Sibuk membahas soal “Lady Gaga”? Jangan melupakan “Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei”.

Belakangan ini gerakan disabilitas tumbuh lebih pesat. Tidak hanya dari aspek kuantitas, namun juga aspek kualitas, serta keanekaragamannya. Dahulu, gerakan disabilitas hanya didominasi organisasi disabilitas besar, seperti Persatuan Penyandang Cacat Indonesia PPCI, Persatuan Tunanetra Indonesia Pertuni, persatuan yang memperjuangan hak para tunagrahita, dan yang semacam itu. Namun kini, perkumpulan-perkumpulan disabilitas berskala kecil tumbuh di mana-mana.

Ini diharapkan menjadi pertanda baik. Diharapkan menjadi indikator terjadinya “kebangkitan” gerakan disabilitas di Indonesia.

Lembaga penyedia layanan disabilitas seperti Yayasan Mitra Netra pun tumbuh lebih banyak. Hal ini memang diperlukan, mengingat jumlah penyandang disabilitas Indonesia tidak sedikit. WHO memperkirakan, di negara sedang berkembang seperti Indonesia, ada sekurang-kurangnya 10% dari jumlah penduduk. Berarti, di bumi pertiwi ini, ada setidaknya 23.000.000 penyandang disabilitas dari pelbagai jenis.

Akselerasi gerakan disabilitas di dunia berawal dari lahirnya konfensi PBB tentang hak penyandang disabilitas atau Convention on The Rights of Persons with Disability (CRPD) pada Desember 2006 lalu. Setelah CRPD disahkan oleh sidang umum PBB, muncullah gerakan dan dorongan agar seluruh negara anggota PBB meratifikasi CRPD ini. Pertemuan-pertemuan diadakan, baik di tingkat global, regional, maupun tingkat negara. Di Indonesia, hal ini juga berlangsung. Dan hasilnya, bulan Oktober 2011, DPR mengesahkan ratifikasi CRPD dengan Undang-Undang nomor 16 tahun 2011.

Dalam proses ini, lembaga donor intenasional pun berperan. Dana digelontorkan, membantu organisasi disabilitas nasional untuk mendorong proses ratifikasi ini.

Dan, ini pun berdampak pula pada lebih banyaknya donor internasional mengalokasikan dana untuk pemberdayaan penyandang disabilitas. Misalnya AUSAID dari Australia USAID dari Amerika, bahkan Bank Dunia.

CRPD adalah perintah dari PBB, agar semua pihak memberikan perhatian khusus pada persoalan pemberdayaan penyandang disabilitas. Hal ini tentu juga hendaknya mendapat perhatian khusus dari lembaga pemberdaya penyandang disabilitas, baik pemerintah maupun milik masyarakat (swasta).

Khususnya lembaga swasta. Untuk mendapatkan bantuan dari lembaga donor internasional, sebuah lembaga harus memiliki management yang baik; akuntabel, dan transparan.

Untuk hal ini, upaya Mitra Netra menyiapkan diri telah dilakukan jauh-jauh hari. Sejak pertengahan tahun 1990an misalnya, laporan keuangan Mitra Netra telah diaudit oleh akuntan publik. Hasil auditnya pun selalu baik, karena Mitra Netra menerapkan prinsip “kehati-hatian” dalam pengelolaan keuangan.

Akuntabilitas Mitra Netra sebagai organisasi juga telah diuji di tingat regional. Di tahun 2005, Mitra Netra terpilih sebagai “country winner” pada ajang kompetisi “Asia Pacific NGO Awards”, yang diselenggarakan oleh Resource Alliance dan Citigroup Foundation. Dua hal yang menjadi dasar penilaian adalah good corporate governence, antara lain dibuktikan dengan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan keuangan, serta mobilisasi sumber daya lokal.

Untuk mencapai itu semua, tentu butuh waktu belajar. Mitra Netra telah tumbuh menjadi organisasi nir laba yang menerapkan pola manajemen strategis, yang diterapkan lembaga berorientasi keuntungan, dengan adaptasi yang diperlukan.

Hasilnya pun dirasakan. Mitra Netra telah menjadi salah satu sasaran perusahaan dalam menyalurkan dana CSR mereka. Beberapa perusahaan yang telah berpartner dengan Mitra Netra misalnya Microsoft, Citibank, Samsung, IBM, HP, UPS, Standard Chartered bank, Panin Bank, Bank BCA, Coca Cola, Diageo Foundation, dan sebagainya.

Donatur individu pun juga secara perlahan mulai berperan dalam pemberdayaan tunanetra yang Mitra Netra lakukan. Misalnya melalui gerakan “koin untuk buku tunanetra”, “tele donation”, serta “mitra bercahaya – renovasi perpustakaan”.

Pemberdayaan penyandang disabilitas memang membutuhkan peran banyak pihak. Mengingat jumlahnya yang tidak sedikit. Jika penyandang disabilitas berdaya, mereka akan menjadi aset bangsa; menjadi pembayar pajak, dan berperan dalam pembangunan. Jika mereka dibiarkan bodoh dan miskin, penyandang disabilitas akan jadi beban negara. Kita mau pilih yang mana? * Aria Indrawati.

Leave Comment