Perguruan tinggi memang banyak. Dari yang banyak itu, berapa persen yang benar-benar berfungsi sebagai “agen perubahan”? Mana yang lebih banyak, perguruan tinggi yang hanya berdiri megah di “menara gading” atau yang kehadiran dan perannya sebagai agen perubahan benar-benar dirasakan masyarakat?

Kali ini, saya ingin sharing hasil kunjungan singat ke Universitas Rajabhat di Bangkok Thailand.

Universitas Modern.

Rajabhat University terletak di distrik “Suan Dusit”, Bangkok. Berdekatan dengan kompleks museum istana, kebun binatang serta kompleks gedung parlemen Thailand. Universitas ini telah berdiri sejak tahun 1930an. Dahulu lebih dikenal sebagai “Rajabhat Institute”, sekolah tempat siswa belajar science atau science school. Di tahun 1950an, universitas milik pemerintah ini mulai mendirikan fakultas pendidikan sebagai tempat belajar para calon guru.

Berdiri di atas tanah lebih dari 10 hektar, Rajabhat university dibangun dan dikembangkan menjadi sebuah lingkungan kampus modern. Seluruh fakultas dan unit-unit lain di bawah universitas berada di satu lingkungan. Kampus hampir tak pernah sepi dari mahasiswa, mulai dari pagi hingga malam hari. Mereka melakukan baik kegiatan akademik maupun ekstra kurikuler. Sebagai bukti maraknya kegiatan ekstra kurikuler, universitas ini antara lain dilengkapi dengan gedung olahraga dan gedung kesenian.

Lingkungan kampus pun dibangun menjadi lingkungan yang ramah untuk semua, baik secara fisik maupun sosial. Ada ram untuk pengguna kursi roda. Lift dilengkapi dengan tanda Braille dan audio display untuk memudahkan tunanetra menggunakannya. Anak tangga dilengkapi dengan warna pembeda kontras untuk memudahkan pengguna yang lemah penglihatan. Saat saya berjalan sendirian dari hotel menuju fakultas pendidikan dengan menggunakan tongkat -, begitu memasuki areal kampus, seorang petugas menyapa dalam bahasa Thai, yang kurang lebih artinya “mau ke mana Miss?” Saya jawab: “Profesor Suwimon.” Dan ia langsung mengantar saya ke lantai tiga gedung fakultas, ke kantor sang profesor.

Bagi mahasiswa penyandang disabilitas yang membutuhkan sarana khusus ataupun layanan khusus, universitas menyediakan “resource room” atau ruang pusat layanan untuk penyandang disabilitas. Saat saya memasuki ruang pusat layanan ini, ada dua orang mahasiswa penyandang “kesulitan belajar atau learning disability” yang sedang mendapatkan bimbingan dari dosen pembimbing khusus.

Rajabhat university memiliki dua buah hotel, yang juga berada di lingkungan kampus. Kedua hotel ini memiliki dua fungsi. Pertama, sebagai laboratorium untuk praktikum bagi mahasiswa yang belajar bisnis dan ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan ekonomi. Kedua, merupakan salahs satu sumber penghasilan bagi perguruan tinggi. Contohnya, jika Rajabhat university menjadi tuan rumah untuk pertemuan-pertemuan berskala nasional maupun regional, universitas akan menggunakan hotel tersebut sebagai tempat akomodasi para tamu.

Unit Peraga.

Saya sangat terkesan dengan bagaimana perguruan tinggi ini mengambil peran penting dalam pemberdayaan penyandang disabilitas melalui sistem pendidikan guru yang mereka kembangkan.

Seperti halnya di Indonesia, fakultas pendidikan di Rajabhat University juga memiliki jurusan “pendidikan luar biasa (PLB ) atau special education”. Yang istimewa dari jurusan PLB di universitas ini adalah universitas mendirikan “demonstration unit atau unit peraga”. Di unit peraga yang berfungsi sebagai laboratorium ini, fakultas pendidikan menyelenggarakan beberapa layanan untuk anak-anak berkebutuhan khusus (ABK).

Di laboratorium ini, para dosen dapat melakukan inovasi teori bagaimana mendidik ABK secara efektif, dan mempraktekannya secara langsung. Begitu pula dengan para mahasiswa. Di setiap pokok bahasan dalam perkuliahan, mahasiswa tidak hanya mempelajari secara teori di kelas, namun juga secara langsung melihat bagaimana teori itu dipraktekkan di laboratorium tersebut.

Sebagai penyedia layanan, unit peraga ini dikelola secara profesional. Orang yang mengelola adalah orang-orang yang berkompeten; jadi, bukan tugas sampingan para dosen. Tempatnya pun sangat representatif dan lengkap.

Unit peraga pertama adalah layanan intervensi dini untuk ABK dari berbagai jenis disabilitas. Intervensi dini sama dengan “kelompok bermain” atau play group. Orang tua diharapkan membawa ABK mereka bermain-main di sana dua kali seminggu. Target utama layanan intervensi dini adalah orang tua. Layanan ini bertujuan membantu orang tua yang memiliki ABK membangun sikap dan pemahaman yang benar terhadap anak-anak mereka sejak usia dini. Dengan demikian, orang tua dapat mengasuh dan mendidik mereka sesuai kekhususan anak tersebut dengan baik dan benar. Layanan intervensi dini ini diberikan kepada anak sejak usia 0 ““ bayi ““ hinga enam tahun. Pada prinsipnya, intervensi dini merupakan fase mempersiapkan ABK tumbuh menjadi anak yang gembira, mampu bersosialisasi, serta siap memasuki sekolah.

Unit peraga kedua berupa sekolah luar biasa untuk ABK dengan berbagai jenis disabilitas. Sekolah khusus ini sebenarnya berada di bawah kementerian pendidikan, namun, dalam implementasinya diawasi oleh jurusan PLB.

Unit peraga ketiga adalah sekolah dasar umum yang menerapkan sistem pendidikan inklusif. Sekolah ini juga di bawah kementerian pendidikan dan diawasi oleh jurusan PLB. Jika ABK telah siap memasuki sekolah umum dan rumah mereka berdekatan dengan kampus Rajabhat, orang tua dianjurkan untuk menyekolahkan ABK di sekolah ini.

Semua unit peraga ini ada di lingkungan departemen pendidikan luar biasa. Tak heran, meski namanya “universitas”, namun, suara anak-anak terdengar di mana-mana. Ada yang bernyanyi, berenang, main basket atau bola, senam pagi, dan sebagainya.

Ide mendirikan dan mengembangkan unit peraga ini digagas oleh para dosen yang berdedikasi pada pemberdayaan orang-orang dengan kebutuhan khusus. . Satu di antaranya adalah Prof. Dr. Suwimon Udompiriyasak. Prof. Suwimon, begitu ia biasa disapa, adalah seorang perempuan asli Thailand yang mendedikasikan hidupnya di bidang pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus. Sebagai perintis layanan intervensi dini di Rajabhat, ia mendapatkan bea siswa belajar di Hilten Perkins School For The Blind Amerika Serikat. Sekolah luar biasa tempat Helen Keller menghabiskan masa kanak-kananya ini oleh dunia dikenal sebagai perintis layanan intervensi dini anak tunanetra.

Agen Perubahan

Setelah berhasil membuat dirinya sebagai sebuah pusat sumber penggagas, penyedia dan pengembang layanan untuk anak berkebutuhan khusus, departemen pendidikan luar biasa fakultas pendidikan Universitas Rajabhat secara bertahap melebarkan sayapnya, menjangkau masyarakat. Para akademisi ini sadar sepenuhnya, bahwa pusat layanan seperti yang ada di kampus mereka harus tersedia di seluruh negeri.

Serangkaian paket pelatihan pun diadakan di sekolah-sekolah luar biasa untuk ABK dengan berbagai jenis disabilitas. Mulai dari kota besar, hingga daerah dan pedesaan. Kreativitas pun menyertai mereka. Ilmu yang mereka pelajari memang berasal dari negara maju, Amerika. Namun, dalam implementasinya, mereka menyesuaikan dengan situasi lokal, negeri mereka.

Mulai dari nyanyian, permainan-permainan, hingga alat-alat stimulasi. Fleksibilitas sangat dibutuhkan di sini. Jika sebuah sekolah memiliki dana cukup dan melayani kalangan menengah ke atas, tim pelatih menganjurkan mereka berinvestasi alat-alat yang canggih. Namun, jika sekolah ada di pedesaan yang melayani rakyat kurang mampu, semua peralatan dibuat dalam bentuk yang paling sederhana, bahkan yang dapat dibuat sendiri di rumah. “Yang penting Bukan secanggih apa alatnya, namun metode yang sesuai untuk mencapai tujuan, yaitu mendidik anak-anak berkebutuhan khusus yang berbeda-beda”, kata Prof Suwimon.

Tak hanya para dosen. Guru-guru yang dilahirkan oleh universitas ini pun lebih siap berkiprah di masyarakat. Betapa tidak. Sepanjang mereka belajar, apa pun subjeknya, selalu disampaikan dalam dua bentuk sekaligus, teori dan praktek. Di tahun akhir kuliah mereka, mahasiswa harus menjalani praktikum mengajar selama dua semester. Mengajar semua jenis kehususan anak.

Kiprah para akademisi yang membumi ini pun didengar oleh negara tetangga. Beberapa guru besar dan doktor diminta berbagi pengetahuan dan ketrampilan mendidik ABK oleh negara-negara sekitar. Permintaan bantuan datang dari Kambodia, Lao, dan Vietnam. Tak mengherankan, jika kemudian di akhir tahun 2010, Larry Campbell, Presiden International Council of Education for People with Visual Impairment (ICEVI) meminta Prof. Suwimon menjadi ketua ICEVI wilayah Asia Timur, yang juga melingkupi Asia Tenggara. “Saya bekerja tak hanya dengan pikiran, tapi dengan segenap hati danjiwa saya”, ungkap sang profesor mengakhiri obrolannya bersama saya di ruang kerjanya yang dipenuhi mainan anak-anak.

Departemen Pendidikan Luar Biasa Fakultas Pendidikan Universitas Rajabhat telah membuktikan dan mencontohkan. Universitas bukan hanya tempat melahirkan para akademisi master, doktor dan profesor. Juga bukan hanya tempat melahirkan para profesional di bidang apa pun. Sebagai lembaga yang di dalamnya bernaung orang-orang dengan berbagai kapasitas, universitas adalah agen perubahan.

Dalam mengambil peran menciptakan perubahan di bidang pemberdayaan penyandang disabilitas, universitas Rajabhat memilih area yang paling mendasar, yaitu “pendidikan”. Upaya ini kemudian dibarengi dengan perjuangan pengalokasian anggaran untuk mensubsidi keluarga yang memiliki anak dengan disabilitas. Dan perjuangan itu kini telah membuahkan hasil. Sebagai sebuah negara, Thailand telah tumbuh menjadi wilayah yang ramah pada para penyandang disabilitas. Untuk mencapai ini, Universitas telah memposisikan diri sebagai stake holder penting. Kapan Indonesia? *Aria Indrawati

Leave Comment