Sudah menjadi tradisi, setiap tanggal 2 Mei dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan senantiasa mengadakan upacara bendera. Pak Menteri bertindak sebagai inspektur upacara, yang tentu dilengkapi dengan pidato amanat inspektur upacara. Tahun ini, tema peringatan Hardiknas adalah “peningkatan kualitas dan pendidikan yang berkeadilan”. Beberapa hal yang sang Menteri sampaikan dalam sambutannya adalah, permintaan maaf untuk insiden ujian nasional tingkat SMA yang terpaksa tak diselenggarakan secara serentak, serta pendidikan untuk semua, yang harus menjangkau semua kalangan, tanpa membedakan status ekonomi, wilayah, gender…. sayang sekali Pak Menteri tak menyebut soal anak-anak berkebutuhan khusus atau anak-anak dengan disabilitas.

Lalu, di mana anak-anak dengan disabilitas? Apakah mereka ada di blue print kebijakan kementerian pendidikan kita? Mengapa mereka tak pernah disebut? Adakah mereka di hati dan pikiran para petinggi kementerian pendidikan kita?

Saat Pak menteri meminta maaf soal ketidakberesan ujian nasional, ia tak meminta maaf karena tidak menyediakan soal UN dalam huruf Braille untuk siswa tunanetra….

Jika kita bicara soal capaian pendidikan untuk semua, dan jika kebijakan itu juga melingkupi anak-anak dengan disabilitas, maka, tak akan tercapai pendidikan untuk semua tanpa diterapkannya sistem pendidikan inklusif.

Lalu, apa kabar pendidikan inklusif di Indonesia? Peraturan Menteri nomor 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah sudah ada, tapi, bagaimana pelaksanaannya?

Yang santer terdengar adalah kementerian pendidikan melalui direktorat pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus justru sibuk dengan SLB. Seriuskah mereka membangun sistem pendidikan inklusif di Indonesia?

Bagi kita yang bergiat di bidang disabilitas, ini pemberitahuan penting, bahkan alarm yang nyaring, bahwa kita harus terus menyuarakan pendidikan anak-anak disabilitas kepada pemerintah. Kita juga harus mengajak pemerhati pendidikan untuk turut menyuarakan peningkatan akses dan kualitas pendidikan bagi anak-anak dengan disabilitas. Apalagi, hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan disebut dengan sangat tegas dalam pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945. Jika itu tidak dipenuhi, berarti pemerintah sebagai penyelenggara negara telah melanggar konstitusi.

Inisyatif masyarakat membantu pemerintah dalam membangun sistem pendidikan inklusif pun terus tumbuh. Sebagai contoh, Yayasan Mitra Netra, secara konsisten terus mengembangkan dan menyediakan layanan pendukung pendidikan bagi siswa tunanetra yang menempuh pendidikan di sekolah umum hingga perguruan tinggi secara inklusif. Pertuni, sebagai organisasi kemasyarakatan tunanetra juga tak henti menyuarakan aspirasi siswa tunanetra, agar memiliki akses lebih luas dan lebih baik ke pendidikan, baik tingkat dasar, menengah maupun pendidikan tinggi.

Melalui media kita semua mendengar bahwa di tahun ajaran baru 2013-2014, kementerian pendidikan akan mulai menerapkan kurikulum baru, kurikulum 2013, setidaknya di 1000 sekolah di seluruh Indonesia. Dan setelah itu, energi pun akan dicurahkan ke penerapan kurikulum baru tersebut, termasuk diskusi pro dan kontra.

Dalam kondisi semacam ini, masihkah mereka berpikir soal pendidikan anak dengan disabilitas?

Ayo, terus menyuarakan peningkatan akses dan kualitas pendidikan bagi anak-anak dengan disabilitas. Ini adalah tugas kita semua…. *Aria Indrawati.

Leave Comment