Karya : Adi Ariyanto

Pagi yang kutunggu akhirnya datang juga. Bergegas kutuju ruang tamu ketika terdengar bunyi bel dari seseorang di luar sana.

Ya, kurasa telingaku tak salah mendengar. Sudah tiga kali bel itu berdentang. Dan sudah tiga kali pula hatiku tak henti membuncah. Kuraih daun pintu, kuputar kunci, dan ….

“Halo, Bro! Owe dateng, nih!” Alex, teman baikku, seketika menyembul dari balik pintu.

“Yuuhuuu! Mantap, Bro. Gue kira lo masih tidur,” sambutku bersemangat sambil menepuk bahunya.

“Nggak lah. Gue kan juga mau berburu bareng lo. Nanti kalau kesiangan, bisa-bisa buruan kita udah ngumpet.”

“Benar juga, sih. Lo mau minum dulu nggak?”

“Ah, nggak usah deh. Langsung cabut yuk.”

“Oke. Gue ambil sepatu dulu.”

“Ngapain pake sepatu? Gue aja pake sandal gunung.”

“Ya udah sih, tungguin aja.”

Usai memperdebatkan hal tak penting itu, aku dan Alex memasuki mobil. Perlahan melaju menelusuri jalan-jalan di sekitar tempat tinggalku, demi mengeksekusi rencana bersama yang sudah empat tahun lamanya tertunda.

Kami memang bukan petualang, tapi juga bukan pemburu. Namun, hari ini kami ingin menjadi keduanya. Meniru sebuah tayangan di TV yang melakukan perburuan profesional terhadap binatang buas tertentu.

Tapi tenang, pagi ini kami bukan ingin berburu binatang seperti itu. Juga bukan berburu gadis manis yang kehadirannya bisa mengakhiri kejombloanku ini. Kami hanya akan berburu ‘banteng’.

Di mana bisa berburu banteng di Jakarta? Mungkin begitu pikir kebanyakan orang. Untuk itulah aku dan Alex ingin membuktikan. Sehingga kami rela membelah padatnya jalan raya yang penuh oleh kendaraan bermotor di hari yang masih pagi ini.

“Gue ambil ATM dulu ya, Bro. Nanti nggak bisa bayar-bayar kita,” kata Alex seraya menepikan mobilnya ke dalam pom bensin.

Aku mengangguk. Sambil menunggu Alex, kuamati keramaian di depan sana. Karyawan-karyawan berwajah masam yang harus masuk kerja, anak-anak sekolah yang berusaha semringah meski mata masih setengah terbuka, palang rel kereta api yang naik turun dengan bunyinya yang berisik, ibu-ibu dengan wajah serakah menenteng sekresek penuh kangkung dan jengkol. Luar biasa memang pemandangan kota metropolitanku ini.

Tak lama Alex kembali dan buru-buru menyalakan mesin mobil.

“Lo yakin, bantengnya ada di sana?” tanyanya sesaat sebelum kami tiba di tujuan.

“Iya. Waze gue nunjukin ke arah sini, kok,” jawabku.

Mobil Alex lalu memasuki sebuah area yang dikelilingi gedung-gedung tinggi. Salah satu yang paling menjulang adalah dua gedung yang berdiri berdampingan. Bukan, ini bukan Petronas. Ini adalah gedung yang menyimpan banteng buruan kami.

Kami memasuki gedung megah itu. Sebuah kolam besar menyambut kami di serambinya. Tak pernah sebelumnya kubayangkan akan menginjakkan kaki di gedung yang hanya kudengar dari berita ekonomi di TV. Aku tak menyangka, dari gedung inilah ekonomi negaraku bergerak.

Kami terus berjalan menyusuri gedung itu. Salah satu jalur yang kami lewati berupa terowongan bawah tanah dengan beberapa tempat makan di kiri-kanannya.

“Permisi, barang bawaannya silakan diletakkan di sini,” ujar seorang sekuriti yang bertugas memeriksa dengan metal detector ketika kami tiba di pintu utama gedung.

Aku menatap Alex bingung. Dan Alex balik menatapku seolah berkata: sudah ikuti saja aturannya. Sehingga kuletakkan tasku dan aku pun berhasil melewati pos penjagaan itu.

Aku semakin terkesima dengan tampilan orang-orang di gedung ini. Mereka begitu wangi dan pakaian mereka necis sekali. Berbeda dengan aku dan Alex yang malah memakai batik bagai Pak RT dan Pak RW di hajatan.

Jujur aku sempat sangsi bisa diizinkan masuk ke dalam. Apa lagi mengingat Alex memakai sandal gunung begitu. Namun ternyata kami diizinkan. Setelah menaiki salah satu tangga berjalan, kami memasuki sebuah area berlantai gelap dengan pilar-pilar yang begitu besar dan kokoh. Sinar matahari masuk menembus jendela gedung dan menampilkan efek cahaya kehijauan pada dinding gedung.

Aku dan Alex saling pandang. Tak ada kata yang terucap selain senyum simpul dariku dan dirinya. Jika bisa tertawa bahagia sambil jingkrak-jingkrak, mungkin kami sudah melakukannya sejak kaki ini melangkah masuk. Sayang tidak boleh. Jadi kutahan saja dadaku yang berdegup kencang ini.

Kami melangkah ke sebuah meja besar yang berbentuk seperti meja resepsionis di hotel-hotel. Dan kami sadar, kalau kami belum benar-benar masuk ke gedung yang kami impikan itu. Seorang petugas wanita di belakang meja besar tadi lantas menatap kami penuh selidik. Ia menanyakan identitasku dan Alex, sekaligus menanyakan maksud kedatangan kami.

Dengan percaya diri yang tinggi, Alex mengatakan bahwa tujuan kami adalah untuk melakukan investasi. Meski tetap ragu, wanita itu akhirnya menerima kartu identitas kami dan menukarnya dengan dua tanda pengenal yang dapat dikalungkan.

Kami semakin dekat dengan buruan kami. Setelah menempelkan tanda pengenal pada sensor, gerbang tempat ruangan yang menyimpan buruan kamu pun terbuka. Aku dan Alex masuk satu persatu dan akhirnya … kami benar-benar sampai di lobi gedung BEI. Ya, tak salah lagi. Gedung Bursa Efek Indonesia.

Untuk kedua kalinya, kami tertegun seperti membeku. Bagai terhipnotis kami melangkah mendekati buruan kami.

“Wahhh …,” bisik aku dan Alex dengan lirih dan haru.

Kami sama-sama terperangah melihat patung kayu di depan kami ini yang berdiri dengan kokohnya. Pahatannya begitu halus, menggambarkan kehebatan sosoknya yang terkenal berani dan bertenaga besar itu. Tanduknya pun tegas dan terlihat tajam. Menggambarkan jiwa orang-orang yang memiliki strategi dan keberanian luar biasa. Sebagaimana orang-orang di dalam gedung ini, yang telah mengadu keberaniannya demi meraih masa depan dirinya dan masa depan bangsa.

Ya, bagi kami, orang-orang di dalam gedung ini setangguh buruan kami, Si Banteng Wulung.

* Karya ini berasal dari buku “Melihat Dengan Hati: Sketsa Cerita 13 Tunanetra” yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), 2018. Buku ini merupakan kumpulan tulisan tunanetra yang mengikuti Workshop Menulis Kreatif yang diadakan OJK bekerja sama dengan Yayasan Mitra Netra.

Leave Comment