Ilustrasi: gambar hati bertumpuk satu hati berwarna merah

Karya : Irma Hikmayanti

Sehari lagi menuju hari yang dinanti. Hari yang akan menjadi pertemuan pertamaku dan dia setelah sekian tahun lamanya. Hari yang jatuh pada tanggal satu April dan membuatku begitu tidak sabar.

Sudah kusiapkan baju yang akan kukenakan nanti. Berupa blus putih dengan ornamen kancing yang terlihat anggun, juga celana panjang biru tua dengan kerudung berwarna senada, dan tak ketinggalan sepatu putih. Lumayan serasi juga barangbarang baruku ini. Hasil memanfaatkan potongan harga yang didapat dari kartu debit merangkap kartu ATM-ku itu.

Biar pertemuan kami masih besok, aku sudah deg-degan dari hari ini. Aku takut membuat kesalahan dalam pertemuan kami nanti. Mungkin aku tipe orang yang perfeksionis, jadi ingin semuanya terlihat sempurna. Tapi, ya sudahlah, toh aku juga manusia biasa. Yang penting aku harus berusaha enjoy ketika bertemu dia nanti.

Oh, dia yang mau kutemui itu bernama Anton. Cowok yang sudah lama menghilang dari pandanganku dan hanya sesekali saja kami bertelepon ria. Aku pertama kali bertemu dengannya, ketika kami sama-sama kursus bahasa asing tak jauh dari tempat tinggalku.

“Silakan, ladies first,” katanya santun saat membukakan pintu kelas kursus untukku kala itu. Perawakan Anton yang tinggi tegap, ditambah senyumnya yang hangat, membuatku kagum kepadanya.

Kesantunan Anton tak berhenti di situ. Aku tahu ia suka membantu beberapa guru yang kepayahan membawa beberapa materi ajar. Aku tahu ia juga tak segan menolong office boy di tempat kursus yang kerepotan. Zaman sekarang, jarang-jarang aku bisa bertemu dengan cowok seperti dia. Apa lagi ketika dia bicara. Suaranya yang lembut dan dalam benar-benar …. Ah, sudahlah. Aku kok jadi malu sendiri.

Dulu kami cukup sering ngobrol bareng seusai jam kursus. Mulai dari materi kursus, hobi, acara di TV, sampai hal-hal seperti politik, suka kami bahas. Anton sosok yang enak diajak berdiskusi. Dia selalu konsentrasi mendengarkanku ketika aku berbicara. Dan ketika tiba gilirannya menjelaskan tentang skripsi yang saat itu sedang dia garap, aku seketika terhanyut oleh gaya bicaranya.

Duh, seperti apa esok akan terjadi? Apakah Anton masih sama seperti yang kuingat itu? Entahlah. Lebih baik aku tidur cepat agar esok bisa berjalan seperti yang kuharapkan.

*

Jelang sore, aku segera bersiap-siap. Aku tak ingin terlambat tiba di sebuah restoran hotel berbintang di bilangan Jakarta Pusat, lokasi pertemuan yang sudah ia janjikan. Sungguh sepanjang perjalananku ini menuju ke restoran itu, degup jantungku makin tak bisa kukendalikan.

Anton telah tiba lebih dulu di restoran itu. Seperti yang pernah kuingat dulu, ia kembali membukakan pintu untukku saat taksi yang kutumpangi berhenti di lobi.

“Hai, Irma,” senyumnya membuatku gugup. Dalam balutan atasan putih dan celana panjang hitam, ia menggandeng tanganku menuju lantai dua tempat restoran itu berada. Dalam posisi sedekat ini, kuharap ia tak mendengar jantungku yang berdebar-debar!

Alunan lagu romantis mengiringi langkah kami saat memasuki restoran tersebut. Dan Anton terus menuntunku hingga kami tiba di sebuah meja yang telah ia pesan. Posisinya tepat menghadap ke jendela restoran, membuat kami leluasa melihat pemandangan di luar.

Saat kami menunggu pesanan makanan, tahu-tahu Sail Over Seven Seas milik Gina T samar-samar mengalun. Iya, lagu kesukaanku itu. Membuat perasaanku semakin tak karuan, layaknya gado-gado warung di pengkolan dekat rumahku. Namun kehangatan sikap Anton membuyarkan semua itu. Ia sukses membuatku hanyut dalam percakapan.

Dua jam lebih berlalu. Obrolan kami yang semakin seru terpaksa berhenti karena sudah terlalu larut. Anton pun mengantarku menuju mobilku sambil berbisik, “Kabari aku bila telah sampai di rumah ya.”

Aku mengangguk mengiyakan. Dan sopir yang menyetir mobilku langsung meluncur membelah padatnya jalanan ibu kota. Hingga tiba-tiba, di tengah jalan ponselku berdering. Memunculkan nama Anton di layar bening ponselku.

“Hai. Ada apa ya, Ton?” tanyaku.

Anton terkekeh kecil. “Kabari aku ya kalau kamu sudah sampai rumah.”

Mendengar suaranya membuatku tak bisa menahan tawa. “Kirain ada apa. Oke, nanti aku WA kamu pas sampai di rumah ya.”

Seperti janji, ketika aku tiba di rumah, kukabari Anton segera. Dan Anton malah menyambungnya dengan percakapan panjang di telepon. Tak berhenti sampai di situ, ia terus menyambung percakapan itu ke hari-hari selanjutnya. Ke bulan-bulan selanjutnya, sampai tak terasa kami telah dekat nyaris setahun ini. Kami semakin sering berbagi kabar dan saling menceritakan kegiatan masing-masing.

Lama-lama, kami lebih senang membicarakan kehidupan pribadi satu sama lain. Kami lebih senang membicarakannya dengan bertemu langsung sambil menikmati sore. Kami lebih senang ketika kami bersama seperti ini. Tidak ada lagi ingatan akan cinta lama yang masih menghantuiku hingga hari pertemuan dengan Anton dulu itu tiba. Anton telah mengubah harihariku menjadi lebih berwarna.

“Ir, kamu ulang tahun enam Agustus kan, ya?” tanya Anton suatu ketika saat kami sedang bertelepon.

“Iya. Memang kenapa?”

“Leo, dong?”

“Hehe, betul! Kamu ulang tahun 14 Desember. Sagitarius, dong?”

“Betul! Dan katanya Sagitarius tuh cocoknya sama Leo,” Anton tertawa di ujung sana. Sedangkan aku terdiam. Merasakan pipiku menghangat dan tanganku berkeringat dingin. Apa maksud Anton ini, eh?

“Kamu ada agenda nggak hari Sabtu depan?” Anton kembali bertanya memecah kebisuanku.

“Ng—nggak ada, deh. Kayaknya …,” jawabku kikuk. Seperti sedang mengantisipasi sesuatu yang akan terjadi, tapi entah apa.

“Kita ketemuan yuk, sekalian makan siang. Kita kan udah lama ngga ketemuan,” ajak Anton.

Sudah lama? Wah, sepertinya dia amnesia. Bahkan pertemuan kami yang terakhir baru terjadi kemarin. Tapi, kenapa juga harus keberatan bertemu dia, sih? “Boleh. Mau ketemu di mana?”

“Aku bikin reservasi di restoran tempat kita makan siang dulu gimana? Tempat kita pertama ketemu lagi itu loh,” tawarnya.

Aku mengiyakan. Dan tepat setelah pembicaraan kami berakhir, buru-buru kubuka lemari. Kupilih-pilih baju terbaik yang kupunya. Kupadu-padankan agar nanti tampilanku sempurna. Aku tak peduli kalau itu masih empat hari lagi.

*

Satu April yang sama. Restoran yang sama, tempat duduk yang sama, pria yang sama. Dan … lagu yang sama? Aku berusaha menajamkan pendengaranku yang menangkap samar-samar suara Gina T mengalunkan Sail Over Seven Seas. Aku menunduk, berusaha menyembunyikan senyum maluku. Ada apa dengan Anton dan hari ini, sih?

Anton tak lagi membuatku grogi. Justru sekarang aku jauh lebih nyaman berada di dekatnya. Dan saat menunggu pesanan kami datang, Anton tahu-tahu meraih tanganku.

“Irma, kamu ingat nggak kalau Sagitarius itu cocoknya sama Leo?”

“Eh?” Aku terbeliak bingung. Aku tidak salah mendengar ucapan Anton barusan kan? Sagitarius cocoknya sama Leo? “Maksudmu, Ton?”

Anton tersenyum. Senyum yang selalu menceloskan jantungku itu. “Aku merasa cocok sama kamu, Ir. Kamu mau nggak kalau kita lebih serius buat ke depannya?” Pertanyaan Anton membuatku salah tingkah.

Sebut aku gila kalau harus mengabaikanmu, Ton. Siapa yang tak mau serius dengan laki-laki seperti kamu?

Aku hanya tersenyum menatapnya. Tanpa perlu berkata-kata, kurasa Anton sudah tahu jawabanku.

Satu April yang sama, satu April yang bukan April Mop. Melainkan April Wow yang menyatukan aku dan Anton dalam satu cinta, satu hati.

* Karya ini berasal dari buku “Melihat Dengan Hati: Sketsa Cerita 13 Tunanetra” yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), 2018. Buku ini merupakan kumpulan tulisan tunanetra yang mengikuti Workshop Menulis Kreatif yang diadakan OJK bekerja sama dengan Yayasan Mitra Netra.

Leave Comment