan Yayasan Mitra Netra; ada tunanetra, ada pula orang-orang yang bukan tunanetra, yang memiliki perhatian pada minimnya fasilitas dan layanan untuk tunanetra yang sedang menempuh pendidikan di sekolah umum dan perguruan tinggi.

Lukman Nazir,

Lukman, pria berdarah sunda ini menjadi tunanetra saat berusia 40 tahun karena glaukoma (meningginya tekanan cairan bola mata), merasakan betapa sulitnya menjadi orang yang baru saja mengalami kebutaan tanpa dukungan layanan serta fasilitas yang memadai.

Sebagai pria dewasa yang telah merasakan bekerja dan mencapai puncak karir sebagai direktur di sebuah perusahaan swasta di Jakarta, Pak Lukman, begitu ia biasa dipanggil, bingung dan tidak tau pekerjaan apa yang bisa ia lakukan setelah menjadi orang buta. Sebagaimana kebanyakan orang, yang ia tahu saat itu adalah tunanetra hanya bisa menjadi pemijat, tapi ia tidak mau menjalani pekerjaan itu karena itu bukan minatnya.

“Pasti ada bidang pekerjaan lain yang bisa dilakukan tunanetra, atau bahkan akan lebih produktif jika dilakukan oleh tunanetra”, begitu yang sering ia katakan, yang mendorong Mitra Netra, selain memberikan layanan di bidang pendidikan, juga merintis program diversifikasi (penganekaragaman) peluang kerja untuk tunanetra.

Bambang Basuki

Bambang Menjadi tunanetra saat usia remaja karena glaukoma, dan telah menghabiskan lima tahun tanpa melakukan apapun, “hanya menunggu mati”, begitu kataanya.

Semangatnya mulai bangkit saat Bambang, yang memutuskan mengubah nama panggilannya setelah ia menjadi buta – semula ia dipanggil Basuki –, bertemu dengan Joni Watimena, seorang tunanetra yang menjadi guru di sekolah luar biasa untuk tunanetra.

Muncullah keinginan untuk berguna bagi anak-anak tunanetra, ia memutuskan menjadi guru di sekolah luar biasa untuk tunanetra. Bambang lalu mendaftarkan diri ke IKIP Jakarta – sekarang Universitas Negeri Jakarta, dan memilih jurusan pendidikan bahasa Inggris. Sudah bisa dipastikan kesulitan yang ia hadapi saat itu, tanpa dukungan dari lembaga penyedia layanan seperti Mitra Netra.

Dari pengalaman pribadi menjalani masa studi di perguruan tinggi yang sangat “menekan” itulah maka Bambang turut mendorong pendirian Yayasan Mitra Netra di tahun 1991, dan sejak tahun 2001 diminta menduduki jabatan Direktur Eksekutif hingga sekarang.

Nampaknya, pengalaman sulit di masa awal menjadi tunanetra serta di saat menempuh studi di jurusan Bahasa Inggris IKIP Jakarta telah memberikan inspirasi serta energi bagi Bambang, yang secara bertahap terus mengembangkan ide-ide kreatifnya hingga menjadikan Mitra Netra seperti saat ini; satu-satunya lembaga yang menyediakan dan mengembangkan layanan untuk tunanetra secara komprehensif, dan menjadikan Yayasan yang dilahirkannya berfungsi sebagai “lokomotif” pendorong kemajuan tunanetra di negeri ini.

Nicoline N. Sulaiman.

Perempuan berdarah asli belanda ini ibarat “Ibu” bagi Yayasan Mitra Netra. Hatinya tersentuh ketika ada seorang perempuan tunanetra yang datang kepadanya dan ingin belajar bahasa Belanda. Saat itu pula, Nicoline yang biasa dipanggil “Ibu Nina”, yang adalah guru besar di Universitas Nasional bidang Bahasa Inggris, terkesan karena ada tunanetra di Indonesia yang berhasil menyelesaikan studi di perguruan tinggi.

Ia lalu berpikir, seharusnya ada lebih banyak tunanetra yang bisa berpendidikan tinggi. Untuk mewujudkan keadaan ini, tentu harus ada lembaga yang memberikan layanan pendukung untuk mereka. Dan, Yayasan Mitra Netra adalah wujudnya.

Sayang sekali, Tuhan tidak mengijinkan Ibu yang telah mendedikasikan sebagian harinya untuk para tunanetra ini mendampingi Mitra Netra saat Yayasan ini tumbuh pesat. Di tahun 1993 – hanya dua tahun setelah Mitra Netra dilahirkannya –, sang Maha Pencipta memanggilnya, meninggalkan rasa kehilangan yang amat sangat pada orang-orang yang telah bersamanya melahirkan Mitra Netra, serta para tunanetra yang dilayani oleh Mitra Netra. Demi cintanya pada Mitra Netra, sebelum ia berpulang, Nicoline telah memberikan amanah pada suami tercintanya, Sulaiman M. Sumitakusuma untuk melanjutkan perjuangan yang baru ia rintis di Mitra Netra. Dan, sepeninggal Nicoline, Sulaiman kemudian melanjutkan tugas-tugas Nicoline menjadi penasehat Yayasan Mitra Netra.

Mimi Mariani Lusli

Mimi menjadi tunanetra pada usia 10 tahun. Dan Mimi pulalah yang telah mengilhami Nicoline Sulaiman untuk mendirikan Yayasan Mitra Netra; dialah tunanetra yang datang pada Nicoline dan ingin belajar bahasa Belanda.

Seperti halnya Bambang Basuki, pengalamannya selama menjalani pendidikan tanpa dukungan fasilitas dan layanan yang dibutuhkan telah mengilhaminya serta memberinya energi untuk bekerja bersama-sama Mitra Netra, menyediakan dan mengembangkan layanan pendukung pendidikan bagi tunanetra.

Karena kesibukannya di masyarakat, sejak tahun 2001 Mimi tidak lagi aktif di Yayasan yang didirikannya ini. Setelah menyelesaikan masternya di Inggris, di tahun 2007 Mimi bergabung dengan Helen Keller Internasional/Indonesia (HKI/Indonesia) – sebuah organisasi asal Amerika yang mempromosikan upaya-upaya pencegahan kebutaan di dunia termasuk Indonesia, dan, sejak enam tahun terakhir, organisasi ini juga kembali aktif mempromosikan pendidikan inklusif untuk anak-anak tunanetra, setelah sebelumnya di tahun 80an mereka merintis pendidikan terpadu. Di lembaga ini, Mimi aktif mempromosikan sistem pendidikan inklusi untuk murid-murid berkebutuhan khusus termasuk murid tunanetra.

Sidarta Ilyas

Pak Prof, begitu ia biasa di panggil di Mitra Netra, adalah dokter spesialis ahli mata. Tapi, tidak seperti rekan sejawatnya, ia memiliki kepedulian lebih pada para pasien yang secara medis tidak lagi bisa disembuhkan – artinya mengalami gangguan penglihatan permanen. Bambang dan Mimi adalah pasiennya. Dan, karena kepeduliannya itu, saat Mimi dan Nicoline mengajaknya mendirikan Mitra Netra, ia menyambut gembira. Ia berpendapat bahwa orang-orang yang memiliki gangguan penglihatan permanen, baik buta total maupun lemah penglihatan masih dapat menjalani kehidupan yang berkualitas. Diperlukan bantuan khusus pada mereka untuk membuat para tunanetra menjadi mandiri dan berfungsi di masyarakat.

Dokter mata yang juga guru besar di Fakultas Kedokteran universitas Indonesia ini mengaku sangat bangga pada Mitra Netra. “Ibarat bola, saya selalu merasa Mitra Netra menggelinding lebih cepat dari yang saya bayangkan.” Kata-kata ini senantiasa disampaikannya saat ia berbicara dengan masyarakat maupun ketika bertatap muka dengan segenap jajaran personil di Mitra Netra.

Mengapa harus ada Mitra Netra?

Jauh sebelum Mitra Netra berdiri, secara sendiri-sendiri sejumlah kecil tunanetra di Indonesia telah berupaya menempuh pendidikan di sekolah umum dan perguruan tinggi. Dari jumlah yang sedikit itu, sebagian kecil di antaranya berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi; hal ini biasanya karena tunanetra tersebut mendapatkan dukungan penuh dari keluarga yang secara ekonomi mampu, atau, yang bersangkutan memiliki daya juang yang luar biasa. Ini terjadi karena, tanpa dukungan fasilitas yang dibutuhkan, menempuh pendidikan, bahkan hingga jenjang pendidikan tinggi, bagi tunanetra membutuhkan usaha dan biaya yang melebihi usaha dan biaya yang dibutuhkan oleh mereka yang tidak tunanetra. Saat memerlukan buku dan tidak ada lembaga yang menyediakannya, maka tunanetra harus mengupayakan buku itu sendiri. Saat mengerjakan ujian, tunanetra butuh seseorang yang membacakan soal serta menuliskan jawaban.

Tapi, berapa banyak tunanetra yang termasuk dalam dua golongan tersebut? Sangat sedikit! Selebihnya, berasal dari keluarga dengan tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah, atau, hanya memiliki daya juang yang biasa-biasa saja, sama seperti mereka yang bukan tunanetra.

Di tahun 80an, Pemerintah Indonesia, melalui kerja sama dengan HKI/Indonesia telah merintis model “layanan pendidikan terpadu” bagi siswa tunanetra; melalui program ini, siswa tunanetra dimungkinkan atau diberi kesempatan belajar di sekolah umum dengan dampingan “guru pembimbing khusus”, asalkan mereka bisa menyesuaikan diri dengan kurikulum serta metode pengajaran yang ada di sekolah umum.

Program rintisan yang diselenggarakan di beberapa kota besar di pulau jawa ini “dianggap berhasil”. Akan tetapi, setelah dukungan dana dari donor yang membiayainya berhenti, yang sebenarnya mereka mengharapkan Pemerintah melalui Departemen Pendidikan mengambil alih tanggungjawab tersebut, — dan ternyata hal ini tidak terjadi –, program rintisan berikut sistem pendukung yang telah dibangun tidak berfungsi sebagaimana mestinya, dan akhirnya “punah” ditelan waktu. Dampaknya, siswa-siswa tunanetra yang menempuh pendidikan di sekolah umum kembali diabaikan dan harus berjuang sendiri. Ketiadaan layanan dan sarana khusus yang tepat bagi tunanetra di bidang pendidikan ini mengakibatkan tidak adanya kesamaan kesempatan melalui kesetaraan perlakuan bagi tunanetra di bidang tersebut. Kondisi inilah yang menyebabkan sumber daya manusia tunanetra tidak dapat mengembangkan potensinya, sehingga sulit bersaing di dunia kerja, baik di sektor formal maupun non formal.

Dilatarbelakangi situasi inilah maka, pada 14 Mei 1991, Lukman Nazir, Bambang Basuki, Mimi Mariani, Nicoline, Sidarta Ilyas dan beberapa sahabat yang lain bersepakat mendirikan Yayasan Mitra Netra. Para pendiri Mitra Netra memiliki keyakinan bahwa:

  1. Tunanetra dapat menjalani kehidupan yang mandiri, cerdas, bermakna dan bahagia serta berfungsi di masyarakat apabila diberikan:
    • Rehabilitasi yang dapat mengura ngi dampak kecacatannya,
    • Pendidikan dan latihan yang dapat mengembangkan potensinya,
    • Peluang kerja yang seluas-luasnya,
    • Serta sarana atau layanan khusus yang dibutuhkan.
  2. Tidak semua tunanetra dan keluarganya mampu menyediakan dan membiayai sendiri kebutuhan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan sebuah lembaga yang membantu mengupayakannya untuk mereka.
  3. Untuk menjamin agar program yang diselenggarakan sesuai dengan aspirasi tunanetra, maka, tunanetra harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, pelaksanaan serta evaluasi suatu program. Para tunanetralah yang paling mengerti dan memahami kebutuhan mereka.
  4. Untuk meringankan tantangan yang dihadapi, diperlukan sinergi antara tunanetra dengan sahabat-sahabat yang bukan tunanetra, serta antara Mitra Netra dengan organisasi lain.
  5. Dengan menggunakan pendekatan secara inklusif yang mengakomodasikan berbagai jenis perbedaan, perlakuan diskriminatif akan dapat dikurangi atau dihindari.

Di awal masa pendiriannya, hanya ada dua layanan yang disediakan secara sederhana, tapi, dua layanan itu mempunyai fungsi strategis dan terbukti telah membantu para tunanetra belajar lebih mandiri baik di sekolah umum dan perguruan tinggi.

Pertama adalah produksi buku bicara (buku dalam bentuk kaset). Mengapa buku? Karena buku adalah salah satu pilar penting penyangga pendidikan, dan bagi tunanetra itu sesuatu yang sangat “mewah”, atau bahkan “barang langka”.

Bagaimana Mitra Netra, yang baru saja berdiri – hanya menempati ruangan berukuran 3 x 3 m di jalan Keramat, dan belum memiliki fasilitas apapun bisa memproduksi buku bicara? Ajaib kedengarannya!

Semuanya dilakukan dengan cara yang sederhana. Para pengurus menghimpun kaset-kaset yang berisi rekaman buku yang dibacakan milik para tunanetra yang tidak lagi dipergunakan; proses perekamannya pun hanya menggunakan tape recorder biasa, bahkan kadang-kadang hanya tape recorder kecil saja. Misalnya, Mimi Mariani yang pernah belajar di IKIP Sanatadharma, dan memiliki kaset-kaset yang berisi rekaman buku-buku referensi yang pernah dipakainya dulu saat kuliah, kemudian disumbangkan ke Mitra Netra, dengan pemikiran mungkin akan ada tunanetra yang membutuhkannya.

Jika ada buku yang dibutuhkan tunanetra dan tidak ada atau belum ada di kumpulan kaset-kaset tersebut, yang para pengurus lakukan adalah mengumpulkan “kaset-kaset bekas” dari siapapun, lalu membacakan buku yang diperlukan tersebut dan merekamnya dengan menggunakan tape recorder biasa; tidak ada studio, apalagi alat perekam yang canggih! Jadi, bisa dipastikan, di antara suara pembaca – pada umumnya mereka adalah relawan (volunteer), juga terdengar suara-suara lain, suara motor, penjual baso atau mi ayam, mobil, guntur, hujan, dan sebagainya. Tapi, dari buku bicara yang sederhana itu, Mitra Netra telah melahirkan beberapa sarjana tunanetra………

Di samping buku, hal lain yang juga diperlukan untuk mendukung kemandirian tunanetra dalam belajar adalah “masalah komunikasi dalam bahasa tulisan”. Tunanetra menggunakan huruf Braille, sementara, para guru di sekolah umum atau para dosen di universitas tak ada yang mengerti huruf berbentuk kombinasi enam titik ini. Jadi, jika misalnya guru meminta siswa termasuk siswa tunanetra menulis esai, dan siswa tunanetra tersebut menulisnya dalam huruf Braille, sudah bisa dipastikan sang guru tidak akan bisa langsung membacanya. Ia akan membutuhkan penterjemah untuk membacakan esai dalam tulisan Braille ini.

Dari pengalaman tunanetra yang telah menempuh pendidikan di sekolah umum maupun perguruan tinggi sebelumnya, memiliki ketrampilan mengetik sepuluh jari – dengan menggunakan mesin tik biasa tentunya –, adalah solusi. Dengan ketrampilan ini, siswa dan mahasiswa tunanetra dapat menulis sendiri secara lebih mandiri tugas-tugas yang diberikan dosen atau guru, termasuk makalah dan skripsi. Sudah barang tentu, setelah mengetik, tunanetra tidak bisa membaca sendiri hasilnya – masih butuh bantuan orang lain, termasuk jika ada kesalahan –, tapi setidaknya, mereka bisa menuliskan sendiri tugas-tugas itu dan para guru maupun dosen bisa membacanya.

Belajar dari pengalaman ini, Mitra Netra kemudian menyelenggarakan “kursus mengetik sepuluh jari untuk tunanetra”. Pertanyaan yang sama, bagaimana Mitra Netra yang baru lahir bisa melakukannya? “kemitraan” itu solusinya. Para Pengurus menggunakan “network” yang mereka miliki; mencari teman yang mungkin bisa membantu. Dan, bantuan itu datang dari SMEA Budi Asih, (sebuah sekolah kejuruan tingkat atas), yang mengijinkan Mitra Netra menggunakan fasilitas mesin tik yang mereka miliki di sore hari setelah sekolah usai. Dan, kursus mengetik sepuluh jari yang diselenggarakan atas bantuan teman inilah yang kemudian menjadi cikal bakal “kursus komputer bicara”, yang mulai dirintis tahun 1992, satu tahun setelah pendirian Yayasan Mitra Netra.

Apa yang membedakan Mitra Netra dari lembaga lain?

Unik

itulah kata yang tepat untuk Mitra Netra. Tapi, apa yang membuat lembaga ini unik? Coba cermati uraian di bawah ini.

Menghindari duplikasi.

Sejak awal pendiriannya, Mitra Netra memilih melakukan pekerjaan yang sama sekali belum dikerjakan atau belum cukup dikerjakan oleh lembaga manapun. Ini berarti, Mitra Netra berusaha menghindari “duplikasi pekerjaan”. Mengapa demikian? Buruknya situasi yang dihadapi para tunanetra di negeri ini mencerminkan banyaknya pekerjaan yang belum “tersentuh tangan”; tapi, di sisi lain, banyak lembaga “memperebutkan” pekerjaan yang bahkan sudah dilakukan oleh hampir sebagian besar lembaga/organisasi yang mengatakan dirinya sebagai lembaga yang “memberdayakan tunanetra”.

Lalu, pekerjaan apakah yang belum atau belum cukup dikerjakan oleh lembaga lain itu? Jawabnya adalah “pekerjaan yang tidak mudah dilakukan”. Dan, pekerjaan yang “tidak mudah” ini adalah justru hal-hal yang sangat mendasar, yang sangat dibutuhkan tunanetra.

“produksi dan distribusi buku yang dapat dibaca secara mandiri (accessible) oleh tunanetra” adalah salah satu contohnya.

Sejarah mencatat, sekurang-kurangnya Pemerintah Indonesia melalui Departemen Pendidikan, telah menjalin kerja sama dengan Pemerintah Australia di tahun 80an dan Pemerintah Norwegia di akhir tahun 90an, mengimpor mesin-mesin untuk mencetak buku Braille. Upaya ini tentu, dilakukan dengan tujuan agar tunanetra dapat dengan mudah mendapatkan buku, minimal untuk mendukung studi mereka. Tapi, apa yang terjadi, hingga saat ini, “buku” masih menjadi persoalan besar bagi tunanetra di Indonesia.

Lalu, bagaimana dengan mesin-mesin – Braille embosser – yang telah diimpor itu? Untuk yang diimpor dari Australia, sudah tentu telah menjadi “besi tua”. Sedangkan, untuk yang diimpor dari Norwegia, saat ini Mitra Netra sedang mengupayakan agar alat-alat tersebut, yang semuanya merupakan “aset tunanetra”, dapat difungsikan secara lebih optimal.

Apa yang Mitra Netra lakukan? Secara singkat dapat disampaikan bahwa, sejak tahun 1997, Mitra Netra telah mengembangkan perangkat lunak Mitra Netra Braille Converter (MBC), perangkat lunak yang dibuat untuk memudahkan proses produksi buku Braille. Dan, di tahun 2004, Yayasan ini mulai merintis layanan perpustakaan Braille on line www.kebi.or.id — KEBI singkatan dari Komunitas E-Braille Indonesia. KEBI merupakan media kerja sama antar produser buku Braille di tanah air, yang melalui kerja sama dengan Pemerintah Norwegia di akhir tahun 90an telah dirintis oleh Departemen Pendidikan. Untuk lebih jelasnya, silakan baca pada “Program”, khususnya “buku yang aksessibel” dari situs ini.

Komunitas pembelajar.

Jika kita ibaratkan Mitra Netra itu sebuah “komunitas”, Yaysan ini adalah sebuah “learning community atau komunitas pembelajar”. Ini dibuktikan dengan ada dan berfungsinya “bagian penelitian dan pengembangan”.

Mitra Netra menyadari, masih banyak hal yang harus dilakukan, ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang, dan kemajuan ilmu dan teknologi ini bisa dimanfaatkan untuk memberikan kemudahan bagi tunanetra dalam menjalani kehidupan sehari-hari, sama seperti mereka yang tidak tunanetra.

Itu sebabnya, sejak awal pendiriannya hingga kini, dan terus di masa mendatang, Mitra Netra akan senantiasa melakukan inovasi dalam tugasnya menyediakan layanan pendukung pendidikan yang komprehensif bagi tunanetra. Hal ini juga tercermin dalam pernyataan visi Yayasan ini, “BERFUNGSI SEBAGAI PENGEMBANG DAN PENYEDIA LAYANAN, GUNA TERWUJUDNYA KEHIDUPAN TUNANETRA YANG MANDIRI, CERDAS DAN BERMAKNA DALAM MASYARAKAT YANG INKLUSIF – masyarakat inklusif adalah masyarakat yang mengakomodasikan berbagai perbedaan.

Semangat Kemitraan dan Organisasi Lokomotif

“impian adalah tujuan”, dan “impian adalah energi”. Mitra Netra tidak pernah takut “bermimpi”, dan Mitra Netra terus “bermimpi” di saat orang lain bahkan takut melakukannya. Apa yang telah Mitra Netra capai hingga saat ini dan di masa mendatang adalah wujud dari “impian itu”.

Apa impian Mitra Netra? Tunanetra menjadi pribadi yang cerdas, mandiri, bermakna dan bahagia dalam masyarakat yang inklusif, bebas hambatan dan berdasarkan atas hak.

Itu impian yang besar; dan, butuh kerja keras untuk mencapainya. Dalam upayanya mencapai impian besar itu, Mitra Netra senantiasa mulai dari yang kecil, karena “kecil itu indah”; lebih dari itu, melakukan hal yang kecil terlebih dahulu juga lebih mudah, daripada langsung melakukannya dalam skala yang besar. Setelah berhasil dengan yang kecil, kemudian, secara bertahap akan membuatnya menjadi besar, sehingga dapat dinikmati lebih banyak tunanetra, hingga akhirnya suatu hari kelak, seluruh tunanetra di negeri ini akan menjadi seperti yang mitra Netra impikan.

Dalam memperbesar upayanya untuk mewujudkan impian itu, tentu saja Mitra Netra tidak bisa bekerja sendirian, dan, bermitra dengan lembaga lain, baik pemerintah maupun swasta adalah strategi yang dipilih Yayasan ini.

Pengalaman telah mengajarkan pada Mitra Netra, tidak mudah membangun kemitraan. Keinginan untuk mementingkan diri sendiri, enggan melakukan hal-hal baru, apalagi jika hal baru itu sulit, persepsi yang masih kurang benar tentang tunanetra sebagai sumber daya manusia, rendahnya komitmen, lemahnya manajemen organisasi serta maasih kurangnya akses ke teknologi adalah beberapa tantangan yang selama ini Mitra Netra hadapi dalam membangun kemitraan. Dan, butuh keteguhan, kesungguhan serta komitmen, yang senantiasa harus dijaga, untuk mengatasi semua tantangan itu.

Satu-satunya hal yang selama ini membuat Mitra Netra tetap konsisten dengan posisi dan fungsinya adalah “impian”. Dan, “impian” itulah yang telah terus menggerakkan Mitra Netra ke depan.

Saat bergerak ke depan, Mitra Netra tidak ingin sendirian; keinginan untuk terus maju itu senantiasa dibarengi dengan kehendak untuk mengajak serta lembaga lain yang juga berperan memberdayakan tunanetra. Ibarat kereta api, Mitra Netra adalah lokomotif, dan para partner adalah gerbong yang mengikutinya, hingga suatu hari kelak kita akan tiba di stasiun yang sama, yaitu terwujudnya “impian menjadi kenyataan”.

Perjalanan yang mengesankan.

Jika saat ini Mitra Netra telah memiliki “istananya sendiri”, itu baru terjadi pada tahun 2002, setelah Yayasan ini berumur 11 tahun. Sebelumnya, lembaga yang secara konsisten melayani para tunanetra di negeri ini masih harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Dari mana dan ke mana saja? Silakan simak kisah perjalanan di bawah ini.

Saat awal didirikan, Mitra Netra menempati ruangan berukuran3 x 3 m yang berada di sebuah perusahaan penerbit buku (Jambatan) yang terletak di jalan Keramat. Hal ini dimungkinkan karena Ibu Roswita Singgih, salah seorang pengurus kala itu adalah pemilik perusahaan tersebut, yang bersedia meminjamkannya kepada Mitra Netra. Hanya kurang lebih dua tahun berada di sana, Mitra Netra harus pindah karena ruangan itu harus direnovasi dan dimanfaatkan oleh sang pemilik.

Dari Keramat, Mitra Netra kemudian melanjutkan perjalanan hidupnya ke Lenteng Agung, meminjam sebuah rumah yang sedang dalam proses dijual. Tentu ini bukan situasi yang menenangkan hati, — sama seperti sebelumnya –, karena Yayasan ini harus siap setiap saat meninggalkan rumah tersebut tatkala sang pemilik baru akan menghuni rumah itu.

Hanya kurang lebih satu tahun bermukim di Lenteng Agung, Yayasan ini mendapatkan pinjaman tempat di salah satu ruangan milik Yayasan Pamentas di kawasan Lebak Bulus Jakarta Selatan. Hal ini terjadi karena prestasi Mitra Netra dalam memproduksi bahan-bahan konferensi Disable People International (DPI) dalam huruf Braille untuk peserta tunanetra, yang kala itu diselenggarakan di Jakarta. Atas prestasi ini, ketua panitia konferensi yang juga ketua Yayasan Pamentas mengijinkan Mitra Netra menempati salah satu ruangan berukuran 7 x 5 di lingkungan Yayasan ini. Pada periode inilah kegiatan Mitra Netra mulai tumbuh dan berkembang. Produksi buku bicara mulai dilengkapi dengan studio rekaman kedap suara, meski dalam bentuk yang sederhana. Tidak hanya itu, buku Braille pun mulai diproduksi karena telah memiliki mesin Braille embosser, meski masih dalam skala yang kecil – 40 karakter per detik dan hanya mampu mencetak satu sisi (single sided printing).

Karena makin banyaknya kegiatan serta penyebaran tunanetra yang dilayani – hampir di lima penjuru Jakarta, menempati satu ruangan di Yayasan Pamentas saja tidak cukup. Sidarta Ilyas, yang berprofesi sebagai dokter kemudian mengupayakan penambahan fasilitas ruangan kantor. Melalui pertemanan dengan DR. Sujudi yang kala itu menjabat sebagai Menteri Kesehatan RI, Mitra Netra kemudian mendapatkan pinjaman ruangan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan yang berada di jalan Percetakan Negara Jakarta Pusat. Ruangan berukuran 35 meter persegi ini kemudian dimanfaatkan untuk kantor sekretariat dan layanan pendidikan bagi siswa tunanetra untuk wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Timur dan Jakarta Utara.

Dari sisi manajement organisasi, Memiliki dua kantor secara terpisah di saat kondisi organisasi masih relatif muda dan belum mapan bukanlah hal yang mudah; hal ini telah memperpanjang waktu koordinasi, dan dari sisi biaya ini tentu tidak efisien. Akan tetapi, dari sisi pelaksanaan layanan, keberadaan kantor Mitra Netra di Jakarta Pusat sangat memudahkan tunanetra yang berada di sekitarnya untuk mengakses layanan Mitra Netra – meski tidak semuanya –, sehingga tidak perlu datang ke pusat layanan yang ada di Jakarta Selatan. Apapun alasannya, kala itu Mitra Netra dapat dikatakan tidak punya pilihan. Dalam kondisi terus tumbuh di satu sisi dan keterbatasan fasilitas yang dimiliki di sisi lain, kabar gembira datang dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan – kala itu Wardiman. Setelah bertemu dengan para pengurus dan mengetahui peran Mitra Netra dalam melayani tunanetra, Sang Menteri memutuskan untuk memberikan pinjaman kantor kepada Yayasan ini,dan tempat yang dipilih adalah di lingkungan sekolah luar biasa (SLB) untuk tunanetra di jalan Pertanian Raya Lebak Bulus Jakarta Selatan. Yang menarik dari keputusan itu adalah, bahwa Mitra Netra diperbolehkan menggunakan kantor tersebut selama Yayasan ini membutuhkannya.

Kantor dua lantai berukuran 200 meter persegi kemudian dibangun di bagian belakang sekolah untuk tunanetra di Jakarta Selatan tersebut. Hanya, ada yang berbeda dari apa yang telah diputuskan sang Menteri dan yang telah diinformasikan kepada Mitra Netra. Sebagaimana biasa, setelah melalui proses disposisi, perintah Menteri dikerjakan oleh eselon yang ada di tingkatan lebih bawah. Dan di level inilah keputusan itu diubah. Ruangan kantor dua lantai yang oleh Menteri sedianya boleh dimanfaatkan selama Mitra Netra membutuhkannya, diubah menjadi hanya dipinjamkan dalam waktu tiga tahun.

Apa alasannya? “Entahlah”, itu jawabannya.

Setelah ruangan kantor yang dipinjamkan itu usai dibangun, kegiatan layanan Mitra Netra yang berada di Yayasan Pamentas lalu dipindahkan ke kantor baru tersebut. Sedangkan kantor sekretariat yang berada di jalan Percetakan Negara tetap dipertahankan.

Sepanjang periode berada di lingkungan SLB ini, upaya untuk memiliki kantor sendiri terus dilakukan. Tapi, belum memberikan hasil. Dan, Karena tidak memiliki alternatif lain, Memasuki tahun ketiga masa peminjaman kantor tersebut, Mitra Netra menyampaikan permohonan perpanjangan penggunaannya kepada instansi yang memiliki aset tersebut. Namun, Bukan persetujuan yang diterima, melainkan pemberitahuan untuk segera pindah, karena gedung yang sebenarnya secara fisik sudah tidak lagi memenuhi syarat untuk menampung sarana dan fasilitas yang Mitra Netra miliki ini akan dimanfaatkan untuk keperluan lain.

Harus pindah, dan segera, itulah situasi yang dihadapi kala itu. Dan kondisi ini membuat Mitra Netra memiliki alasan kuat untuk membuat salah satu partnernya yaitu Foundation Dark & Light Blind Care (DLBC) dari Belanda, yang sejak tahun 1999 membiayai program produksi dan distribusi buku Braille serta buku bicara, menyetujui permintaan Yayasan ini untuk membelikan kantor baru dan menjadikan kantor itu milik Mitra Netra sendiri.

“Krisis berbuah manis”, itulah yang Mitra Netra alami. Kondisi terdesak harus pindah dari kantor yang hanya pinjaman telah membuat Mitra Netra sejak tahun 2002 dapat berada dan terus berkembang di tempat ini – jalan Gunung Balong II nomor 58, Lebak Bulus III Jakarta Selatan, rumah yang menjadi “istana tunanetra”