Selama ini saya sudah mendengar informasi tentang PAVIC, Parrent Association For Visually Impaired Children; Sebuah kelompok dukungan orang tua yang memiliki anak tunanetra di Filipina. Namun, selama ini saya hanya bertemu dengan pengurusnya. Siang itu, di tengah konferensi regional ICEVI East Asia, saya benar-benar berada di tengah-tengah orang tua yang memiliki anak-anak tunanetra di Manila, yang berhimpun dalam “PAVIC”.

ICEVI – International Council of Education for People with Visual Impairment adalah sebuah network berskala global, yang memiliki misi mempromosikan peningkatan kuantitas dan kualitas pendidikan anak tunanetra di seluruh dunia. ICEVI memiliki 7 region; Eropa, Afrika, Asia Barat, Asia Timur, Amerika Utara, Amerika Latin dan Pasifik. Di ICEVI, Indonesia berada di region Asia Timur. Pada tanggal 16 hingga 18 Oktober 2018, ICEVI East Asia mengadakan konferensi regional di Manila, yang pada kenyataannya dihadiri oleh peserta dari 26 negara di dunia, tidak hanya dari wilayah Asia Timur.

Pembentukan dan pertumbuhan PAVIC difasilitasi oleh “Resources For The Blind InC (RBI)”, sebuah lembaga non pemerintah nir laba, yang membangun dan menyediakan layanan pendukung untuk Penyandang tunanetra, termasuk tunanetra plus disabilitas tambahan lainnya.

Pada konferensi Regional ICEVI East Asia 2018, PAVIC mendapatkan prioritas mengelola sesi diskusi tersendiri, yang secara khusus mengeksplorasi tantangan apa yang dihadapi oleh orang tua yang memiliki anak tunanetra, terutama tunanetra plus disabilitas tambahan lainnya, serta bagaimana kelompok dukungan orang tua dapat berperan. Prioritas ini diberikan, karena ICEVI East Asia, berikut seluruh pemangku peran pendukung penyelenggara konferensi memahami benar betapa pentingnya peran orang tua dalam pendidikan anak-anak, termasuk anak-anak tunanetra.

Tentu pada awalnya membentuk sebuah kelompok dukungan orang tua seperti PAVIC bukan hal yang mudah. Namun, dalam waktu dua jam belajar bersama mereka, saya mendapatkan pesan kunci, bagaimana PAVIC dapat terus tumbuh, dan menjadi Rumah bagi para orang tua yang ingin belajar menjadi “orang tua yang berdaya”.

Jika di Indonesia kita terbiasa bertemu dengan ibu-ibu saat kita berada di tengah kelompok dukungan orang tua, tidak demikian halnya dengan PAVIC. Saat ini, PAVIC dipimpin oleh seorang “ayah” yang memiliki anak tunanetra plus disabilitas tambahan lain, yang saat ini anak tersebut telah berusia 20an. Begitu pula siang itu, saat saya berada di tengah-tengah mereka, diskusi dipimpin oleh seorang ibu, namun, sosok orang tua yang diminta berbagi cerita pengalaman adalah seorang ayah. Luar biasa.

Memiliki kesamaan.

Mengapa para orang tua itu dapat berhimpun? Karena mereka memiliki kesamaan, sama-sama memiliki anak tunanetra plus disabilitas tambahan lainnya; Sama-sama bingung saat mendapati anak yang baru dilahirkannya memiliki disabilitas ganda atau bahkan multi; Sama-sama khawatir bagaimana masa depan anak-anak tersebut; Dan lain-lain.

Dari semua persamaan itu, lalu, muncullah “trust” atau rasa saling mempercayai satu sama lain. Sang Ayah yang diminta berbagi pengalaman bercerita, saat pertama kali ia dan istrinya membawa anak tunanetra mereka ke RBI, mereka bertemu dengan konselor. Tugas sang konselor adalah melakukan “assessment”, baik kepada orang tua maupun anak mereka. Namun, apa yang dikatakan oleh sang ayah: “sebenarnya saya tidak mempercayai dia.” Namun, ketika sang konselor memperkenalkannya kepada orang tua yang juga memiliki anak yang kondisinya hamper sama dengan anak mereka, dan orang tua tersebut bercerita bagaimana selama ini ia berproses, belajar menjadi orang tua yang berdaya bersama RBI dan PAVIC, Sang Ayah mengatakan “saat itulah saya mulai percaya.” Betapa besar pengaruh dari orang tua yang telah berhasil melewati masa kritis mereka kepada sesama orang tua lain, yang saat itu sedang berada di masa kritis, masa di saat dulu orang tua yang kini telah berdaya itu pernah berada.

Mulai dengan “having fun” bersama.

“Kami biasa memulai pertemuan dengan bersenang-senang bersama”, begitu Sang Ayah yang membagikan pengalamannya bercerita. “Misalnya, makan bersama dan membayar bill masing-masing, atau nonton film bersama, atau memasak bersama. Setelah itu baru membicarakan hal-hal yang serius. Tak jarang kami pun menangis bersama”. “Dengan bersenang-senang bersama itulah kami membangun trust”, begitu tandasnya. Jika langsung membicarakan dan melakukan hal-hal yang serius, misalnya mengajarkan orientasi dan mobilitas, atau mendiskusikan tentang pentingnya terapi, dan yang semacam itu, pasti tak ada seorang pun yang mau bergabung; Kalaulah ada, jumlahnya tidak akan sebanyak sekarang.

Dari PAVIC saya juga belajar bagaimana mereka membangun rasa kebersamaan dari sisi tingkat social ekonomi. Sudah dapat dipastikan,tidak semua orang tua memiliki kemampuan ekonomi yang sama. Pada awalnya, mereka yang tidak mampu tentu merasa “rendah diri”. Namun, dengan kebesaran hati dan kesadaran dari mereka yang mampu, bahwa betapa penting pemberdayaan orang tua ini diberikan kepada setiap orang tua, tak peduli dari strata ekonomi mana pun mereka, mereka yang memiliki kemampuan ekonomi lebih kuat membantu mereka yang berasal dari ekonomi lemah. Mereka berdaya bersama-sama.

Dukungan Yang Berkelanjutan.

Menjelang akhir sesi, baik moderator diskusi maupun nara sumber, keduanya menekankan betapa sangat penting, orang tua yang telah melewati pelbagai masa kritis dan anaknya telah lebih dewasa dan matang tetap berada di PAVIC. Kehadiran para senior yang telah berpengalaman ini akan membantu orang tua muda yang masih berada pada masa kritis. Karena kesadaran itulah Frances Choi, yang saat ini menjadi President PAVIC, masih tetap berada di kelompok dukungan orang tua ini. Dan untuk komitmen yang luar biasa pada pentingnya eksistensi kelompok dukungan orang tua, ICEVI global memberikan penghargaan khusus kepada PAVIC. ICEVI mencatat PAVIC bahkan telah beberapa kali menyelenggarakan konferensi berskala regional. Terakhir, konferensi diselenggarakan pada Bulan Mei 2017; ICEVI global bahkan memberikan dukungan dana untuk penyelenggaraan konferensi tersebut.

Bagaimana dengan Indonesia?

Untuk kelompok disabilitas tertentu, misalnya autistic dan down syndrome serta disabilitas intelektual, Penulis mengamati adanya kelompok dukungan orang tua yang cukup aktif. Namun, khusus untuk orang tua yang memiliki anak tunanetra, terutama anak tunanetra plus disabilitas tambahan lain, hingga kini belum ada. Mungkin, mereka secara sporadis telah memiliki kesadaran tentang pentingnya kelompok dukungan orang tua, meski pada level yang masih rendah. Dibutuhkan tokoh yang memiliki leadership yang sedikit lebih kuat untuk menghimpun mereka. Jika kita mau belajar dari PAVIC, kesadaran itu memang tumbuh dari orang tua itu sendiri. Tugas RBI sebagai lembaga penyedia layanan adalah memfasilitasi. *Aria Indrawati.

Leave Comment