Manila, 14 Oktober 2018. Minggu pagi 14 November 2018. Bagi sebagian besar orang itu adalah hari libur. Namun, tidak bagi saya. Minggu Pagi itu saya dijadwalkan menyampaikan “introductory remark” pada acara pembukaan “philipine education forum” yang diadakan di Novotel Hotel di Manila. Saya, tunanetra dari Indonesia, harus berbicara, memberikan arahan kepada para pendidik dan pemangku peran terkait di sector pendidikan, dari negeri di mana selama ini saya melakukan “benchmarking”, Filipina.

Sebagai sesama negera sedang berkembang, secara politis Filipina tidak berbeda jauh dari Indonesia. Melalui media kita sering mendengar situasi kontradiktif terjadi di Negara ini. Meski demikian, dalam hal pemenuhan hak warga negaranya yang menyandang disagilitas terus tumbuh sejalan dengan perkembangan jaman. Di bidang pendidikan, saya mendengarkan para presenter dari pelbagai pemangu peran dari Filipina di forum ini, menyampaikan rencana dan komitmen mereka, sudah barang tentu “Pemerintah”. Langsung saja saya membandingkan dengan apa yang dilakukan dan direncanakan oleh Pemerintah saya, Pemerintah Indonesia, untuk anak-anak dengan tunanetra, baik sebagai Penyandang disabilitas tungal maupun ganda dan multi.

Beberapa minggu lalu saya baru saja menghadiri pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan Bappenas, membahas rencana pembangunan jangka menengah 2020 – 2024; Juga pertemuan yang membahas rencana pembangunan yang Inklusif disabilitas. Saya merasakan, dalam pertemuan tersebut, betapa masih lemahnya pengetahuan, pemahaman serta keberpihakan pemerintah Indonesia pada pemberdayaan warga negaranya yang menyandang disabilitas. Lebih lagi, pada sebuah talk show di stasiun TV yang sedang memperingati “hari penglihatan sedunia”, – Kick Andy, saya mendengar statement dari menteri Kesehatan dan seorang bupati dari Sulawesi Selatan, yang mengatakan bahwa “jika seseorang menjadi buta, mereka akan tidak produktif, tidak Mandiri, dan akan terus menerus menjadi beban pemerintah”. Adalah benar bahwa kita harus berusaha keras untuk menanggulangi tingginya angka kebutaan di Indonesia. Meski demikian, pernyataan bahwa jika seorang menjadi buta maka ia akan menjadi tidak produktif dan tidak Mandiri, itu adalah bukti kegagalan Negara dalam membangun layanan public dan sistem dukungan yang dapat diakses untuk semua warga Negara, termasuk warga Negara Penyandang disabilitas.

Di Filipina, saya mendengarkan pelbagai pernyattan, bahwa, manusia, siapa pundia, harus diperlakukan sebagai manusia. Jika manusia itu kebetulan menyandang tunanetra, maka, lingkunganlah yang harus menyesuaikan diri dengan kehadiran Penyandang tunanetra tersebut. Bahkan, di negeri yang mayoritas penduduknya beragama katholik ini, seorang narasumber yang berasal dari kementerian pendidikan menyebut “madrasah education”; \ Luar biasa!; Ia mengatakan Bahwa kehadiran sistem pendidikan berbasis madrasah harus menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional di Filipina; Hebat!

Memang Filipina masih terus berproses menuju kondisi yang lebih baik, terkait pemenuhan hak pendidikan para Penyandang disabilitas. Hal penting yang dapat saya pelajari adalah komitmen pemerintah Filipina. Mereka bekerja dengan target yang jelas.

Di sesi penutupan Philipine Education Forum, saya mendengarkan presentasi dua orang Penyandang disabilitas, seorang tunanetra dan seorang tunadaksa, mereka adalah direktur eksekutif dan deputy direktur eksekutif National Council on Disability Affairs (NCDA). Filipina telah memiliki komisi nasional disabilitas. Indonesia masih harus berjuang keras untuk mewujudkan itu; Memiliki komisi nasional disabilitas (KND) yang bekerja berbasis HAM, bukan menjadi bagian dari kerja-kerja Kementerian Sosial. *Aria Indrawati.

Leave Comment