Karya : Suryo Pramono

Sering saya mendengar di televisi, radio atau bahkan gumaman orang yang sedang membaca potongan berita di koran atau majalah mengenai keindahan Indonesia. Tentang pesonanya yang tersebar dalam berbagai destinasi wisata, lengkap dengan fasilitas yang memanjakan. Juga pengalaman yang menjanjikan, serta perjalanan yang tidak terlupakan. Iklan yang agak berlebihan memang, tapi bisa jadi benar.

Ya, saya percaya akan selalu ada tempat biasa yang menjadi luar biasa lewat campur tangan orang lain. Orang lain yang jelas-jelas bukan penduduk sekitar. Orang lain yang melihat lewat sudut pandang lain karena tempat baru itu berbeda dengan tempat asalnya. Orang lain yang kelak akan bercerita dari mulut ke mulut bahwa ‘tempat baru’ itu luar biasa. Sehingga bisa memancing sebagian orang lain lagi untuk berlomba mencairkan investasi beragam bentuknya, menyisihkan waktunya, demi bisa melihat ‘tempat baru’ yang katanya indah itu.

Mereka bilang gunung kita gagah menjulang. Bagi saya gunung kita hanyalah dingin yang sunyi. Mereka bilang pantai kita kaya matahari. Bagi saya pantai kita adalah debur ombak yang menyisir pasir. Jika semua keindahan ini perkara suara, saya lebih suka ke kebun binatang. Di sana banyak yang bisa saya dengar. Banyak binatang yang suka berteriak minta makan atau melenguh bosan terjebak dalam kandang.

Di mata saya, Indonesia ya begitu saja. Saya tidak tahu di sebelah mana keindahan Indonesia yang menjadi surga dunia itu berada.

Ada yang bilang surga itu ada di Jakarta. Tentu saja itu berlaku bagi mereka yang memburu pekerjaan di gedung-gedung tinggi. Mereka yang senang tinggal di permukiman padat penduduk, komplek perumahan subsidi pemerintah, atau tak masalah terhimpit kawasan gudang dan industri. Susah untuk ngobrol kanan-kiri karena terlalu sibuk dengan diri sendiri.

Dengan kondisi begitu, Jakarta buat saya lebih seperti neraka. Di mana indahnya ketika saya hanya bisa mendengar klakson dan mesin-mesin kendaraan? Surga dunia di Indonesia bagi saya adalah suara sahabat-sahabat saya. Yang tidak sibuk sendiri dan mau meluangkan waktu untuk ngobrol banyak hal. Makan bersama, tertawa bersama, dan mau menggandeng saya selama saya ada di dalam dunia yang gelap. Dunia kebutaan. Merekalah definisi ‘tempat baru’ bagi saya yang sesungguhnya.

Cara kami menanggapi sebuah peristiwa baru, atau menertawakan suatu kejadian, tak pernah sama. Adanya perbedaan yang kami terima dan kami pahami membuat keadaan terasa manis. Seperti halnya jeruk, tak semua manis sekali. Ada yang hambar, cukup manis, agak asam, cukup asam, sampai yang amat sangat asam.

Namun apapun rasanya, kata Ibu, sosok yang juga sahabat bagi saya, tak semua orang menikmati jeruk dengan cara yang sama. Ada yang dimakan langsung, ada yang harus dipotong-potong dahulu, ada pula yang harus diperas, macammacam. Dan Ibu yang sudah memakan banyak rasa jeruk memberi tahu saya bagaimana cara terbaik menikmati setiap rasa itu. Bagaimana membuka dan mengolah jeruk yang mungkin hanya bisa diperas.

Ibu bilang, bukalah jeruk tanpa harus memutus kulitnya, karena hal itu mengajarkan kesabaran dalam menjalani proses. Seperti halnya kesabaran yang harus saya miliki dalam menjalani hidup saat saya mengalami kebutaan. Sungguh sebuah proses yang berat. Saya harus mencari kembali makna hidup saya, memikirkan akan jadi apa, dan kemana saya akan melangkah.

Ibu kembali mengajarkan saya cara membuka jeruk. Menghirup aromanya, memisahkan setiap bagian yang ada, sampai akhirnya memakan dan menikmati rasanya. Jeruk jadi nikmat meski saya tidak bisa melihat. Saya terbantu oleh perspektif yang ditumbuhkan perasa dan penciuman saya.

Dengan kedua indra yang tajam tersebut, saya tak perlu was-was dibohongi si penjual ketika membeli jeruk. Saya akan menekan sisi bawah kulit perlahan dan bila terasa empuk, bisa jadi ia manis. Untuk memantapkan sekali lagi saya akan menekan sisi atas yang berhubungan dengan tangkai. Bila terasa berlubang, besar kemungkinan dia memang manis.

Cara tersebut memang tidak selalu berhasil. Kemungkinan tetap mendapatkan jeruk yang asam pasti ada. Sama halnya dengan kehidupan. Kemungkinan tak mendapatkan semua sesuai harapan dan mimpi kita selalu ada.

Menjadi buta bukanlah harapan, apa lagi pilihan saya. Juga bukan pilihan atau kemauan Ibu saya. Sebab sejak di dalam kandungan, seingat saya, saya tidak pernah diminta mengisi formulir oleh malaikat dan tanda tangan di atas materai bahwa di usia 19 tahun saya bersedia jadi tunanetra.

Tetapi sebagaimana sahabat yang menjadi ‘tempat baru’ saya, Ibu adalah segalanya. Tempat saya berbagi cerita, tempat saya merasakan dunia, tempat segala kebaikan bermula, juga tempat saya mendapat kata-kata pelecut semangat dan pengingat untuk selalu rendah hati.

Ibu, sahabat saya, tidak pernah mengajak anaknya untuk melukai diri sendiri apa lagi orang lain. Ialah surga sesungguhnya, tak peduli harus kutempuh dengan tongkat atau digandeng sekalipun.

* Karya ini berasal dari buku “Melihat Dengan Hati: Sketsa Cerita 13 Tunanetra” yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), 2018. Buku ini merupakan kumpulan tulisan tunanetra yang mengikuti Workshop Menulis Kreatif yang diadakan OJK bekerja sama dengan Yayasan Mitra Netra.

Leave Comment