Ayo! Hancurkan Hambatan mentalmu”..! “Come oooooooooooooooonnnnnnnnnn!” Lalu, “yeeeeeeeeeeeesssssssssssss!” Suara teriakan itu memecah keheningan kantor Mitra Netra, Sabtu 26 Maret lalu.

Ada apa di sana?

Sepanjang hari itu, Irwan Dwi Kustanto, wakil Direktur Yayasan Mitra Netra sedang memfasilitasi sesi pertama pelatihan “pre employment training for the blind”, pelatihan untuk menyiapkan tunanetra agar lebih mandiri bekerja di masyarakat, baik di sektor forma maupun informal. Dan, sesi pertama hari itu diisi dengan tema “ayo, hancurkan hambatan mentalmu”.

Hambatan mental? Apa itu?

Menjadi tunanetra bukan hanya membuat orang tidak dapat melihat atau kurang dapat melihat. Menjadi tunanetra juga mengakibatkan dampak psikologis. Tidak atau kurang percaya diri, atau bahkan rendah diri, kurang atau tidak memahami bagaimana berpenampilan yang baik, tidak atau kurang dapat melihat kesempatan, kurang mampu berkomunikasi dan membangun relasi sosial, akibatnya kurang pengalaman, merasa tidak mampu dan tidak mungkin meraih keberhasilan, dan sebagainya.

Mengapa ada hambatan mental semacam ini?

Hambatan mental terjadi karena ada hubungan sebab akibat. Lingkungan, baik keluarga dan masyarakat, keduanya berperan membangun hambatan mental tersebut. Ada tunanetra yang dapat mengatasinya sendiri seiring dengan bertambahnya kedewasaan mereka. Namun, tak sedikit pula yang membutuhkan bantuan untuk mengatasinya.

Hambatan mental ini “harus dikikis dan dihancurkan”. Jika tidak, tunanetra akan terus “terkungkung” di dalamnya, tidak akan ke mana-mana, dan tak akan menjadi apa-apa. Jika begini, mereka akan terus menjadi kelompok yang “terus saja disantuni”, karena tidak produktif, tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri.

Bahkan, “kebiasaan masyarakat menyantuni tunanetra” itu juga merupakan salah satu faktor yang “menyebabkan tumbuhnya hambatan mental” tersebut”¦. Mereka dididik untuk “menjadi penerima”, bukan menjadi “pemberi”.

Jika ingin memberikan sesuatu pada tunanetra, “berikanlah kailnya, dan bukan ikannya”. Dengan begitu, “tunanetra akan bisa “mencari ikan” sendiri.

“Pre employment training for the blind” atau “pelatihan pra kerja bagi tunanetra” adalah upaya tunanetra untuk memberikan “kail” kepada tunanetra, agar kelak mereka dapat mandiri. Dalam bentuk apa kailnya? Berupa “ketrampilan hidup” untuk “mengatasi masalah”.

Dan di sesi pertama pelatihan pra kerja ini, ketrampilan hidup yang diajarkan adalah “kemampuan menghancurkan hambatan mental”.

Bagaimana caranya? “Metode hipno terapi”, jawabnya.

Adalah Irwan Dwi Kustanto, tunanetra yang menjabat Wakil Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Netra, yang beberapa tahun terakhir ini menekuni “hipno terapi”, yaitu metode terapi mental dan fisik dengan menggunakan “kekuatan pikiran bawah sadar”.

Bagaimana kekuatan pikiran bawah sadar dapat menghancurkan hambatan mental?

Para peserta pelatihan diajarkan untuk “mengubah” semua pikiran negatif tentang dirinya, menanamkannya di pikiran bawah sadar mereka, menjadikan pikiran-pikiran positif itu sebagai “jangkar” di pikiran bawah sadarnya, dan siap dipanggil setiap saat jika diperlukan.

Setelah menanamkan jangkar pikiran, para peserta diajak untuk berlatih “melampaui keterbatasan”. Hal ini disimulasikan dengan kegiatan “mematahkan pinsil” dengan jari dan “memutus karet gelang” dengan tangan tanpa alat apa pun.

Apa yang diajarkan pada pelatihan kali ini memang tidak cukup hanya dilakukan satu hari itu saja. Para peserta harus terus mengulang-ulanginya, serta menerapkannya dan mengembangkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.

“Hipno terapi” sebagai metode mengurangi dampak ketunanetraan adalah “laboratorium baru” Mitra Netra. Apa yang dilakukan di Mitra Netra tanggal 26 lalu adalah untuk kedua kalinya, setelah sebelumnya, bulan Februari lalu, bersama Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Mitra Netra melakukannya di Payakumbuh.

Irwan Dwi Kustanto, perintis metode hipnoterapi untuk menghancurkan hambatan mental tunanetra ini mengharapkan dapat melakukannya minimal untuk “seribu tunanetra” di Indonesia. *Aria Indrawati.

Leave Comment