Ilustrasi: Seorang ibu mengangkat anaknya

Karya : Melissa Puspa Chandra

“Bu, Mbak Diah jadi kuliah di kota!” Nani kecil melangkah ringan ke dalam rumah, wajahnya semringah. “Aku juga mau kuliah, Bu! Nanti kalau sudah besar, aku mau jadi dokter!” Ia memasuki dapur, lantas memanjat meja tua tempat ibunya menyiapkan makanan yang akan dijualnya sore itu di depan rumah kecil mereka.

Erna, ibunya, hanya tersenyum saja. Tangannya yang cekatan tak henti-hentinya bekerja. Merajang bawang, menghitung isi keranjang telur, mengiris cabai, dan ….

“Bu?” Semangat yang tadinya ringan dan berapi-api, tibatiba surut dengan cepat.

“Hm?” gumam ibunya.

Nani kecil duduk merenung di pinggir meja. Memandangi bahan masakan ibunya, modal berjualan nasi goreng tiap sore. “Nani nanti bisa kuliah nggak, ya? Bapak dan ibunya Mbak Diah kan kaya ….”

Nani tahu benar keadaan ekonomi keluarga kecil mereka. Sejak sang ayah meninggalkan keluarga kecilnya beberapa bulan setelah ia lahir, ibu terpaksa mencari nafkah seorang diri.

Ibu tersenyum. “Kalau mau kuliah, harus belajar yang rajin, Nak. Ayo belajar, sebelum kita jualan nanti sore.”

Di antara anggukan ragunya, Nani kecil beranjak pergi. Melompat turun ke lantai rumah yang beralas tanah, lalu masuk ke dalam kamarnya dengan langkah berat. Ia tak tahu kalau mata ibunya selalu mengikuti punggung kecilnya. Kemanapun Nani pergi, mata ibunya tak lepas. Selalu ada. Selalu nyata.

Ketika Nani lenyap dari pandangan, Erna tersenyum. Ia memang tak pernah mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dari tingkat SD. Namun ia bertekad, Nani tak boleh mengalami nasib yang sama. Untuk itulah ia membuat investasi kecil tepat dua tahun
sebelum Nani lahir.

Erna teringat sekeping logam yang ia beli saat sebuah penyuluhan tentang tabungan berupa logam mulia digelar di desanya. Ia berharap kepingan ini bisa menjadi tabungan dan harapan bagi buah hatinya kelak.

Semoga sesuai rencana ya, Nak …, batin Erna.

*

Tahun demi tahun berlalu. Nani kecil tumbuh dengan pesat. Meski tak kentara secara fisik, pertumbuhan itu jelas secara akademis. Tak hanya pintar dan rajin sehingga selalu dipuji guru-guru, Nani juga anak berbakti yang tak pernah absen membantu ibunya setiap sore berjualan nasi goreng di depan rumah kecil mereka. Bahkan kini, jualan ibu Nani tak hanya nasi goreng, tapi juga soto ayam.

Tabungan rahasia sang ibu juga merambat naik secara bersamaan. Sekeping logam mulia yang disembunyikan di pojok belakang lemari pakaiannya, kini bertambah menjadi dua. Lalu tiga keping, empat keping ….

Masih belum cukup untuk biaya kuliah, pikir Erna.

Lagi pula ia sadar bahwa putrinya masih kecil. Masih ada waktu menabung. Masih ada waktu untuk berharap.

*

Nani kini sudah lulus SMA dengan peringkat tertinggi sedesa. Seorang dermawan di desa bersedia membantu biaya kuliah Nani di kota. Ada sedikit kelegaan di dada Erna. Sebab ia tahu tabungannya belum cukup untuk mewujudkan impian Nani menjadi dokter. Sebuah sekolah yang tak murah, ditambah keinginan putrinya yang tak berubah, benar-benar membuat Erna bekerja semakin keras.

Setelah kuliah S1, masih ada juga jenjang yang lebih tinggi, kan? Apakah akan ada orang yang mau berbaik hati memberinya beasiswa lagi?

Menemani keberangkatan Nani ke kota, Erna menitipkan sekeping emas tabungannya. Meski agak tak percaya, Nani berjanji akan memanfaatkan bekal itu sebaik mungkin demi kepentingan kuliahnya.

“Belajar yang baik ya, Nak. Jangan buang-buang waktu dan uang buat hal-hal yang nggak kamu perlu,” pesan Erna pada Nani. Setelah Nani pergi, kehidupan Erna jelas lebih sulit. Tak ada lagi sepasang tangan yang membantunya berjualan tiap sore di depan rumah kecil mereka. Namun meski begitu, Erna tak pernah berhenti bekerja. Ia tak pernah berhenti berharap dan tak pernah berhenti menabung juga.

Sekeping emas yang diberikannya kepada Nani untuk bekal kuliah dapat diraihnya kembali kurang dari setahun berjualan. Bahkan kotak kecil di pojok belakang lemari pakaiannya lambat-laun menjadi penuh.

*

Nani pulang ke desa dan membantu ibunya berjualan setiap libur kuliah. Kepulangannya yang terakhir, begitu kuliahnya selesai, membawa kabar gembira bagi ibunya.

“Nani dapat beasiswa buat kuliah di Jepang, Bu.”

Erna tersenyum lebar. Bergegas ia menuju kamar dan kembali menghampiri Nani dengan sebuah kotak kayu usang di tangan.

“Apa ini, Bu—WOOOAAHH!” Nani membekap mulutnya tak percaya. Di dalam kotak kayu usang itu, ada kepingan-kepingan emas kecil layaknya harta karun dari dalam kapal yang tenggelam di dasar samudera.

“Jadi selama ini Ibu bajak laut?”

Erna tertawa mendengar celoteh spontan Nani. “Ya nggak lah, Sayang. Kotak itu cuma dari pojok belakang lemari baju Ibu saja,” katanya sambil tersenyum lebar. “Itu … buat bekal kuliah kamu, ya.”

Nani balas tersenyum tak kalah lebar. Dipeluknya sang ibu erat-erat dalam haru. “Makasih, Bu ….” Setitik hangat meluncur dari sudut matanya.

Sama seperti dulu, Nani tahu. Kemanapun ia pergi, mata ibunya tak lepas. Selalu ada. Selalu nyata.

* Karya ini berasal dari buku “Melihat Dengan Hati: Sketsa Cerita 13 Tunanetra” yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), 2018. Buku ini merupakan kumpulan tulisan tunanetra yang mengikuti Workshop Menulis Kreatif yang diadakan OJK bekerja sama dengan Yayasan Mitra Netra.

Leave Comment