Tak seperti kunjungan-kunjunganku sebelumnya, kali ini udara Makasar tak terlalu panas. Mendung tipis menyelimuti langit ibu kota Sulawesi Selatan ini selama beberapa hari aku di sana. Ya, memang, karena kali ini aku berkunjung saat musim hujan. Seperti sebelumnya, kunjunganku kali ini juga mewakili Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni), untuk merencanakan kegiatan pemberdayaan generasi muda tunanetra di Makasar.

Setelah menyelesaikan seluruh pertemuan yang harus aku lakukan, agenda terakhirku adalah jalan-jalan. Rencana ini sudah kusampaikan sebelumnya kepada teman-teman saat mempersiapkan kunjunganku. Kali ini tempat yang kami tuju adalah Bantimurung. Berenam kami pergi ke sana, tiga orang tunanetra dan tiga orang pendampping yang tidak tunanetra; jadi, masing-masing tunanetra didampingi oleh seorang pendamping yang tidak tunanetra, atau yang di kalangan tunanetra lazim disebut orang awas, maksudnya orang yang dapat melihat. Orang awas inilah yang berfungsi sebagai mata bagi tunanetra, menjelaskan apa saja yang perlu diinformasikan. Begitulah seharusnya kebersamaan di antara mereka yang tidak tunanetra dengan teman-teman tunanetra.

Perjalanan ke Bantimurung kami tempuh dengan mobil. Hanya memakan waktu kurang lebih satu jam. Cukup dekat.

Nama Bantimurung diambil dari nama seorang raja yang berkuasa di wilayah Maros, yang memerintah di sana setelah masa kekuasaan Sultan Hasanudin. Nama lengkapnya Karaeng Bantimurung.

Begitu memasuki lokasi wisata ini, kita akan disambut oleh patung dua binatang, kupu-kupu dan monyet. Sangat besar! Konon, di lokasi wisata ini dulu adalah kerajaan kera. Sedangkan, kupu-kupu, ya, Bantimurung terkenal dengan ratusan ribu populasi kupu-kupu dari berbagai jenis, hingga kini. Sebabnya adalah di wilayah ini masih dilingkupi tanaman, bahkan pepohonan besar-besar. Sayang, aku datang saat musim hujan, jadi hanya sedikit kupu-kupu yang kujumpai. Namun, jika kita datang waktu musm kemarau, nah, itu saatnya… Menyaksikan ratusan ribu kupu-kupu menari-nari, diiringi suara air terjun.

Air terjun. Ya, itu salah satu karya alam yang kita jumpai di Bantimurung. Ada juga gua batu sepanjang seratus meter. Konon, di gua itulah Karaeng Bantimurung bertapa, mendapatkan kesaktiannya.

Setelah memarkir mobil dan membeli karcis masuk untuk kami berenam, hal pertama yang kami lakukan adalah makan siang. Makan di pinggir sungai, begitu rencana kami. Setelah menemukan tempat yang nyaman di pinggir sungai, kami segera membuka perbekalan kami di atas tikar yang kami sewa, dan mengisi penuh-penuh perut kami. Wah, enak sekali rasanya. Memang benar, lauk yang paling enak adalah lapar. Jika lapar, semua makanan rasanya enak. Apalagi ditemani suara air sungai. Tapi sayang, kenikmatanku mendengarkan irama sungai terganggu oleh dentuman suara musik yang datang dari cafetaria yang berada di dekat taman bermain anak-anak.

Menurutku, seharusnya suara musik buatan manusia itu tidak perlu. Siapa pun yang datang ke sini ingin menikmati suara musik ciptaan alam. Irama Sungai dan Air terjun, hembusan angin dan gemerisik pepohonan, paduan suara burung-burung, dan, mungkin juga nyanyian kupu-kupu yang merdu.

Sehabis perut kenyang, langsung kami berhamburan menuju air terjun. Masing-masing berpasangan, satu tunanetra dan seorang yang tidak tunanetra yang bertugas sebagai pemandu. Bagi kami yang tunanetra, adalah tantangan tersendiri berjalan di atas bebatuan sungai yang licin. Ke mana kaki kami harus melangkah sangat tergantung pada instruksi sang pemandu. Jika instruksi kurang tepat, atau si tunanetra salah mengartikan instruksi, kepleset dan jatuh bukanlah tidak mungkin. Tapi, itu tidak membuat kami takut. Keinginan untuk merasakan cipratan air terjun membasahi badan kami dan mendengarkan deru suaranya jauh lebih besar daripada rasa takut kepleset dan jatuh.

Dan, memang benar. Aku sempat kepleset saat berusaha mendekati kaki air terjun. Begitu tiba di sana, aku yang masih memiliki sisa penglihatan berusaha memaksimalkan fungsi pandanganku, menikmati warna putih air terjun Bantimurung. Jatuhnya air tidak terlalu vertikal ternyata, hanya kurang lebih 45 derajat. Lama aku berdiri di sana, hingga seluruh badanku basah…. Segar sekali…Polusi suara musik yang berdentum-dentum tak terdengar lagi, kalah oleh suara deras ari yang begitu memburu. Bagiku ini saat-saat langka yang sangat mewah.. Jadi, kunikmati sepenuhnya…., sambil diam-diam bersyukur.

Setelah puas menikmati air terjun, kami melanjutkan langkah menuju Gua Batu Bantimurung. Untuk menuju ke sana, kami harus menaiki tangga lalu berjalan sepanjang kurang lebih 800 meter. Jalan menuju gua batu ini tak kalah menantangnya. Jadi, tetap harus hati-hati.

Setelah tiga per empat perjalanan menuju gua, kami disambut oleh seorang laki-laki bertubuh kekar. Pertama, ia menawarkan sewa lampu senter. Itu memang diperlukan untuk berjalan di dalam gua. Setelah kami setuju menyewa tiga lampu senter, yang masing-masing seharga sepuluh ribu rupiah, lalu ia menawarkan jasa menjadi tour guide kami. Dan, OK, kami pun setuju. Dia pun berjalan di barisan paling depan.

Beberapa saat sebelum memasuki gua, di sisi kiri jalan ada makam. Konon katanya, itu makam Karaeng Bantimurung.

Sesaat sebelum memasuki gua, sang pemandu lokal berhenti. Kami pun ikut berhenti. Ternyata ia bermaksud memperingati kami bahwa di dalam gua sana jalan sangat basah serta licin, jadi harus hati-hati. Ya, OK. Siapa takut!

Satu langkah, dua langkah. Wah, dia memang benar. Rasanya seperti…, mungkin seperti jalan di dalam rumah yang habis kebanjiran, berlumpur dan licin. Dan, di langkah ketiga, ups! Hampir saja aku kepleset. Karena pemanduku memiliki ukuran badan yang sama denganku, kami tak bisa saling menahan dengan baik. Lalu Kukatakan pada tour guide kami agar jangan berjalan terlalu cepat, karena sebagian dari kami tunanetra. Untuk mencegah dia agar tidak melangkah terlalu cepat, kupegangi saja tangan kirinya dengan tangan kananku.

Semakin ke dalam kami berjalan, semakin terasa aroma gua yang lembab. Deretan stalaktit dan stalakmit mengiringi kami. Tak putus-putus tanganku merabanya. Kadang dengan satu tangan, kanan atau kiri sambil berpegangan tangan pemandu lokal kami. Namun, jika ingin lebih puas meraba, aku minta berhenti dan meraba dengan kedua tanganku. Rasanya Seperti meraba relief candi atau monumen buatan manusia lainnya. Tapi, yang ini ciptaan alam. Dahsyat…! Ada yang menyerupai gajah, ada yang bergaris-garis jatuh seperti tirai. Ada yang berdiri kokoh seperti tiang, dan, ternyata, itu adalah stalaktit yang bertemu dalam satu titik dengan stalakmit. Baku jodoh, begitu istilahnya.

Terbentuknya stalaktit dan stalakmit ini membutuhkan waktu jutaan tahun. Konon, satu senti saja perlu 60 tahun. Jika ujung stalaktit dan stalakmit itu masih terasa basah, artinya ia masih akan tumbuh lebih panjang. Namun jika sudah kering, ia tak akan tumbuh lagi. Saat meraba tetesan kapur di gua batu ini, aku mendapati masih banyak ujung stalaktit stalakmit yang basah.

Tak terasa kami hampir mencapai pintu luar gua. Gua batu ini hanya punya satu pintu. Kita masuk dan ke luar dari pintu yang sama, namun dari sisi yang berbeda. Dan, tiba-tiba, ups lagi! Dan, kali ini aku jatuh. Kaki dan tangan kiriku benar-benar berada di dasar gua yang berair dan berlumpur. Pemandu lokal kami yang menggandengku segera membantu aku berdiri. Ia lalu meninggalkanku sebentar dan kembali dengan sekaleng air bersih, yang diambilnya dari tong di sisi kiri mulut gua. Air itu sengaja disediakan bagi pengunjung untuk membersihkan diri dari tanah jika jatuh saat menyusuri gua.

Sepertinya pemandu itu merasa bersalah karena aku jatuh. Untuk menetralkannya, dia pun berkata: mbak, jika kita masuk ke gua seperti ini dan jatuh di dalamnya, itu berarti berkah. He..he..he.. Kujawab: amin.

Sebelum meninggalkan Bantimurung, kusempatkan mampir ke surau batu. Unik juga bentuknya. Di sana kusampaikan terimakasihku kepadaNya, yang telah melukis keindahan alam begitu rupa. *Aria Indrawati.

Leave Comment