Kehidupan selalu dipertemukan dengan kendala dan ujian. Dan tugas setiap manusia untuk menemukan jalan terbaik yang bisa membebaskan diri dari batas-batas kendala dan ujian tersebut. Kick Andy Hope kali ini akan mengajak anda semua bertemu kembali dengan orang-orang hebat yang memiliki semangat tanpa batas.

Kisah Pertama datang dari Yayasan Mitra Netra, Jakarta. Yayasan Mitra Netra merupakan organisasi nirlaba yang memusatkan programnya pada upaya meningkatkan kualitas dan partisipasi tunanetra di bidang pendidikan dan lapangan kerja. Yayasan ini didirikan di Jakarta tanggal 14 Mei 1991 oleh beberapa orang tunanetra yang berhasil menyelesaikan studinya di perguruan tinggi bersama-sama dengan sahabat-sahabat mereka yang bukan tunanetra. Mitra Netra berarti sahabat tunanetra. Sahabat yang senantiasa mendampingi tunanetra dalam upaya mereka menempuh pendidikan setinggi mungkin melalui penyediaan layanan khusus yang diperlukan.

Mitra Netra didirikan oleh Lukman Nazir, Bambang Basuki, Nicoline N. Sulaiman, Mimi Mariani Lusli, dan Sidharta Ilyas. Hampir semua pendiri tersebut sudah tidak lagi aktif di Mitra Netra. Ada yang meninggal dunia, dan ada pula yang kini aktif di lembaga lain. Satu-satunya pendiri yang masih aktif mengelola Mitra Netra hingga sekarang adalah Bambang Basuki yang kini menjabat sebagai Direktur Eksekutif Mitra Netra.

Seperti kebanyakan penyandang cacat, Bambang juga mengaku sering mengalami diskriminasi dalam kehidupan sosialnya. Tak cukup hanya soal infratruktur tapi juga termasuk dalam tindakan di dunia pendidikan dan kesempatan untuk bisa menjadi pintar. Salah satu tujuan dari pendirian mitra netra adalah memberi kesempatan pada para penyandang tuna netra bisa belajar berbagai hal, dari komputer, hingga bermain music, serta perpustakaan yang lumayan lengkap.

Perpustakaan Yayasan Mitra Netra menjadi lokomotif yang penting bagi 35 gerbong perpustakaan Sekolah Luar Biasa (SLB) di seluruh Indonesia dengan kurang lebih 2000 siswa tunanetra di dalamnya. Tidak hanya itu, lokomotif ini pun menjadi tempat para relawan yang membacakan buku dan merekam suara mereka untuk para tunanetra. Sekitar 300 judul buku audio dihasilkan oleh para relawan ini setiap tahunnya.

Betapa mitra netra ini menjadi benar-benar mitra sejati bagi para penyandang tuna netra. Banyak penyandang tuna netra yang merasa terbantu oleh adanya lembaga ini. Misalnya saja apa yang dialami oleh Fahri. Fahri menyandang tunanetra sejak lahir. Ia bergabung dengan Mitra Netra sejak kelas 4 SD. Di Mitra Netra, Ari belajar komputer mulai tingkat dasar hingga membuat blog di internet.

Saat ini, Fahri bersekolah di sekolah umum, SMAN 34 Jakarta. Di sekolah, Fahri memang sering dijahili teman-temannya. Meskipun begitu, Fahri tergolong anak yang berprestasi. Pada tahun 2011, ia menjadi juara 1 dalam kompetisi matematika dalam Olimpiade Sains Nasional (OSN). Tak hanya itu, pada tahun 2009, ia juga menjadi juara harapan 2 dalam lomba gitar akustik di Malang.

Fahri merasakan bahwa kehadiran Mitra Netra sangat membantu dirinya dalam belajar. Di yayasan ini, rupanya Ari tidak hanya belajar komputer, namun ia juga sering memanfaatkan layanan bimbingan mata pelajaran yang diadakan Mitra Netra.

Sementara Sugiyo mengalami tunanetra sejak berusia 3 tahun. Selepas SMA, Sugiyo mengikuti kakaknya yang merantau ke Jakarta untuk bekerja. Pada tahun 1990, ia bekerja sebagai tukang pijat. Dan mulai bekerja di Mitra Netra sejak 1997 silam. Awal menjadi karyawan di Mitra Netra, Sugiyo bertugas sebagai pengganda kaset yang akan dikirim ke SLB di seluruh Indonesia. Baru pada tahun 2000, ia menjadi instruktur pelatihan komputer di yayasan ini.

Dari Mitra Netra, Sugiyo memiliki kesempatan belajar komputer untuk tingkat lanjut di beberapa negara. Ia telah 7 kali mengikuti pelatihan komputer bagi para tunanetra di luar negeri. Antara tahun 2002-2005, ia telah mengikuti 5 kali pelatihan di Bangkok, Thailand. Ditambah lagi, pada tahun 2007 di Vietnam, dan tahun 2008 di Kuala Lumpur, Malaysia. Sugiyo juga pernah diminta oleh Depdikbud dan Depkominfo untuk memberikan pelatihan komputer bagi para guru untuk tunanetra.

Pada intinya banyak manfaat keberadaan mitra netra ini bagi para penyandang tuna netra, sehingga eksistensinya perlu terus dipertahankan, terutama dalam kaitan produksi buku dan perpustakaannya, sebagai pelita ilmu bagi ribuan penyandang tuna netra.

Satu perpustakaan lain yang perlu dipertahankan atau diperbaiki keberadaannya adalah perpustakaan Multatuli, di kampung Ciseel, kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Banten.

Perpustakaan ini dibangun oleh seorang guru bernama Ubaidillah. Ubay, biasa ia dipanggil, tiga tahun lalu ditempatkan sebagai guru bahasa di SMP yang berada di kampung terpencil itu. Lokasi Desa Sobang memang cukup terpencil. Untuk bisa sampai kesana, membutuhkan waktu yang panjang, serta fisik yang kuat karena tidak terjangkau oleh angkutan umum kecuali ojek.

Kesunyian desa, ketiadaan listrik dan infrastruktur yang terbatas, telah menjadi pemicu bagi kreativitas Ubay untuk membuat sebuah program yang berguna bagi anak-anak di kampung yang nyaris tanpa televisi ini.

Ubay mencoba untuk mendekatkan anak-anak dan warga kampung lainnya pada dunia sastra. Lebih dari itu ia mendekatkan warga Ciseel pada sejarah kota lebak, lewat tulisan-tulisan seorang pejuang kemanusiaan asal Belanda, Edward Douwes Dekker atau yang dikenal sebagai Multatuli. Ubay membuat kelompok baca Multatuli, dimana secara rutin, ia membaca buku karya Multatuli berjudul Max Havelaar bersama anak-anak kampung Ciseel.

Bagi masyarakat Lebak, Multatuli memiliki sejarah tersendiri di tanah mereka. Pada tahun 1856, Multatuli diangkat menjadi Asisten Residen Lebak, Banten, yang bertempat di Rangkasbitung. Multatuli kerap menemukan keadaan di Lebak yang sangat buruk bahkan lebih buruk dari keadaan yang didapatkannya dari berita. Multatuli pun mengambil sikap membela rakyat yang terhisap oleh pengusaha perkebunan kopi yang bersekongkol dengan bupati yang dilindungi oleh Residen Belanda.

Dengan gaya tulisan yang satiris, di buku itu Multatuli yang artinya – saya banyak menderita – menceritakan budaya berdagang Belanda yang hanya mencari untung di satu sisi tapi dilain pihak sangat menggurui dan sok suci seperti seorang pendeta. Multatuli menggugat pejabat kolonial yang korup dan memuji mereka yang berusaha mendobrak ketimpangan tersebut.

Semangat ini lah, yang ingin diajarkan Ubay pada generasi muda kampung Ciseel. Semangat untuk berkata dan bertindak jujur, anti korupsi, dan berani mendobrak jika ada ketimpangan.

Tak hanya kegiatan membaca, anak-anak kampung Ciseel juga membuat kelompok drama yang mengambil bagian dari cerita Max Havelaar tersebut.

Selain membuat kelompok baca dan drama, Ubay juga membangun perpustakaan yang diberi nama Rumah Baca Multatuli. Ia mengontrak rumah sederhana yang ia gunakan untuk perpustakaan sekaligus tempat tinggalnya. Perpustakaan itu menyimpan berbagai karya Multatuli dan juga buku-buku pengetahuan lainnya. Dalam keterbatasan akses, Ubay terus bersemangat untuk membangun generasi muda yang punya sikap jujur, rajin membaca, dan menulis. Ratusan anak bergabung di reading group Multatuli dan aktif di perpustakaan. Tempat yang sempir tak menyurutkan minat mereka untuk terus datang ke perpustakaan tersebut.

Itulah kisah dua perpustakaan yang menjadi pelita bagi para penggunanya. Tak sekedar tempat membaca dan meminjam buku, tapi juga sebagai tempat mereka mengasah semangat tanpa batas.

Sabtu, 17 Maret 2012, 19:30:00 WIB

http://www.kickandy.com/hope/archaive/read/semangat-menembus-batas.html

Leave Comment